Siapa yang menyangka jika Bali memiliki syair nasionalisme? Apalagi syair ini muncul dari seorang ulama’ yang memiliki hubungan dekat dengan Mbah Soleh Darat? Bahkan, syair ini lahir di tengah masyarakat Hindu Bali.
Populasi Muslim terbesar di Kabupaten Jembrana Bali berada di Desa Loloan Timur dan Barat. Wilayah ini hampir seluruh penduduknya beragama Islam. Adapun bahasa kesehariannya adalah bahasa Melayu. Mengenai sejarah keberadaan Muslim di Jembrana selengkapnya baca: Daeng Nachoda Terdamparnya Skuadron Pasukan Kesultanan Wajo di Jembrana pada Abad ke-17 karya Eka Sabara.
Pondok pesantren tertua di Bali terletak di desa ini, yaitu bernama Manba’ul Ulum. Pondok pesantren ini didirikan oleh KHR. Ahmad Al Hadi. Beliau lahir pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1976. Ayah beliau bernama KH. Dahlan AlFalaky dan Ibunya bernama R.A Siti Zahroh. Seperti yang sudah penulis singgung di awal, Ibu dari KHR. Ahmad Al Hadi merupakan putri dari KH. Soleh Darat. Sehingga KHR. Ahmad Al Hadi merupakan cucu Mbah Soleh dari jalur ibu. Rohil ZIlfa, dalam Eksistensi Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Loloan Timur di Tengah Masyarakat Multikultural Masyarakat Jembrana, Provinsi Bali, telah membahas jauh akan profil pondok pesantren ini. Disertasi tersebut memaparkan tentang eksistensi pondok pesantren yang berdiri di tengah masyarakat Hindu Bali.
KHR. Ahmad Al Hadi selain membangun pondok pesantren, beliau juga aktif berdakwah kepada masyarakat sekitar. Salah satu media dakwahnya ialah menggunakan sya’ir, dan hebatnya lagi, menggunakan bahasa Melayu. Sebagai pendatang dari Semarang, KHR. Ahmad Al Hadi tentu tidak akrab dengan bahasa Melayu. Hj. Musyarrafah Ahmad, putri KHR. Ahmad Al Hadi, menyampaikan bahwa beliau semasa hidupnya tidak banyak berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu, termasuk dengan keluarganya sendiri meski beliau sendiri dapat memahaminya.
Untuk menyampaikan dakwahnya, beliau menggunakan sya’ir untuk mengajarkan nasionalisme. Dimulai dengan mengajarkan kepada santrinya, kemudian kepada masyarakat sekitar pesantren. Rohil Zilfa, cucu KHR. Ahmad Al Hadi, mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu akrab dengan syair tersebut. Bahkan saat penulis datang untuk menggai informasi, Ia kurang mengetahui dan menyerahkan pertanyaan saya kepada ibunya, Hj. Musyarrafah Ahmad.
KHR. Ahmad Al Hadi mengarang syai’ir-sya’ir tentang nasionalisme, akhlak, kearifan lokal, dan ajaran kehidupan lainnya. Sya’ir-sya’ir tersebut terkompilasi pada kitab yang berjudul “Kumpulan Sya’ir KHR. Ahmad Al Hadi bin Dahlan Al-Falaky (1895-1976)”. Selain itu, ia juga mengarang kitab A’malu Al-Khoirot yang berisi tentang tajwid, tauhid dan fiqih. Kitab tersebut disusun menggunakan bahasa Melayu dan dalam bentuk sya’ir juga.
Sayangnya, sya’ir-sya’ir tersebut hampir kehilangan posisinya. Saat penulis mencoba untuk menggali lebih dalam, hanya Hj. Musyarrofah yang masih memiliki ingatan kuat terkait sya’ir-sya’ir tersebut termasuk irama yang biasa dilantunkan. Meskipun begitu, saat ditemui, penulis sangat bersyukur masih bisa menggali lebih dalam. Mengingat karya ini umumnya hanya sebatas dilantunkan pada acara tertentu saja, seperti peringatan maulid nabi, isro’ mi’roj, dan beberapa hari besar Islam lainnya.
Mirisnya lagi, ketika ditanyakan kepada para santri, sya’ir ini begitu asing di telinga mereka. Beberapa santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Banyubiru Bali yang pengasuhnya juga merupakan putra dari KHR. Ahmad Al Hadi, masih belum mengenal akan sya’ir-sya’ir ini. Padahal, sebelum memulai pengajian kitab, biasanya para santri melantunkan sya’ir-sya’ir tersebut. Hal ini menjadi sangat menyedihkan dimana para santri hanya mengenal isinya namun tidak mengenal siapa pengarangnya.
Pada jurnal yang berjudul “Nationalism in Balinese Kyai’s Poems : A Discourse Analysis”, penulis membahas sembilan sya’ir-sya’ir yang berisi ajaran nasionalisme. Salah satu sya’ir tersebut berbunyi:
Putra dan putri insaflah hatimu
Untuk majukan agamamu
Pimpinlah kawanmu fikirkan bangsamu
Jujurkan budi lakumu
Aturlah untukmu bangunkanlah kawanmu
Untuk belajar ilmu
Saudara sekalian tuntutlah ilmu Tuhan
Dengan hati yang sabar janganlah lekas bubar
Akan diberi Tuhan ilmu pengetahuan
Itulah kemuliaan itulah kenikmatan itulah keuntungan
Dari beberapa bait di atas, KHR. Ahmad Al Hadi mengajarkan nasionalisme dengan sangat elegan. Tak hanya nasionalisme, beliau juga menyelipkan pesan-pesan penting lainnya seperti; ajakan bertaubat, bertingkah laku baik, menuntut ilmu, dan kesabaran. Hal ini dinilai sangat relevan dengan keadaan sekarang. Karena nasionalisme merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Tak hanya itu, demi menguatkan nasionalisme, tentu harus didukung oleh perilaku yang baik, ilmu yang cukup dan juga yang tak kalah penting ialah kesabaran.
Dengan melirik kearifan lokal para ulama kita tentang menanamkan ajaran nasionalisme, tentu ini menjadi salah satu metode yang bisa kita terapkan kepada masyarakat, dalam konteks ini, Muslim Bali. Dengan maraknya aksi terorisme akhir-akhir ini, diharapkan kita semua tetap menjaga kesatuan dan persatuan serta tidak terpancing oleh adu domba yang mengaku mengatasnamakan membela agama. Lalu sebagai generasi milenial, apa yang akan kamu lakukan sekarang guna menguatkan rasa nasionalisme-mu?
Alumni Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang dan alumni Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Banyubiru Negara Bali. Saat ini aktif meneliti dan menulis tentang Khazanah Keislaman Bali; Sejarah, Budaya, Agama, dan Relasi Muslim-Hindu Bali.
Selengkapnya baca di sini I