Bagi para pengedar paham khilafah, perbedaan jatuhnya bulan Ramadan di Indonesia dianggap salah. Mereka kira, perbedaan ini bentuk dari persoalan dan ketidakakuran warga Muslim Indonesia.
Menurut mereka, perbedaan ini sangat menyedihkan. Karena umat Muslim dan para ulama dan penguasanya, menganggap persoalan ini sebagai hal yang lumrah. Mereka seakan-akan tidak peduli akan urgensi bersegera menyelesaikan permasalahan ini, bahkan menganggap hal ini mustahil diselesaikan.
Tuduhan Aneh Pengedar Khilafah
Tuduhan mereka sungguh aneh. Bahkan menganggap bahwa perbedaan permulaan bulan puasa akan memicu konflik horizontal, disintegrasi, serta melemahkan posisi umat Islam di mata umat lainnya. Dari mana mereka punya pikiran seperti ini?
Pengedar paham khilafah menuduh bahwa masalah perbedaan permulaan puasa karena tiga hal. Pertama, masalah fikih, seperti penggunaan metode yang berbeda antara rukyat atau hisab, lalu antara rukyat lokal atau rukyat global. Kedua, masalah ilmu pengetahuan (sains), terkait teknologi rukyatulhilal yang mestinya sudah selesai. Ketiga, masalah politik, yakni terkait siapa pemegang otoritas yang wajib ditaati oleh umat Islam dalam hal penentuan awal dan akhir bulan hijriah, khususnya Ramadan.
Bagi mereka, yang cocok dalam menangani perkara ini adalah khilafah. Perkara penetapan awal dan akhir Ramadan hanya bisa diatasi dengan sistem khilafah. Katanya, karena kalau tidak diatasi segera, umat Islam di dunia menjadi bahan tertawaan bagi musuh-musuhnya. Sungguh ini sangat lucu.
Kelucuan Pengedar Khilafah
Kelucuan mereka adalah, mereka menganggap bahwa perbedaan awal puasa adalah kepentingan politik pemerintah, atau kepentingan politik pragmatis rezim penguasa. Tapi anehnya, mereka juga menyodorkan khilafah menjadi sistem di Indonesia untuk menjadi solusi dari persoalan itu semua. Jadi, mereka menuduh rezim ini karena politiknya, sedang mereka juga memakai politik untuk mengunci dan berlindung.
Kelucuan selanjutnya, mereka mengatakan bahwa potensi konflik horizontal bakal terjadi apabila kondisi perbedaan puasa terus dilakukan. Faktanya, sejak berdirinya negara Indonesia ini, tidak pernah konflik itu terjadi gara-gara permulaan bulan puasa berbeda.
Kewajiban syarak untuk memulai dan mengakhiri Ramadan pada waktu yang sama dalam Islam juga tidak diatur ketat. Barang siapa boleh memakai caranya sendiri tergantung kepercayaan, keilmuan, kesepakatan, dan tanggung jawab. Misalnya, warga NU dan Muhammadiyah selalu berbeda. Bagi mereka berdua tidak jadi masalah.
Perbedaan ini bukan gara-gara konsep negara. Konsep negara Indonesia sudah baik, bagus, dan final menjadi: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, pelaksanaan ibadah puasa jelas tidak berpengaruh terhadap corak kehidupan umat Islam Indonesia, lebih-lebih menyalahkan ormas dan sistem negara.
Pura-pura Para Pengedar Khilafah
Sungguhlah berdosa ketika umat Islam dituduh bermacam-macam karena hanya melaksanakan ibadah bulan puasa berbeda. Apalagi, perbedaan bulan puasa dikaitkan karena tidak digubrisnya usulan khilafah menjadi sistem negara Indonesia.
Tidak ada alasan bahwa Indonesia harus menerima sistem khilafah. Perbedaan awal bulan puasa bukan karena sistem negara yang harus mengubah sistem, seperti yang dikatakan pengedar khilafah. Munculnya perbedaan dalam penetapan awal dan akhir Ramadan, bukan juga karena lenyapnya institusi khilafah yang selalu menyebabkan masalah.
Khilafah hanyalah bentuk politik jualan bagi kelompok seperti HTI untuk membingungkan umat Islam. Sebab, khalifah tidak benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat dari segala hal yang membahayakan, termasuk pelanggaran syariat dan potensi keterpecahbelahan.
Penerapan syariat kaffah oleh khilafah hanyalah akal-akalan pengedar khilafah untuk mencari donatur dan cuan. Mereka sama sekali tidak benar-benar ingin menjaga kemuliaan dan kekuatan umat Islam.