Cerita Satuan Pamong Praja (Satpol PP) kota Banjarmasin merazia sebuah rumah makan di siang hari bulan Ramadan, mungkin sudah biasa. Menariknya, beberapa hari lalu, video yang merekam aksi razia mereka beredar luas. Menariknya, sebagaimana juga pernah terjadi dahulu, mereka merazia rumah makan yang menyediakan menu non halal. Perdebatan antara penjual dan petugas pun tak terhindarkan.
Untuk catatan, perda “bernafaskan syariah” di Kalimantan Selatan, dalam hal ini terkait bulan Ramadan, sudah beberapa kali memancing perdebatan di ruang publik. Alasannya pun beragam. Kemarin, aksi razia warung yang melayani pelanggan non-muslim, karena menunya sebagian besar non-halal, seperti Babi, tentu menarik banyak perhatian warga, terutama netizen.
Kelompok minoritas, khususnya non-muslim, adalah salah satu pihak yang paling merasakan dampaknya. Saya sendiri beberapa kali mendengar kesulitan yang mereka alami sepanjang bulan Ramadan.Namun, Pemerintah kota Banjarmasin tidak bergeming. Dengan mengklaim Perda Ramadan sudah berjalan selama 15 tahun ini sama sekali tidak mentolerir apapun kondisi yang terjadi di lapangan.
***
Hari ini, rasanya tidak ada yang tersisa dalam Puasa yang absen dari ruang publik. Seluruh ritual dalam puasa hari ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Pengalaman spiritual dalam berpuasa pun turut masuk ke ruang tersebut, dengan diksi “kekhusyukkan”. Sebagian daerah di Indonesia memiliki Perda yang mengatur ruang publik dan perilaku masyarakat demi “menjaga kekhusyukkan” tersebut.
Kota Banjarmasin yang berpenduduk mayoritas muslim dan diklaim sebagai salah satu wilayah religius, merupakan salah satu kota yang memiliki perda tersebut. Bahkan, Perda tersebut cukup dibanggakan sebagai bagian dari klaim wilayah yang agamis oleh Pemerintah.
Untuk menghindari bias dan kekeliruan, saya tidak mengulas Perda tersebut dari sudut hukum dan agama. Sebab, kedua sisi tersebut jelas sudah memiliki otoritas, jelas secara kedalaman analisa dan kualifikasi keilmuan yang tak terbantahkan. Jadi, saya akan mencoba menelusuri Perda tersebut sebagai bagian dari ide terkait keberagamaan di masyarakat Banjar.
Sebelum lebih jauh, masyarakat Banjar, mayoritas penghuni kota Banjarmasin, memiliki ikatan yang kuat terhadap ajaran Islam. Bahkan, Hairus Salim pernah mengutip Judith Nagata yang menyebut Banjar sebagai salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, “Agama ya suku, suku ya agama”. Agama di sini adalah Islam. Tak pelak, banyak budaya masyarakat Banjar tak terpisahkan dari narasi agama Islam.
Kondisi ini, sebagaimana banyak daerah lain di Nusantara, kemudian diklaim menjadi alasan kemunculan Perda-perda bernada agama. Kearifan lokal yang berlatar agama biasanya menjadi wacana paling populer dalam kemunculan Perda tersebut.
Perda bernada syariah, seperti Perda Ramadan, mulai melanggeng sekitaran awal tahun 2000-na pasca keruntuhan Orde Baru. Ketika kran demokrasi dibuka, narasi agama yang selama ini ditekan habis selama pemerintahan otoriter berkuasa 32 tahun mendapatkan momentum dengan berbagai dalih, seperti kearifan lokal
Menurut hasil penelitian Syafuan Rozi dan Nina Andriana, yang dikutip oleh BBC.com, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Politik Kebangsaan dan Potret Perda Syariah di Indonesia: Studi Kasus Bulukumba dan Cianjur, selama periode 1999-2009, terdapat 24 provinsi atau 72,72% daerah di Indonesia yang menerbitkan perda bernuansa agama, baik syariah Islam maupun Injili. Setidaknya ada 151 perda dan surat keputusan kepala daerah syariah/Injili yang lahir kala itu, demikian penelitian mereka.
