AKSI teror belakangan ini memperlihatkan pola baru. Pelaku aksi bom bunuh diri dan tindak kekerasan yang menyerang aparat tidak lagi dilakukan oleh kombatan-kombatan yang sudah berpengalaman. Namun, justru pelakunya sekarang adalah generasi milenial yang merupakan pemain amatir.
Editorial Media Indonesia, Jumat 2 April 2021, menggambarkan, bagaimana saat ini paham radikal terus hidup dan diterima, serta terus diestafetkan hingga ke teroris generasi milenial. Anak-anak muda, yang seharusnya menghabiskan waktu untuk belajar atau meniti karier di tempat kerjanya, sebagian terjerumus, dan terlibat dalam gerakan keagamaan ekstrem.
Seperti dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli, keterlibatan generasi milenial dalam aksi radikalisme, salah satunya dipicu propaganda jaringan teroris internasional yang menyasar kawula muda. Simpatisan ISIS, yang tergabung dalam Jaringan Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia, yang terlibat dalam aksi penyerangan gereja, atau menyerang petugas penegak hukum, ternyata ialah generasi milenial yang lugu.
Dalam sepuluh tahun terakhir, bisa dilihat, bahwa generasi milenial dalam rentang kelahiran 1990-an yang terpapar ajaran JAD, atau gerakan radikal lainnya yang sesat, sebagian tanpa sadar terlibat dalam aksi terorisme. Pasangan suami-istri pelaku bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar, perempuan pelaku penyerang Mabes Polri, dan sejumlah pelaku teror bom bunuh diri di Indonesia, adalah generasi milenial yang terkontaminasi paham radikal.
Generasi milenial
Banyak kajian telah membuktikan bahwa para generasi milenial rentan terpapar paham sesat dan radikalisme (Wonga, Khiatanib, & Chui, 2019). BIN mengungkap generasi milenial mudah terpapar radikalisme dari media sosial. Data BIN menyebut kalangan muda dari usia 17 hingga 24 tahun rawan menjadi sasaran utama kelompok teroris yang menyebarkan paham radikalisme. Keberadaan media sosial disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme, khususnya bagi generasi milenial.
Berdasarkan survei BNPT, diperkirakan, ada sekitar 80% generasi milenial yang rentan terpapar radikalisme. Karena, cenderung tidak berpikir kritis. Dalam banyak kasus, generasi milenial ternyata, lebih cenderung menelan mentah-mentah infomasi yang mereka terima, tanpa, terlebih dahulu melakukan cek-ricek.
Anak muda di era abad ke-21, pada dasarnya adalah bagian dari generasi virtual, atau disebut juga net generation yang di satu sisi menikmati berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi informasi, dan internet. Namun, di saat yang sama juga rawan terkontaminasi konten negatif dari dunia maya. Konten negatif yang dimaksud, selain tawaran cyberporn, tak jarang juga paham radikalisme yang berbahaya.
Alch (2000) yang secara khusus mengkaji generasi milenial menyatakan bahwa kebutuhan dari net generation ini adalah untuk mendapatkan informasi secepat, dan semudah mungkin, meluangkan banyak waktu untuk diri mereka sendiri dan tidak ingin dikekang dalam kehidupannya.
Di dunia maya, di mana informasi seolah tanpa batas dan berkembang sangat cepat, risiko anak muda terpapar paham radikal sangatlah besar. Tapscott (2009) menyebut beberapa ciri atau karakteristik yang menandai generasi milenial adalah: pertama, freedom. Kedua, customization. Ketiga, scrutiny. Keempat, integrity. Kelimat, collaboration. Keenam, entertainment. Ketujuh speed, dan kedelapan, innovation.
Di balik kemudahan anak muda mengakses informasi yang ditawarkan internet, bukan berarti hal itu tanpa risiko. Anak muda yang makin terbiasa berselancar di dunia maya, ternyata rentan terpapar berbagai konten informasi yang merugikan, seperti ideologi radikalisme yang dikemas dalam format yang atraktif, dan menggoda.
Bagi generasi milenial yang tidak memiliki literasi kritis, jangan kaget jika mereka menjadi korban pertama dari godaan paham radikalisme. Anak muda, yang memiliki preferensi ideologi yang salah dan habitus yang mendukung intoleransi, mereka biasanya menjadi kelompok yang mudah terperdaya. Tanpa berpikir panjang, kelompok generasi milenial seperti ini, biasanya dengan cepat terjerumus dalam propaganda-propaganda ajaran sesat.
Faktor yang memengaruhi
Secara statistik, jumlah generasi milenial yang memanfaatkan ruang maya dewasa ini nyaris tak terbatas. Diperkirakan puluhan juta anak muda setiap hari selalu menyempatkan waktu untuk mengakses internet dan berselancar di dunia maya. Tidaklah mengherankan, jika berbagai kelompok radikal terorisme akhirnya sengaja mengubah pendekatan yang mereka kembangkan, dan, menjadikan ruang maya sebagai arena baru penyebaran propaganda, indoktrinasi, dan rekrutmen.
Menurut Farrington (2003), sejumlah faktor, yang menyebabkan remaja di bawah 20 tahun rawan tergoda paham radikalisme, dan bahkan ikut bergabung dalam aksi terorisme, pertama, adalah, antara lain akibat kecerdasan yang rendah, pendidikan yang kurang, hiperaktif impulsif, bersikap anti sosial, agresif dan korban atau pelaku bullying. Ini ialah karakteristik yang menandai generasi milenial secara individual.
Kedua, faktor keluarga, antara lain, rendahnya pengawasan orang tua terhadap anak, disiplin yang ketat, kekerasan pada anak, perilaku orangtua yang dingin atau cuek kepada anak, kurangnya perhatian orang tua kepada anak. Lalu, keluarga broken home, orangtua pelaku kriminal, dan habitus di mana anak muda tinggal bersama saudara mereka yang nakal atau yang berpotensi radikal.
Ketiga, faktor sosio-ekonomi, seperti pendapatan keluarga yang rendah, dan banyaknya anggota keluarga juga mempengaruhi perkembangan radikalisme. Di samping, faktor teman sebaya, pertemanan yang nakal, menyimpang, penolakan dari pertemanan sebaya, kurangnya popularitas.
Keempat, faktor lingkungan sekolah, seperti tingginya tingkat kenakalan sekolah, dan faktor tempat tinggal, seperti tingginya tingkat kriminalitas di lingkungan rumah.
Sementara itu, studi yang dilakukan Deckard & Jacobson (2015), yang meneliti komunitas muslim di Eropa Barat, menemukan bahwa radikalisasi lebih tepat dikaitkan dengan keterasingan, atau situasi yang alineasi daripada dengan kondisi kemiskinan.
Di balik profil generasi milenial yang tampak modern, dan terbiasa bersentuhan dengan teknologi informasi dan internet, di sana sebetulnya menyimpan titik-titik rawan yang berbahaya. Tugas orangtua, keluarga dan sekolah, untuk ikut serta memantau proses tumbuh-kembang anak-anak muda agar bisa dilakukan deteksi dini untuk mencegah mereka terjerumus dalam godaan yang salah.
Rahma Sugihartati
Dosen Isu-Isu Masyarakat Digital FISIP Universitas Airlangga