Editorial

Muslihat Amerika Menggulingkan Sukarno

5 Mins read

Pagi hari titimangsa 1 Oktober 1965. Presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson menerima laporan situasi singkat dari Central Intelligence Agency:  Sebuah gerakan kekuasaan yang mungkin memiliki dampak yang luas sedang terjadi di Jakarta.

Dalam waktu dua puluh empat jam sejak berlangsungnya peristiwa itu di Jakarta, para pejabat AS mulai menyusun rencana untuk memanfaatkan pelbagai kemungkinan politis dari apa yang oleh para pejabat dianggap sebagai upaya kudeta gagal yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia.

Para pejabat Inggris–yang telah menghabiskan dua tahun sebelumnya untuk melakukan operasi-operasi rahasia sebagai respons atas kebijakan Indonesia yang melakukan konfrontasi melawan Malaysia–juga mempercepat upaya-upaya untuk memanfaatkan situasi.

Selama tiga bulan berikutnya, AS dan Inggris melancarkan operasi-operasi rahasia yang bertujuan untuk mendukung pembantaian yang dipimpin tentara terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung PKI dan untuk mendukung penggulingan Presiden Indonesia Sukarno, mengandalkan operasi-operasi rahasia yang sudah berlangsung selama hampir setahun.

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 juga merupakan peristiwa internasional yang sangat penting dalam Perang Dingin global.

Pembunuhan massal di Indonesia adalah sebuah bentuk teror yang berhasil mencapai tujuannya, yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno, untuk mengintegrasikan Indonesia kembali  ke dalam ekonomi politik regional, dan demi berkuasanya rezim militer modern.

Dengan kata lain, kekerasan massal di Indonesia memiliki logika yang dapat jelas terlihat oleh para pejabat di London, Washington, Tokyo, Kuala Lumpur, Moskow, dan tempat-tempat lain.

Semenjak keterlibatan Washington dalam sejumlah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir 1950-an, AS telah berusaha untuk mendukung sebuah rezim anti-komunis yang dipimpin oleh militer di Indonesia. Para pejabat AS bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata Indonesia dan kalangan intelektual berorientasi Barat yang kecewa dengan demokrasi parlementer yang dianggap suak menciptakan stabilitas dan pembangunan ekonomi.

Pemerintah AS, yayasan-yayasan kemanusiaan, dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia memberi mereka bantuan militer dan ekonomi serta pelatihan teknis, sementara para ilmuwan sosial menjustifikasi semakin besarnya peran militer dalam proses pembangunan. Tujuan mereka ialah untuk membendung laju komunisme serta menahan kebijakan luar negeri non-blok dan pelbagai rencana pembangunan Indonesia.

Para pejabat AS percaya bahwa bantuan teknis, militer, dan ekonomi akan menstabilkan dan memodernisasi perekonomian Indonesia sekaligus menghadang PKI. Namun, strategi mereka bergantung pada kesediaan Sukarno untuk menerapkan kebijakan yang didesakkan oleh AS dan IMF (Dana Moneter Internasional), dan bergantung pada kesediaan Inggris untuk mendukung kebijakan regional AS.

Pembentukan negara Malaysia oleh Inggris pada awal 1960-an, dan konfrontasi militer skala rendah antara Indonesia dan Malaysia selama tiga tahun ke depan mengandaskan rencana Washington. Pelbagai kebijakan ini mendorong Sukarno untuk semakin mendekati Cina. Hal ihwal ini mempercepat polarisasi politik, tetapi sekaligus juga keruntuhan ekonomi Indonesia.

Sejarawan Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968 (2008), meneroka bahwa menjelang terjadinya Peristiwa G30S, AS dan para sekutunya memandang pembasmian PKI dan para pendukungnya sebagai perihal yang sangat diperlukan untuk mengembalikan Indonesia ke pangkuan Barat, dan mereka mendukung pembentukan rezim militer modern sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini.

Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia mengubah hubungan luar negeri Indonesia dan strategi regional Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Uni Soviet, pada masa tatkala AS tidak dapat merespons dengan memberi banyak perhatian atau mengerahkan banyak sumber daya, karena sedang terlibat perang di Vietnam.