Michael Buehler, dosen dari SOAS University of London, berpendapat dalam bukunya tersebut bahwa penerapan peraturan syariah ini didorong oleh kepentingan politik daripada pergeseran ideologis dalam politik Indonesia. Pendapat ini ditulis lengkap dalam bukunya yang berjudul Politics of Shari’a Law.
Jadi, menurut Buehler, narasi Islamisasi politik Indonesia tidak terletak pada partai-partai dan gerakan-gerakan Islamis, tetapi dimungkinkan oleh para Islamis oportunis yang berada di dalam negara Indonesia. Kita boleh percaya atau tidak analisa Buehler. Jadi, politik oportunis berwajah Islamis sebenarnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemunculan Perda berlatar agama.
***
Kembali ke soal Perda Ramadan di Banjarmasin, setelah ditetapkan sekitar 15 tahun lalu tentu disambut antusias oleh warga. Tak butuh waktu lama, narasi terkait Perda tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari semangat keberagamaan yang tinggi di masyarakat, dalam hal ini Banjar. Dalam polemik kemarin saja, Walikota mempertegas hal tersebut kembali dengan menyebut umur Perda tersebut dalam menemani ibadah Puasa masyarakat Banjar.
Padahal, sisi yang sepertinya ter(di)abaikan dari aturan tersebut adalah ritual berpuasa menjadi bagian ruang publik di kota Banjarmasin. Artinya, mereka (baca: Non-Muslim) akan turut diatur didalamnya.
Sayangnya, Pemerintah sebagai salah satu stakeholder sering sekali bersikap mengacuhkan kehadiran kelompok lain, dengan memaksa tanpa memberi peluang untuk berdiskusi soal kondisi yang terus berkembang di masyarakat. Entah apa alasan mereka, namun keadaan tersebut malah memperburuk Perda Ramadan tidak mewakili keseluruhan, atau dengan kata lain hanya peduli pada kelompok mayoritas.
Padahal, kita perlu memahami bahwa ruang publik yang seimbang adalah kehadiran seluruh masyarakat yang terlibat di dalamnya, mendapatkan kesempatan untuk bersuara dan didengar. Selain itu, kehadiran mereka juga seharusnya dipertimbangkan sebagai bagian dari masyarakat yang ada di Banjarmasin.
Sayangnya, pernyataan Walikota Banjarmasin kemarin malah mengisyaratkan sebaliknya. Dia mengklaim bahwa Perda yang sudah berumur lebih satu dekade tersebut adalah sesuatu yang telah diterima oleh sebagian besar masyarakat. Jadi, tugas masyarakat Banjarmasin untuk menerimanya dan mematuhinya, tanpa membuka peluang untuk mendiskusikan ulang atau revisi Perda tersebut.
Penegakkan Perda Ramadan sangat sering mengabaikan mereka yang tidak memiliki kewajiban atau mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Memberikan ruang kepada mereka untuk mendapatkan kesempatan mencari makanan di siang hari bulan Ramadan sepertinya hilang dari pertimbangan para stakeholder, salah satunya adalah Pemerintah kota Banjarmasin dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Walaupun, kesempatan tersebut masyarakat dipersilahkan melakukan revisi dengan mengambil jalur lewat Dewan. Namun, harus disadari, beberapa kali wacana merevisi Perda-perda bernada agama malah disudutkan pada stigma-stigma yang tidak sehat. Hal ini juga terlihat dalam polemik kemarin di Banjarmasin. Nanti akan dijelaskan lebih lanjut.
