Surakarta atau Solo sering dijuluki sebagai kota batik, dan kota budaya. Beragam macam budaya yang ada di Solo bisa kita temui disetiap sudut kotanya. Bangunan-bangunan bersejarah, seperti keraton Kasunanan Surakarta, keraton Mangkunegaran, taman Sriwedari, Masjid Agung Surakarta dan lain sebagainya menjadi penanda bahwa Solo, berjuluk kota sejarah. Hal itu lah yang kemudian menjadi rahim bagi lahirnya keragaman entitas budaya yang ada di kota Solo.
Segala macam pentahbisan yang melekat dan dilekatkan pada kota Solo bukan tanpa alasan. Melihat wajah kota yang begitu beragam, tentu lahir pula keragaman lainya. Keberagaman yang ada di kota Solo menjadi representasi wajah Indonesia (kecil) yang dihuni dari beragam suku, etnis dan agama.
Tulisan ini berisi penjelajahan-perjalanan di kota Solo dengan menengok beragam-macam keotentikasiannya yang konon disebut sebagai kota pluralis. Jejak-jejak kekekayaan keberagaman yang tersebar di Solo atau sering disebut dengan wilayah Solo Raya, kini, mulai tercoreng. Munculnya tindakan-tindakan radikalisme agama acap kali terjadi. Dilansir dari news.okezone.com, Solo Raya masih menjadi zona merah bagi dari paham radikalisme agama saat ini (Rabu, 19 Februari 2021).
Kita tentu mengingat peristiwa-kejadian perusakan makam Nasrani yang dilakukan oleh murid-murid sekolah beberapa waktu lalu. Dugaan kuat, penghancuran makam yang dilakukan bermotif ujaran kebencian atas nama agama atau intoleransi. Penanaman kebencian terhadap perbedaan yang dipupuk sejak masa anak-anak sangat khawatir dan mengkhawatirkan.
Mengingat berita diatas, saya tergerak untuk menelusuri apakah ada sebuah gerakan yang aktif menyuarakan kedamaian dan perdamaian atas nama kemanusiaan di Solo. Kemudian, teman saya menyarankan untuk melakukan penelusuran sebuah komunitas sosial-keagamaan yang ada di kota Solo. Setelah mendapatkan kontak yang bisa diajak untuk wawancara, saya menyiapkan keperluan untuk berbincang esok paginya. Pagi pukul 07.30 WIB, saya mulai mengendarai motor dari Kartasura Sukoharjo, menuju alamat yang sudah dikirim lewat gawai. Alamat itu tertuju di sekitaran kompleks keraton Kasunan Surakata.
Untuk mengisi perut, saya putuskan untuk menyantap sarapan terlebih dahulu di sekitaran Alun-alun kidul (selatan) Surakarta atau sering juga disebut Alkid (singkatan Alun-alun kidul). Ditempat ini, terdapat keunikan dan keotentikan yang terdapat di Alkid Surakarta yakni peninggalan sejarah yang sampai kini masih terawat, yaitu gerbong kereta—yang sudah di museumkan—dan bangunan berbentuk joglo, rumah bagi kerbau bule yang sangat disakralkan masyarakat Surakarta.
Kemudian, motor saya parkirkan di depan angkringan bertuliskan “Angkringan Pak Agus”. Setelah melihat bangku yang masih kosong, lekas saja saya memesan kudapan yaitu Nasi Tumpang (makanan khas Solo) dengan ditemani beragam gorengan yang tersedia di nampan. Setelah lewat kurang lebih tiga pulih menit melahap Nasi Tumpang, gawai berdering berisi pesan singkat (WA). Isi pesan menandakan untuk lekas mengunjungi lokasi yang sudah dijanjikan.
Lokasi itu berada di dalam kompleks Masjid Baitul Karim, Baluwarti, Surakarta. Sebelah masjid, berdiri sebuah bangunan yang cukup megah dengan penanda bertuliskan “Tabligh Center: Perpustakaan Bray Mahyastoeti Notonagara”. Bangunan ini lah yang menjadi embrio lahirnya sebuah komunitas lintas iman yaitu Omah Bhineka Indonesia atau Ombhin.
Ombhin menjadi penanda seru. Itulah gambaran mengenai komunitas ini, yang sangat getol dan masif menyerukan perdamaian dan cinta kasih antar sesama umat manusia. Salah satu sosok di belakang lahirnya komunitas Omah Bhineka diprakarsai oleh Jarot Kristano (pendeta Kristen asal Surakarta) dan Muhaimin Khairul Amin (Mubalig Ahmadiyah).