Sebaliknya, AS mengurangi bantuan ekonomi dan militernya kepada Indonesia, tetapi sambil tetap menjaga hubungan dengan para perwira militer yang dipandang bersahabat. Pada Agustus 1964, AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Sukarno, dan memicu konflik yang rancung antara Angkatan Darat dan PKI.

Intelijen AS menyimpulkan bahwa kekuasaan Presiden Sukarno musykil dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ingin mencoba menggulingkannya,” demikian menurut Duta Besar Berkuasa Penuh AS, Averell Harriman.

Para pejabat Inggris juga mengambil pendekatan perang rahasia tahun 1963, dengan harapan menggagalkan kemampuan Indonesia untuk melancarkan konfrontasi dan memprovokasi perebutan kekuasaan yang berlarut-larut yang akan menciptakan perang sipil atau anarki.

Para pejabat Inggris dan AS sepakat bahwa PKI tidak mungkin naik ke puncak kekuasaan dalam waktu dekat, dan bahwa AD enggan membasmi PKI jikalau tidak diprovokasi. Asisten Menteri Luar Negeri Inggris, Edward Peck, mengisyaratkan bahwa ada peluang besar untuk mendorong timbulnya suatu kudeta prematur oleh PKI selama Sukarno masih hidup–dengan harapan kudeta itu akan patah pucuk.

Hubungan Indonesia dengan Barat nyaris bubar pada awal 1965 setelah Sukarno menarik Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ditambah dengan berlanjutnya konfrontasi dan semakin cepatnya kemerosotan ekonomi, sepertinya semuanya itu sangat menguntungkan bagi kepentingan PKI.

Penyesuaian ulang kebijakan Jakarta yang memutuskan untuk menjauh dari Uni Soviet dan semakin mendekat ke Cina mendukung persepsi ini. Di Uni Soviet pemerintahan Brezhnev menanggapi tindakan Indonesia yang semakin condong ke Beijing ini dengan berupaya menjalin hubungan yang lebih baik dengan angkatan bersenjata, Partai Nasional Indonesia, dan bahkan Nahdlatul Ulama. Para pejabat Soviet setuju dengan pejabat-pejabat NU yang berpendapat bahwa PKI bekerja melawan Uni Soviet, dan Uni Soviet adalah sahabat Indonesia. Oleh sebab itu, PKI harus dibereskan.

PKI melontarkan tantangan yang lebih besar terhadap kepentingan-kepentingan Barat pada Februari 1965 tatkala para pekerja di Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) berusaha untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh U.S. Rubber Company di Sumatra Utara.

Bulan Februari 1965 Menteri Perkebunan Frans Seda, Wakil III Menteri Luar Negeri Chaerul Saleh, dan Presiden Sukarno mengatakan kepada para perwakilan U.S. Rubber dan Goodyear, bahwa pemerintah mengambil alih “kendali administratif” atas perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambilalihan properti milik Barat.

Para pejabat AS di Jakarta memperingatkan, “Presiden Sukarno dan para komandan militer utama sudah diberi tahu, bahwa begitu terjadi sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap kendali atas Caltex … pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan”, dengan akibat runtuhnya perekonomian Indonesia.

Bahkan Indonesian Herald menurunkan tajuk rencana mengenai perlunya menjamin aliran minyak, sementara para pejabat Caltex memperkirakan bahwa para pimpinan tentara akan bergerak melawan PKI andai produksi minyak berhenti, karena hal itu akan melumpuhkan kekuatan mereka. “Dalam jangka panjang,” Wakil Menlu George Ball menyatakan kepada McGeorge Bundy, “hal ini mungkin lebih penting tinimbang masalah Vietnam Selatan”.

Pada tahap ini AS, Inggris, dan para pembuat kebijakan dari negara-negara Barat liyannya yakin bahkan jika Sukarno bisa digulingkan, perpecahan di tubuh Angkatan Bersenjata dan terus berlanjutnya eksistensi PKI merupakan sumber dari masalah mereka di Indonesia.

Inggris kimput Indonesia akan melanjutkan konfrontasi, dan kekhawatiran AS mengenai kekuatan PKI bahkan mendorong munculnya diskusi tentang kemungkinan untuk memecah-mecah Indonesia menjadi negara-negara kecil.