***
John Stuart Mill, filsuf asal Inggris, bahwa dalam interaksi kehidupan masyarakat terdapat wacana soal “pasar ide” sebagai ruang di mana “semua pendapat harus diungkapkan. Atau dengan kata lain, setiap orang dapat datang ke pasar dan bisa bertukar ide satu sama lain di sana, lewat diskusi. Namun, terdapat kerentanan dalam pasar ide tersebut, jika ide yang dipegang oleh orang yang paling banyak atau paling berkuasa cenderung menekan pandangan orang lain. Mill menyebut ini sebagai “tirani sosial” yang tak berbeda banyak dengan jenis penindasan politik lainnya.
Memang, pada kenyataannya, sebagaimana pasar tidak menjadi pasar persaingan sempurna. Artinya, tidak semua ide dihargai sama, dan beberapa ide memiliki lebih banyak pengikut dan pendukung yang kuat daripada yang lain. Artinya, mereka yang menganut ide-ide dominan rentan dapat menggunakan pengaruh politik mereka untuk membatasi masuknya ke pasar dan mengecualikan ide-ide lain yang menantang dominasi mereka.
Jangan sampai kejadian perdebatan antara petugas Satpol PP dan pedagang kemarin, malah menandakan Perda Ramadan terjebak pada narasi dominasi terhadap mereka yang berbeda pendapat. Fakta bahwa Perda Ramadan telah berjalan lama di kota Banjarmasin, seharusnya tidak menutup kemungkinan membuka ruang diskusi ketika terdapat permasalahan dalam penerapannya.
Saya malah melihat dalam polemik ini menyingkap Perda bernada agama justru menyimpan potensi masalah besar, yakni tarik ulur narasi agama di dalamnya. Ketika dihadirkan sebagai Perda, agama dihadirkan di ruang publik sebagai nilai kebaikan bersama.
Namun sayangnya, ketika terdapat permasalahan dalam penerapannya, perdebatan di ruang publik malah mengembalikan agama sebagai dalih perlawanan. Akibatnya, jika terdapat kelompok mencoba mendiskusikan ulang atas Perda tersebut mendapatkan stigma atau hujatan yang menyudutkan agama yang mereka peluk.
Di titik inilah permasalahan yang seharusnya disadari oleh Pemerintah kota Banjarmasin beserta stake holder lainnya, bahwa pengusulan revisi bukan hal yang gampang malah rentan terjerumus pada masalah lebih besar, yakni stigma-stigma negatif yang tak berkesudahan. Jadi, mereka seharusnya bisa mengambil inisiatif membicarakan permasalahan tersebut dengan masyarakat yang terdampak langsung.
Selain itu, Perda bernada agama harusnya tetap dihadirkan sebagai bagian dari demokrasi kita. Sebagaimana ide yang kita ajukan di “pasar ide”, maka ruang-ruang diskusi seharusnya terus terbuka agar terus dinamis dalam cita-cita untuk kebaikan bersama. Sebagaimana ide yang dihadirkan di masyarakat sangat diharapkan berimbang dan memiliki kesempatan untuk berbicara.
Dengan kata lain, Perda Ramadan telah hadir di masyarakat. Tentu, polemik kemarin seharusnya menjadi tanda buat kita untuk belajar dan harus membuka ruang seluas-luasnya, sehingga ide kebaikan bersama dalam Perda dapat terus diperbincangkan, dan bukan sesuatu yang telah final.
Jika menggunakan wacana yang digunakan dalam Perda bernada agama, bahwa wacananya adalah akomodir narasi agama yang telah lama ada di masyarakat, jadi jangan lupa wajah agama yang dihadirkan harus yang toleran, adil, dan moderat. Jangan sampai agama yang dimunculkan intoleran, tidak adil, apalagi tidak untuk kebaikan bersama.
Jika hal ini kita lakukan dengan bijak, maka kita sebenarnya “membasuh” wacana Buehler bahwa Perda bernada agama cenderung lahir dari aksi-aksi politisi oportunis. Jadi, kehadiran agama dapat benar kembali pada trek yang tepat, yakni kebaikan bersama. Fatahallahu alaihi futuh al-arifin