Ada yang namanya “keindonesiaan”. Ia memuat keniscayaan dan karenanya melahirkan tata nilai untuknya. Demi satu: Indonesia! Keniscayaan yang dimaksud adalah keragaman. Kita bahkan punya istilah khusus untuk itu: kebhinekaan. Ia meliputi agama dan keyakinan, suku dan ras, bahasa dan adat, dan seterusnya. Mereka yang beragam itu disatukan dalam satu ikatan: Indonesia.
Karena itu, sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terlebih dulu dibangun basis penyatuannya melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda adalah upaya untuk merangkul keniscayaan berupa keragaman itu dalam satu ikatan: tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Yang menarik, penyatuan itu tak dilakukan dengan penyeragaman, tapi komitmen kebersatuan di tengah keragaman dalam satu tumpah darah, yakni Indonesia.
Sebagaimana termaktub dalam Sumpah Pemuda, setiap elemen keragaman itu diakui memiliki andil masing-masing dalam tumpah darah Indonesia. Setiap elemen itu saling menyokong dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karenanya, tak boleh satu kelompok pun didiskriminasi setelahnya.
Kesadaran itu ditelurkan menjadi janji pertama Republik ini: “melindungi segenap tumpah darah Indonesia”. Maka, diskriminasi atas satu kelompok mana pun dalam lingkaran bangsa ini berarti pengkhianatan terhadap tumpah darah Indonesia yang itu berarti mencerabut sendi kebangsaan kita.
Bahkan, lebih jauh lagi, founding father bangsa ini berikrar menghapus seluruh penjajahan di atas dunia, karena tidak sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan. Karena itu, jika penjajahan atas bangsa lain saja telah kita ikrarkan untuk kita upayakan dihapuskan, apalagi penjajahan oleh anak bangsa sendiri kepada anak bangsa yang lain berupa pengusiran atau yang lainnya atas nama perbedaan agama, madzhab, pandangan, dan semacamnya.
Rumusan Pancasila menegaskan bahwa perlindungan terhadap seluruh elemen bangsa ini melampaui dari “sekadar” komitmen membayar janji bangsa ini atas perlindungan tumpah darah para pejuangnya. Namun, lebih luhur lagi, dalam sila kelima disebutkan bahwa semua itu berlandaskan karena keadilan: keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapa pun mereka dan apa pun latar belakangnya.
Maka, lantaran keniscayaan berupa keragaman itu, tebentuklah tata nilai yang tak melihat keragaman sebagai masalah, namun justru potensi atau rahmat dalam terminologi Islam. Potensi itu telah teruji dalam memerdekakan bangsa ini. Bukan hanya teruji dalam upaya mempersatukannya, tapi juga menahan segala upaya pemecah belahannya yang dilakukan penjajah melalui politik adu dombanya.
Tata nilai itu berupa keramahan, toleransi, gotong royong, dan seterusnya. Ia jauh hari terbentuk secara alami sebelum dibentuk perangkat hukum yang mengaturnya secara legal. Ia menjadi identitas kebangsaan kita yang paling primordial. Masuk dalam seluruh aspek kebangsaan kita: dari politik, agama, sosial, dan budaya. Itulah keindonesiaan.
Ironisnya, kini keindonesiaan itu sedang terancam oleh pihak atau kelompok yang bukan aktor dalam memerdekakan bangsa ini atau tak memahami dan menyadari signifikansi keindonesiaan tersebut. Kelompok yang ahistoris. Bahkan, mereka tak sadar bahwa upaya merongrong itu pun bisa mereka lakukan karena keindonesiaan itu sendiri: kesediaan Indonesia mendengar seluruh aspirasi warganya, sepahit apa pun.
Suara sumbang itu kerap muncul dari kelompok yang mengatasnamakan agama (Islam) yang kini akrab dengan sebutan “takfiri” (kelompok atau individu yang gemar mengkafirkan siapa saja yang berbeda dengan mereka). Meskipun mereka mengatasnamakan dan berada dalam koridor agama, ancaman dan vonis kafirnya bukan hanya dilayangkan pada siapa saja yang berbeda pandangan agama dengan mereka. Tudingan itu bahkan diarahkan ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan segala perangkat dasarnya: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan lain-lain.
Mereka tuding semua itu sebagai thoghut atau berhala. Tuduhan itu tentu terlampau serius, sebab berarti bahwa siapa saja yang tunduk pada thoghut berarti ia telah menyekutukan Tuhan (syirik). Bahkan, tak terkecuali juga nilai-nilai dan kultur keindonesiaan tersebut. Logika dasar mereka: anti-kebudayaan.
Tudingan mereka bagi siapa saja yang berpegang pada nilai dan kultur tersebut adalah bid’ah atau sesat. Tudingan yang juga tak kalah seriusnya. Sebab, ia seringkali menjadi propaganda penyulut konflik yang berbasis pada legitimasi sesat yang artinya halal darahnya.
Tentu Indonesia takkan membiarkan keindonesiaan itu dikoyak oleh siapa pun. Termasuk oleh warganya sendiri. Sebab, keindonesiaan itu harga mati bagi bangsa ini. Bangsa ini tak mau mengkhianati sejarah, suratan takdir keniscayaan akan keragaman, dan tata nilai luhur yang telah berabad-abad terpancang pada sanubari bangsa ini.
Karena itu, kini kita sedang merajut keindonesiaan tersebut. Kita rajut sejak titik awal: larangan ujaran kebencian. Karena ujaran yang dibiarkan terus-menerus akan menjadi tindakan, lalu karakter, dan akhirnya menjadi budaya yang menggoreskan takdir (buruk) bagi bangsa dan rakyat kita.
Tentu, itu bukan berarti kita menutup pintu kritik dan semangat kritis. Karena salah satu pondasi bangsa ini adalah sikap kritis dan saling kritik antar founding fathers-nya: Sukarno dan Hatta, Sukarno dan Natsir, dan lainnya. Namun, kritik yang konstruktif, bukan lantaran kebencian. Seperti Natsir yang aktif dan getol mengkritik Bung Karno, namun “tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata yang buruk soal Bung Karno. Dari situ saja sangat terlihat sifat kenegarawanannya itu,” tulis Key Timu dalam 100 Tahun Mohammad Natsir.
Merajut keindonesiaan adalah kerja kebudayaan. Karena itu, ia kerja kita semua. Dan, justru itulah garda depan kerja kita melawan ekstremisme, terorisme, dan sejenisnya. Rajutan keindonesiaan itulah yang nanti akan menjadi benteng terdepan bangsa ini pada ekstremis dan teroris untuk mereka memilih: menjadi Indonesia atau berarti bukan Indonesia.