Dalam pergulatan wacana kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, Nawal el-Saadawi merupakan salah satu tokoh yang ikut serta memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai respon realitas yang ia temui di sekitarnya. Nawal el-Saadawi lahir pada tanggal 27 Oktober 1931 di Kafr Tahla, Mesir. Ia merupakan seorang dokter lulusan Universitas Kairo pada tahun 1955. Kemudian pada tahun 1966, Nawal meraih gelar Master Public Health dari Universitas Colombia, New York. Nawal menikah dengan Sherif Hetata, seorang dokter sekaligus novelis, sama sepertinya.
Dalam perjalan karirnya, Nawal el-Saadawi pernah beberapa kali menjabat posisi penting seperti Direktur Pendidikan Kesehatan, Sekjen Asosiasi Medis , Kairo, dan pimpinan redaksi majalah Health. Ia pun tercatat pernah mendirikan organisasi perempuan seperti Himpunan Solidaritas Perempuan Arab dan Asosiasi Arab untuk Hak Asasi Manusia.
***
Nawal merupakan sosok wanita yang cerdas, kritis dan tangguh. Ia tumbuh sebagai seorang feminis Mesir yang terkemuka bahkan hingga di panggung internasional. Berkat kecerdasannya tersebut ia beberapa kali mendapatkan gelar doktor kehormatan. Selain itu, ia juga pernah mendapat penghargaan internasional seperti Pan African Writers Association Literary Award and Honorary Membership (2009), serta International Writer of the Year (2003).
Ia bukan saja seorang dokter, aktivis sekaligus novelis yang cerdas dan kritis, akan tetapi juga produktif.
Karyanya yang berupa novel dikemas dalam bahasa yang emotif dan colloquialism (bahasa sehari-hari). Selain itu juga, ia menonjolkan kritik pedas terhadap isu jender yang menjadi tendensinya. Di antara buah karyanya yakni The Hidden Face of Eve, Two Women in Love, Memoirs of a Lady Doctor, Women at Point Zero. Adapun Karya non fiksi seperti Women in the Arab , Women and Sex, Women and Psychological Conflict, dan Memoirs of Women’s Prison.
Karyanya yang kritis dan berani tentang isu perempuan ingin mendobrak manipulasi ajaran agama yang sering terjadi. Namun, hal ini membuat gusar para penguasa sekuler maupun agama di negaranya. Akibat dari karyanya yang sering membahas perihal sensitif, ia pernah dibebas tugaskan dari jabatannya sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat. Pemerintah pun sempat menutup majalah yang dipimpinnya, bahkan pada tahun 1981 ia pernah di penjara.
Riset tentang Sunat Perempuan
Nawal el-Saadawi menyadari begitu banyak ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di negaranya, sehingga ia gentar memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satu dimensi yang disoroti adalah seksualitas perempuan, khususnya tentang khifad (sunat perempuan). Adapun sunat anak perempuan pada masa itu adalah memotong seluruh klitoris perempuan; yang dipercaya sebagai sesuatu yang buruk dalam tubuh perempuan. Dengan sunat perempuan, maka tindakan seksual perempuan dapat terkontrol.
Kegelisahan Nawal terhadap praktik sunat anak perempuan di daerah praktiknya berawal dari pengaduan para pasiennya. Mereka mengeluhkan problem yang sering mereka alami terkait kondisi fisik dan psikologis sebagai akibat dari sunat tersebut. Salah satu problem tersebut mereka tidak dapat merasakan nikmat saat berhubungan seksual dengan suaminya.
Pengalaman traumatis yang juga menimpa dirinya tersebut menggerakkan dirinya untuk melakukan riset. Hasil risetnya menyebutkan bahwa sunat sering dilakukan oleh Daya (dukun sunat). Artinya, sunat bukan oleh dokter ahli, sehingga sering mengakibatkan infeksi pada kelamin perempuan. Beberapa pasiennya pun meninggal karena pemakaian peralatan tradisional yang kurang steril. Adapun faktor yang mempengaruhi tradisi sunat perempuan yakni rendahnya tingkat pendidikan serta tradisi kolot menyunat klitoris anak perempuan.