Departemen Hubungan Luar Negeri dan Persemakmuran berpendapat bahwa Inggris harus mempertimbangkan untuk melakukan upaya sungguh-sungguh untuk memecah Indonesia karena, bagaimanapun silang selimpat dan tidak stabil akibatnya, hal ihwal itu akan lebih baik tinimbang harus menghadapi sebuah negara komunis yang kuat dan mengancam, dengan jumlah penduduk sebanyak 100 juta orang.

Tidak diragukan lagi bahwa Pemerintahan Presiden Johnson dan rekan-rekannya di Inggris sedang mempertimbangkan cara-cara untuk menggulingkan Sukarno dari kekuasaan, dan juga–jika perihal itu gagal–mempertimbangkan rencana untuk memecah negara Indonesia itu sendiri.

Memburuknya hubungan dengan Jakarta menyakinkan AS untuk mengurangi kehadiran Amerika di Indonesia hingga ke tingkat yang paling minimal, sambil mencoba untuk menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga berbagai elemen yang memiliki kekuatan potensial dapat menikmati kondisi yang paling menguntungkan untuk melakukan konfrontasi antara AD dan PKI.

Pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas operasi-operasi rahasianya, sehingga mencakup juga “hubungan rahasia dengan–dan dukungan untuk–kelompok-kelompok antikomunis yang ada, black letter operations, operasi media, termasuk kemungkinan aksi radio hitam dan politik hitam dalam lembaga-lembaga dan organisasi Indonesia yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengeksploitasi faksionalisme di tubuh PKI.

Kalakian, dalam sebuah pertemuan diplomatik beberapa hari kemudian, Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Jones menyatakan bahwa “dari sudut pandang kami, tentu saja, suatu upaya kudeta yang gagal oleh PKI mungkin merupakan perkembangan yang paling efektif untuk mulai membalik kecenderungan politik di Indonesia yang ada sekarang ini.”

Pada sekira waktu yang sama, dokumen-dokumen Inggris yang baru saja dicabut status kerahasiaannya mengungkapkan, bahwa Inggris juga sedang memperluas aksi-aksi rahasianya, dengan jalan membuat sebuah satuan tugas anyar yang disebut “director of political warfare against Indonesia” [direktur perang politik melawan Indonesia] dan berbasis di Singapura (Schaefer 2013).

Kekhawatiran AS dan Inggris mulai berkurang setelah Peristiwa Gerakan 30 September (atau dinihari 1 Oktober) 1965 terjadi. Yang lebih penting dari peristiwa G30S itu sendiri adalah bagaimana Mayor Jenderal Soeharto, AD Indonesia, dan para pendukung internasional mereka memanfaatkan apa yang terjadi waktu itu untuk menjustifikasi aksi pembasmian atas PKI.

Naiknya militer Indonesia ke pucak kekuasaan dan kebutuhannya untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia memberi kekuatan yang besar kepada negara-negara Barat untuk memengaruhi perilaku mereka.

Washington yakin bahwa “beberapa hari, minggu, dan bulan berikut dapat melahirkan peluang-peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi kita untuk mulai memengaruhi orang dan jalannya peristiwa yang ada, ketika pihak militer mulai memahami pelbagai masalah dan dilema yang tengah mereka hadapi.”

*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-uEeoe/muslihat-amerika-menggulingkan-sukarno

1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Editorial

Konflik Maluku dan Ancaman Ekstremisme Lama dalam Wajah Baru

2 Mins read
Baru-baru ini terjadi konflik sosial antara warga Desa Sawai dan Desa Rumah Olat, di Seram Utara, Maluku. Idealnya, konflik tersebut dapat terselesaikan…
Editorial

Teror terhadap Pers: Lonceng Kematian bagi Demokrasi

2 Mins read
“Pers adalah penjaga demokrasi yang tidak pernah tertidur dan tidak dapat diajak kompromi” Pada 19 Maret 2025, sebuah paket berisi kepala babi…
Editorial

Ketika Air Jadi Krisis, Apakah Tentara Solusinya?

2 Mins read
Ketika musim kemarau melanda dan sumur-sumur mulai mengering di pelosok negeri, suara jeriken beradu di antrean air menjadi gambaran nyata dari krisis…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.