Artikel ini, meski sederhana tapi khusus dan bagi saya sangat spesial, karena dipersembahkan untuk ulang tahun Jakarta ke 497, yang saya sendiri selalu menyebutnya sebagai Kota Islam Cinta. Mungkin, ada yang bertanya-tanya, mengapa saya sebut Jakarta sebagai Kota Islam Cinta?
Tentu, tidak sulit bagi saya menyampaikan alasannya, pertama, Jakarta adalah Kota yang menyatukan tidak kurang dari 40 Tokoh Muslim Indonesia hampir 12 tahun silam untuk mendeklarasikan Gerakan Islam Cinta (GIC). Pendirian GIC sebagai respon kaum muslim moderat karena maraknya fenomena intoleransi, kekerasan atas nama agama dan hate speech yang seringkali terjadi di masyarakat kita.
Alasan kedua, saya sebut Jakarta sebagai Kota Islam Cinta karena sebenarnya Islam yang masuk ke Indonesia termasuk Jakarta adalah “Islam cinta”, Islam yang berlandaskan tasawuf atau ajaran cinta yang dibawa oleh Wali Songo. Maka saat kita membincang Jakarta dan Islam cinta, itu bukanlah sesuatu yang asing untuk negeri kita, melainkan akar budaya Indonesia, bahkan Jakarta itu sendiri.
Cinta dan welas asih merupakan budaya asli Indonesia, termasuk Jakarta, dan semua agama yang berkembang di Indonesia, baik agama lokal, agama primal, kapitayan, hingga sunda wiwitan, semua itu berlandaskan cinta dan welas asih. Bahkan jika kita sandarkan pada ungkapan cicitnya Nabi, Imam Ja’far Ash Shadiq “Agama itu Cinta, apalagi agama itu kalau bukan cinta?”
Nabi mengatakan cinta adalah asas (ajaran agama)-ku. Dan Cendekiawan Muslim Haidar Bagir selalu menegaskan bahwa bukan agama kalau bukan cinta, bahkan agama itu berawal dari cinta dan berakhir dengan cinta. Dalam agama A-Z nya adalah cinta. Tanpa cinta, agama akan kehilangan ruh-nya sebagai rahmat bagi alam semesta.
Alasan saya ketiga, disebut Jakarta sebagai Kota Islam Cinta, tidak hanya pendiriannya, GIC juga melahirkan banyak karya di Jakarta, seperti dua film layar lebar “Mencari Hilal dan Ayat-Ayat Adinda” kemudian buku-buku serial Islam Cinta dan Gen Islam Cinta yang sekarang ini sudah berjumlah 37 buku. Modul Sembilan Nilai Islam Cinta yang menebar banyak manfaat dan kebaikan bagi kalangan akademisi, aktivis, guru-guru, da’i, takmir dan generasi muda yang tergabung dalam kelompok Gen Islam Cinta (Gen IC). Termasuk program-program GIC lainnya yang bersifat edukatif, preventif, inovatif dan progresif yang berkelanjutan.
Alasan keempat, Jakarta sebagai Kota Islam Cinta karena sifatnya yang keibuan, Jakarta memang tidak lagi menjadi Ibukota negeri kita, tetapi sifatnya yang keibuan, menjadikannya tetap sebagai Daerah Khusus (DK), dan saya sendiri merasakannya, Jakarta menjadi tempat tumpuan banyak impian dan harapan. Yang saya maksud sifat keibuan karena Jakarta itu merangkul bahkan tak segan-segan memberikan tempat untuk mewujudkan setiap mimpi dan cita-cita apapun dan dari siapapun asalnya.
Jakarta juga melindungi, melalui kebijakan pemerintah yang pro-kerakyatan, menjadikan warga Jakarta terlindungi. Jakarta juga membesarkan siapapun yang memiliki kompetensi dan semangat kolaborasi. Jakarta bersifat keibuan karena Jakarta mendidik dan merawat banyak kebaikan untuk kemajuan yang berkelanjutan. Tak heran, jika Jakarta karena masuk dalam Best Cities to Visit in 2024 atau kota terbaik untuk dikunjungi versi Lonely Planet.
Dan kelima, Jakarta sebagai kota Islam Cinta karena, salah satu tradisi Betawi disebut nyambat, artinya gotong royong atau kolaborasi. Sejak awal didirikan, semangat GIC adalah semangat kolaborasi bukan kompetisi.
Bahkan ketika ditanya oleh Gen Islam Cinta Jakarta makna dari penggalan ayat 148 QS Al-Baqarah “Fastabiqul Khairat”, bagi saya lebih tepat memaknainya bukan berlomba-lomba tetapi berkolaborasi dalam kebaikan. Dengan semangat kolaborasi, GIC dipandang adaptif oleh kalangan Milenial, Gen Z dan Alpha, karena relevan dengan karakteristik mereka yang lebih menyukai kolaborasi ketimbang kompetisi.
Kolaborasi (collaboration) menjadi satu dari empat kompetensi dasar yang penting dimiliki oleh kita di abad 21. Selanjutnya, Jakarta Kota Islam Cinta Ini bukan sekadar jargon, tapi juga bentuk aksi dan kolaborasi, karena pada dasarnya, cinta yang kita suarakan adalah kata aktif (compassionate) bukan kata pasif.
Apa itu Islam Cinta?
Bukankah Islam itu Cinta? Lalu, mengapa Islam Cinta? Pertanyaan ini, sempat mengusik pikiran saya di awal berdiskusi sersan (serius tapi santai) dengan Cendekiawan Muslim Haidar Bagir, tentang Islam Cinta. Demi mengembalikan spirit keagamaan dalam “ruh” Islam Moderat (tawasuth), toleran (tasamuh), damai (salām), penuh cinta (hubb), dan welas asih (rahmah), sebagaimana yang disampaikan Kang Deden Ridwan, gagasan Islam Cinta ini memang layak kita renungkan.
Dari pertemuan diskusi pada waktu itu, singkatnya, saya tertarik dengan istilah ‘Islam Cinta’ ini, yang seolah ingin menegaskan bahwa sesungguhnya, Islam itu Cinta. Bagi saya, kata Islam Cinta menjadi tepat untuk merespon maraknya pelabelan negatif setelah Islam, seperti Islam Radikal, Islam Teroris, Islam Ekstrim, Islamophobia dan lainnya.
Kemudian, sengaja dipergunakan kata Gerakan sebelum Islam Cinta untuk menegaskan niat bahwa, betapa pun akan menjadi cinta sebagai basis setiap kegiatannya. GIC terus berupaya bersikap aktif dalam melancarkan upaya-upaya, baik dalam melancarkan upaya-upaya, baik dalam mewujudkan pergeseran paradigma dalam memahami dan menghayati Islam, maupun dalam mengambil langkah-langkah mewujudkan cinta-kasih dalam kehidupan kemasyarakatan, khususnya di negeri kita. Informasi selengkapnya seputar Gerakan Islam Cinta dapat mengunjungi website www.islamcinta.co dan melalui media sosial instagram @islamcintaid.co.