Narasumber yang ia wawancarai mengaku takut jika tidak menyunat anak perempuan mereka, maka tidak ada laki-laki yang mau menikahinya. Sunat yang tragis tersebut diibaratkan sebagai simbol kesucian perempuan. Anak perempuan yang telah disunat dan akan menikah, maka jahitan bekas sunat akan dibuka agar cukup penetrasi. Namun, jika ada keluarga yang bercerai, maka pihak laki-laki akan meminta keluarga perempuan menjahit kelamin (perempuan) kembali. Hal demikian untuk memastikan perempuan tidak mendatangkan hal buruk karena melakukan seks di luar nikah.
Agama Islam Memeperhatikan Masalah Perempuan
Catatan ilmiahnya mengenai sunat perempuan juga mengantarkannya pada pembacaan teks agama. Ia menemukan sebuah hadis nabi yang berbunyi “jika kamu lakukan sunat, maka ambillah sebagian kecil dan sisakanlah sebagian yang besar. wanita akan senang serta lebih membahagiakan suaminya jika kenikmatannya sempurna”.
Nawal memahami bahwa sejak zaman Nabi, hak-hak perempuan telah mendapat perhatian termasuk tentang hak seksual. Dalam arti lain, perempuan juga berhak mengekspresikan hasrat seksual sesuai ketentuan agama. Lebih lanjut, klitoris menurutnya merupakan organ penting dalam tubuh perempuan sebagai anugerah dari Tuhan dan keberadaannya tidak menjadi pertentangan.
Nawal menilai bahwasanya kontrol terhadap perilaku perempuan, terutama terhadap hasrat seksual (libido) dapat dilakukan dengan kasih sayang, seperti memperhatikan penuh perkembangan dari perempuan tersebut. Sunat klitoris atau sunat perempuan tersebut hanya akan meneguhkan relasi kuasa tradisi keluarga yang patriatkal.
Tradisi yang memberi kontrol berlebih pada perempuan. Kontrol yang bersifat memaksa bahkan mengerikan seperti sunat perempuan cenderung membuat semacam pemberontakan dalam hati dan kapan pun bisa meledak bagai bom waktu. Perempuan seharusnya punya kebebasan, tetapi sebelumnya telah memiliki bekal agama dan pengetahuan.
Bagi Nawal, tradisi sunat anak perempuan yang tragis tersebut tidak lain sebuah tradisi pada zaman kekuasaan Paraoh, zaman Mesir Kuno. Sunat pada masa itu dipraktekkan bersamaan dengan sibak suci; di mana lubang kelamin perempuan digembok agar tidak dapat berhubungan seksual ketika suami mereka pergi berperang. Artinya, tradisi tersebut hanyalah tradisi masa lalu yang cukup sebagai catatan sejarah saja.
Pada akhirnya, tahun 1997 pemerintah Mesir (baca: Menteri Kesehatan) mengeluarkan keputusan tentang larangan khitan bagi perempuan berdasarkan pada fakta ilmiah kedokteran. Setelah perjuangan Nawal dalam hal pelarangan sunat/khitan perempuan berhasil, Nawal tak lantas puas. Ia tetap bersemangat untuk menyuarakan kepentingan dari kaum tertindas.
Sumber
el-Saadawi, Nawal 2012. Perempuan dalam Budaya Patriatki, terj. Zulhilmiyasri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
el Saadawi, Nawal dan Hibah Ra’uf Izzat. 2002. Perempuan, Agama, dan Moralitas; antara Nalar Feminis dan Islam Revivalis, terj. Ibnu Rusydi. Jakarta: Erlangga. hlm. 61 dan 63.
Alumni UIN Sunan Kalijaga. Berminat dalam kajian perempuan dan agama