Pancasila

Menyoal Standing Position MK Atas Kekuasaan Politik; Refleksi Kebangsaan

3 Mins read

Jika mengulas balik beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersinggungan langsung dengan perkara-perkara politik, sebagian besar masyarakat barangkali punya resonansi yang sama bahwa Putusan MK cenderung menjauh dari yang diharapkan publik. Pasalnya, mayoritas putusan yang dilahirkan tidak menganulir kebijakan-kebijakan politik dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang mereduksi prinsip-prinsip dasar negara hukum dan demokrasi. Sebaliknya, putusan yang dilahirkan justru memperkuat kebijakan-kebijakan politik dan melegitimasinya sebagai suatu kebijakan yang selaras dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

Dimulai dari Putusan tentang uji materiil UU Pemilu hingga Putusan tentang uji formil UU Penetapan Perppu Cipta Kerja, mahkamah mengklaim bahwa politik hukum pemerintah bersama DPR telah sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

Dalam putusan tentang uji materiil sebuah UU, mahkamah kerap memilih untuk membatasi atau menahan diri (self-restraint) dengan mengatakan bahwa objek yang diperkarakan merupakan sebuah kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy). 

Sementara dalam Putusan tentang uji formil sebuah UU, mahkamah cukup sering perform dengan seolah melupakan Putusannya sendiri pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan kepada pemerintah maupun DPR agar pembentukan UU dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) sekurang-kurangnya pada 3 tahapan, yaitu: (i) pengajuan RUU; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

In casu uji materiil sebuah UU, sikap mahkamah untuk memilih self-restraint terlihat jelas dalam pengujian presidential treshold. Dari lebih 20 permohonan yang diajukan, mahkamah konsisten menolak permohonan pemohon. Persepsi konstitusional yang dibangun oleh mahkamah melalui pertimbangan hukumnya selalu sama, bahwa norma presidential treshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bukanlah merupakan problem konstitusionalitas UU karena ia merupakan open legal policy yang tidak seharusnya dijangkau oleh MK.

Sementara in casu uji formil sebuah UU, performa mahkamah yang seolah melupakan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terlihat dalam beberapa pengujian pembentukan UU, salah satunya adalah pengujian pembentukan UU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Dari total 5 permohonan yang diajukan, mahkamah konsisten menolak permohonan pemohon.

Persepsi konstitusional yang dibangun oleh mahkamah melalui pertimbangan hukumnya juga selalu sama, bahwa pembentukan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja tidak bisa diklaim sebagai constitutional disobedience pembentuk UU terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan dengannya telah menyimpangi prinsip-prinsip good regulatory practice karena pembentukan UU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja bukan berasal dari proses legislasi biasa, melainkan berasal dari Perppu.

Faktor

Faktor utama di balik performa MK yang tidak berani menganulir kebijakan-kebijakan politik dalam bentuk UU sekalipun UU tersebut telah mereduksi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi terletak pada proses pengangkatan hakim konstitusi yang berbasis kooptasi politik.

Mengacu pada pandangan Cass R. Sunstein dkk dalam “Are Judges Political?” pada 2006, para hakim konstitusi yang memiliki kewenangan atributif untuk membatalkan UU atau norma dalam UU bekerja berdasrakan hasil seleksi yang ditentukan melalui proses politik, sehingga dengannya kinerja hakim demi kepentingan-kepentingan politik cenderung lebih superior dibandingkan kinerja hakim demi tergaknya prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.

Selaras dengan Sunstein dkk, Antony Blackshield maupun Kristy Richardson dalam “Critical Judicial Nominations and Political Change” pada 1993 juga menyebutkan bahwa proses pengangkatan hakim yang erat dengan peranan kekuasaan politik menyebabkan kinerja hakim tunduk pada kepentingan-kepentingan kekuasaan politik. Artinya, keterkaitan erat antara proses pengangkatan hakim dengan peranan kekuasaan politik sangat mempengaruhi kinerja calon hakim terpilih yang biasanya akibat keterkaitan erat tersebut putusan-putusan hakim konstitusi cenderung memberikan afeksi, impunitas, dan immoralitas terhadap kebijakan-kebijakan politik.

