Pilarkebangsaan.com. Permendikbud masih saja diperdebatkan meski sudah disahkan. Pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa kata-kata “tanpa persetujuan” sama saja dengan menyetujui zina jika kedua pihak setuju. Sedang pihak yang lain mengatakan bahwa yang menolak permendikbud berarti setuju dengan adanya kekerasan seksual.
Sebenarnya kedua pihak itu menolak kekerasan seksual, hanya saja redaksi kalimat dari permendikbud itu menjadi permsalahan. Meski sebenarnya tidak masalah jika dibaca dengan baik dan paham logika. Namun narasinya justru dibelokkan menjadi narasi pro zina dan anti syariah. Padahal jelas peraturan ini sedang membahas pelarangan kekerasan seksual.
Misalnya kalimat “Tidak boleh menyentuh tanpa persetujuan.” Coba kita pakai logika dengan kalimat yang lain. “Tidak boleh buang hajat sembarangan.” Kalimat tersebut menujukkan bahwa kita tidak boleh buang hajat sembarangan, lalu apakah berarti boleh buang sampah sembarang? Kan hal tersebut tidak diatur? Berarti boleh kan?
Kalimat tanpa persetujuan digunakan karena kalimat tersebut adalah bukti dari adanya kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak selalu bisa dibuktikan dengan bukti fisik. Misalnya disentuh, dipeluk, dicium, semua ini tidak bisa dibuktikan dengan visum. Pun tidak bisa dibuktikan dengan bekas di tubuh. Kekerasan seksual yang seperti ini hanya bisa dibuktikan dengan keterangan korban yang tidak setuju. Karena jika setuju namanya bukan kekerasan, tapi perzinahan.
Lalu bagaimana dengan zina? Tentu saja hal ini tidak diperbolehkan. Jangankan di lingkungan sekolah atau di kampus, di tempat umum saja kita tidak akan senang melihat orang berbuat mesum atau zina. Sebenarnya pasal perzinahan sudah dibahas dalam undang-undang, hanya saja tidak dibahas dalam permendikbud.
Meski sudah dijelaskan sedemikian rupa, sebagian kalangan tetap menganggap bahwa permendikbud mendukung zina. Maka ada baiknya permendikbud memperluas jangkauan pasalnya yaitu tentang perzinahan. Perzinahan lebih baik dimasukkan langsung dalam permendikbud agar tidak menjadi polemik. Juga agar orang-orang tidak berpikir bahwa pemerintah menyetujui zina.
Di sisi lain pergaulan beresiko memang sudah merebak di kalangan pelajar dan mahasiswa. Terkadang sekolah dan kampus justru menjadi tempat-tempat rawan untuk melakukan perzinahan atau hal-hal yang menjurus ke sana. Maka pasal perzinahan pun sudah darurat untuk dibuat.
Guru dan dosen seringkali luput dari pengawasan terhadap perilaku mahasiswa. Padahal masa-masa remaja dan menuju dewasa adalah masa rawan yang seharusnya mendapatkan pendampingan. Selain di rumah, sekolah dan kampus adalah tempat di mana mereka perlu mendapat perhatian lebih.
Sex education juga penting untuk disampaikan agar tidak ada remaja khususnya perempuan yang mudah dibodohi. Banyak sekali remaja perempuan melakukan hubungan seksual bukan karena ingin, tapi karena benar-benar tidak tahu.
Mereka tidak tahu resiko-resiko dalam berhubungan seksual. Misalnya kehamilan meski memakai alat kontrasepsi. Penyakit menular seksual, kehamilan di usia remaja, kehamilan tanpa direncankan, melahirkan dengan kondisi fisik yang masih belum sempurna. Mereka betul-betul tidak tahu resiko dari hubungan tidak bertanggung jawab adalah kematian perempuan. Entah karena penyakit atua karena tidak siap.
Selain itu remaja dan usia menuju dewasa sebenarnya tidak paham bagaimana melakukan hubungan seksual. Mereka melakukan dengan asal, padahal dalam pernikahan saja hubungan seksual harus dilakukan dengan cara yang baik (thayyib dan ma’ruf).
Di pondok pesantren diajarkan kitab Qurratul Uyun atau Fathul Izar yang berisi tentang tata cara berhubungan seksual. Maka hal seperti ini sebenarnya bukan tabu untuk diajarkan. Dan tentu saja jika diajarkan seharusnya bisa dilakukan dengan cara yang baik. Yaitu thayyib dan ma’ruf dan tentu saja dalam hubungan suci pernikahan.