Hampir sulit memisahkan antara urusan agama dengan urusan politik karena hampir semua yang diatur dalam agama erat kaitannya dengan urusan politik sehingga sulit memisahkan antara keduanya. Sebagian orang mengatakan bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan karena pada intinya agama itu bertujuan untuk mensejahrerahkan orang dan mewujudkan kedamaian yang juga menjadi inti dari politik.
Sementara sebagian orang mengatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan karena agama hanya bersinggungan dengan urusan ketuhanan dan hari kemudian, sementara politik erat kaitannya dengan kehidupan duniawi. Pandangan ini semakin kuat dengan munculnya paham sekuler yang berusaha memisahkan agama dengan negara.
Jika kita kembali melihat sejarah Islam kita akan menemukan betapa persoalan politik menjadi pemicu munculnya sekte-sekte dalam Islam. Bukan saja di era moderen ini, umat Islam terpecah ke dalam beberapa kelompok akibat orientasi yang berbeda-beda, tetapi sejak awal umat Islam telah terpecah karena pemahaman dan orientasi yang berbeda-beda.
Ketika Sayyidina Usman bin Affan wafat akibat protes umat Islam atas kebijakannya, Sayyidina Aisyah bersama Zubaer dan Tolhah mendesak Sayyidina Ali bin Abi Thloib yang terpilih sebagai Khalifah agar segera menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan Sayyidina Usman. Akan tetapi, Sayyidina Ali bin Abi Tholib bukan menolak tuntutan tersebut, tetapi ia sangat hati-hati karena menganggap bahwa pewujudan stabilitas politik dan keamanan di tengah umat Islam jauh lebih penting dari pada mengadili dan menangkap pelaku pembunuhan tersebut.
Sikap Khalifah ke empat ini ditentang oleh sebagian umat Islam sehingga menyulut peperangan antara kubu yang mendesak Ali denga kubu yang mendukung kebijakan Ali. Perang ini kemudian disebut dengan Perang Jamal yang melibatkan kubu Ali bin Abi Tholib dengan kubu Aisyah Ummul Mukminin.
Perang saudara ini pertama dalam sejarah Islam ini telah mengakibatkan hilangnya sahabat-sahabat yang mulia dari kedua belah pihak yang masing masing kehilangan sekitar 5000 orang. Kebijakan Sayyidina Ali ini bukan saja memicu perang antara umat Islam tetapi juga telah menimbulkan lahirnya sekte baru dalam Islam yang dikenal dengan Khawarij.
Khawarij meninggalkan kubu Ali bin Abi Tholib karena menganggap tidak konsisten menjalankan hukum Allah dan mengambil tindakan tegas dengan membunuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Pembunuhan Ali bin Abi Tholib telah menambah nama sahabat yang tewas akibat kebijakan politiknya Sayyidina Osman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Tholib keduanya tewas di tangan orang-orang yang tidak puas atas kebijakan kedua Khalifah Islam tersebut.
Umat Islam menunjuk Sayyidina Hassan bin Ali bin Abi Tholib putra pertama Sayyidina Ali untuk menggantikan ayahnya sebagai Khalifah Umat Islam. Namun, Sayyidina Hassan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah di Basrah yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Sayyidina Usman bin Affan sebagai Gubernur di wilayah Irak.
Kebijakan Sayyidina Hassan ini semata-mata karena tidak ingin memperpanjang masalah yang sedang melilit umat Islam saat itu. Ia memilih menjauh dari dunia politik demi menjaga kedamaian dalam agama yang dibawa oleh kakeknya Rasulullah Saw. Namun keluarga ini ingin bangkit kembali dalam dunia politik karena ternyata Muawiyah mengambil langkah baru dalam menjalankan kekuasaannya. Ia menunjuk anaknya Yazib bin Muawiyah untuk menggantikan dirinya sebagai Khalifah Islam.
Sebuah kebijakan yang mulai melenceng dari kebiasaan umat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw. Inilah yang membuat keluarga Sayyidina Ali bin Abi Tholib protes dan tidak puas dengan kebijakan Muawiyah tersebut. Sayyidina Husein adik dari Sayyidina Hassan kemudian menghimpun keluarganya untuk datang ke Basrah menemui Muawiyah bin Abi Sofyan. Namun dalam perjalanannya mereka dihadang oleh pasukan Yazid bin Muawiyah di suatu tempat yang disebut Karbala.
Di Karbala kedua keluarga besar itu selama hampir lima hari berperang yang mengakibatkan kehilangan nyawa hampir seluruh turunan dan kerabat Nabi Muhammad Saw. Muawiyah dan keluarganya yang sejak Nabi di Mekkah hingga hijrah ke Madinah menjadi musuh bebuyutan umat Islam dan memeluk Islam setelah penaklukan Mekkah kini tampil sebagai pemimpin umat Islam dan menempatkan dia dan keluarganya menjadi pionir dan tokoh umat Islam. Sementara keluarga Nabi hilang dan tersingkir dari peta politik kebangkitan umat Islam saat itu.
Di sinilah muncul benih-benih lahirnya sebuah kelompok yang juga kuat dan sudah berakar sebelumnya dalam Islam yaitu Syiah. Hanya dalam beberapa tahun umat Islam sudah terpecah menjadi Khawarij dan Syiah hanya karena persoalan politik. Sekte-sekte dalam Islam seperti Murjiah, Qadariah, Jabariah dan Mutazilah yang muncul di kemudian hari juga tidak terlepas dari pembahasan isu-isu kepemimpinan dan hukum yang harus diberlakukan pada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran atau pembunuhan terhadap sesamanya.
Muawiyah tampaknya mendorong umat Islam untuk memupuk subur paham paham murjiah dan jabariyah untuk kepentingan politiknya. Sementara Khilafah Abbasiah yang diwarnai dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang datang di kemudian hari juga memupuk tumbuh berkembangnya paham paham mu’tazilah untuk kepentingan politiknya.