Pendek kata, norma Pasal 20 ayat (1) UU MK yang memberikan kewenangan bersifat overbroad terhadap kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim konstitusi merupakan faktor utama (main factor) di balik performa MK yang tidak berani menganulir kebijakan-kebijakan politik melalui putusannya.

Mengacu pada pandangan Idul Rishan dalam “Hukum & Politik Ketatanegaraan” pada 2020, pemberian kewenangan yang cukup besar nan otonom bagi kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim konstitusi menyebabkan terjadinya 3 pola politisiasi dalam proses pengangkatan hakim, yaitu: pemerintah atau parlemen memilih hakim yang memiliki sikap politik yang sama dengan mereka; calon hakimnya sendiri merupakan anggota parlemen yang aktif dalam partai politik; dan pemilihan hakim dilakukan atas dasar balas jasa politik. Akhirnya, kinerja calon hakim terpilih pun berbasisikan pada prinsip “balas jasa” antara calon hakim terpilih dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan politik.

Langkah Pembenahan

Tidak dapat dipungkiri, bahwa proses pengangkatan hakim merupakan instrumen paling penting dalam menentukan independensi hakim. Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg dalam “Guarding the Guardians: Judicial Councils and Judicial Independence” pada 2009 mengemukakan bahwa the selection of judges is a central factor in most theories of judicial independence. Karena itu, hal ihwal proses pengangkatan hakim perlu mendapat perhatian secara khusus.

Semakin kecil peranan kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim, maka semakin kecil pula potensi kinerja hakim yang berbasiskan pada prinsip balas jasa terhadap kekuasaan politik. Sebaliknya, semakin besar peranan kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim, semakin besar pula potensi terjadinya sistem kinerja hakim yang berbasiskan pada prinsip balas jasa terhadap kekuasaan politik. Artinya, ruang kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim sangat menentukan pengambilan keptusan seorang hakim (judicial decision making) di pengadilan.

Langkah pembenahan yang harus dilakukan agar hakim konstitusi lebih berani untuk menganulir kebijakan-kebijakan politik yang mereduksi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi sesuai dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman adalah meminimalisir peran kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim. 3 langkah kumulatif yang dipaparkan dalam laporan penelitian dari Global Corruption Report in Judicial System pada 2007 sangat aplikatif dalam meminimalisir peran kekuasaan politik dalam proses pengangkatan hakim, yaitu: melibatkan organ negara independen; mendasarkan pada merit-based system; dan melibatkan partisipasi civil society.

 

Ahmad Sulthon Zainawi

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Forum Kajian dan Penulisan Hukum Masa Bakti 2022/2023, dan Staff Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Periode 2022-2024
1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Pancasila

Ketika Pramoedya Ananta Toer Mengisahkan Nasib Manusia

3 Mins read
Pemahaman awam ditulis dalam novel tipis berjudul Bukan Pasar Malam (1951). Kita membaca sambil melihat Indonesia masa revolusi. Pram mencipta tokoh mengoceh…
Pancasila

Sekolah Tanpa Ruang Guru: Mengutamakan Kedekatan dan Kolaborasi

7 Mins read
Pendidikan di sekolah adalah tempat bagi siswa untuk berkembang dan memperoleh ilmu pengetahuan, sekaligus membangun hubungan sosial yang akan menentukan arah hidup…
Pancasila

Diplomasi Presiden Prabowo dengan Malaysia

2 Mins read
Presiden Prabowo baru saja menerima penghargaan Tanda Kehormatan Darjah Kerabat Johor dari Kerajaan Johor sekaligus Yang di-Pertuan Agong Malaysia. Penghargaan ini istimewa…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.