Dalam obrolannya, Jarot Kristanto membuka obrolan dengan sangat to the point tatkala membahas pentingnya toleransi agama “menyemai kerukunan toleransi dan kerukunan antar umat, kini, sangat penting dan urgent. Kita harus bisa menghalau serangan-serangan yang hanya berkempentingan untuk kelompoknya semata” pungkas Jarot Kristanto. Lebih lanjut “kita ingin (Ombhin) menjadi garda terdepan untuk menyuarakan hak-hak minoritas yang mengalami diskriminasi sosial yang ada di Indonesia, khususnya Solo”.
Ungkapan diatas dilantunkan dengan menggebu-gebu dan penuh antusias. Ditilik lewat jejak sejaranya, Ombihn lahir dari komunitas sebelumnya yaitu FORMAKRUMAT (Forum Mahasiswa Kerukunan Antar Umat) yang berdiri 4 (empat) tahun lalu. Komunitas ini beranggotakan mahasiswa dari kampus-kampus yang tersebar di Solo.
Agenda demi agenda terselenggara dengan beragam tema-pembahasan yang berkaitan erat dengan penyemaian toleransi dan kerukunan antar umat. Jarot Kristano memaparkan, konsep toleransi tidak hanya sebatas pada satu pemahaman agama saja. Kita harus bisa melompat pada pemahaman yang lebih luas (tidak sempit). Konsep-konsep seperti moderat, pluralis sampai multikultur harus kita gapai bersama.
Lebih lanjut Jarot Kristanto memaparkan bahwasanya, “Komunitas kita tidak hanya diisi dengan diskusi saja, ada kegiatan untuk mengaktualisasikan konsep-konsep yang sudah diobrolkan, seperti bersih-bersih Gereja yang dilakukan oleh Jamaah Ahmadiyah Surakarta dan sebaliknya”. Konsep moderasi tidak hanya sebagai konsep yang mengawang-awang “Kita sebenarnya punya sumberdaya manusia yang sangat banyak, dan Indonesia sudah mempunyai tiga konsep tadi, namun, apakah kita sadar dan sudah menjadi orang yang multikultur?” pungkas Jarot Kristanto.
Pria yang mengajar di UKS (Universitas Kristen Surakarta) ini memaparkan bentuk filosofi terkait penamaan Omah Bhineka dengan antusias. Penekanan pada filsafat omah atau rumah memiliki arti yang sangat dalam. Pemaknaan omah diartikan sebagai pertemuan antara sesuatu yang diatas (alam semesta) dengan yang dibawah (ibu bumi). “Makanya orang Jawa, ketika menikah disebut omah-omah. Orang yang membangun rumah tangga tidak mungkin didasari dengan kebencian, malah sebaliknya. Dalam rumah, kita menanam dan menyemai kebaikan atau kebajikan, membangun cinta kasih, memberi rasa aman diantara sesama dan lain sebagainya”.
Menjelang siang, obrolan ditemani teh manis, jajanan pasar dan bebrapa cemilan yang sudah tersaji di meja. Disaat terus obrolan berlanjut, datang perempuan bernama Lydia Riana Dewi. Ia yang dipercaya sebagai bendahara di komunitas Ombhin. Bersama Ombhin, ia menggeluti pelbagai macam kegiatan-kegiatan yang bergerak di ranah sosial keagamaan.
Dalam membuka obrolan, Lydia R.D langsung mengungkapkan rasa keluh kesahnya mengenai kota Solo yang acapkali distampel sebagai kota intoleran dan radikal belakangan ini. Ia memberikan pandanganya terkait pentingnya gerakan yang merepresentasikan moderasi beragama. “Solo harus menjadi miniatur Indonesia mengenai toleransi beragama, kita terus berupaya mengkampanyekan moderasi beragama yang didasari atas cinta kasih manusia” Tutur Lydia.
Itulah yang membuat Lydia R.D tergerak untuk ikut berkecimpung di Ombhin. Alumnus Sosiologi dan Antropologi FISIP UNS ini berpendapat “Kita menginginkan perdamaian diantara sesama manusia. Sikap menghargai antar manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan itulah toleransi”.
Gerakan semacam Ombhin perlu disiarkan lebih luas mengenai indahnya kerukunan umat antar agama. Menyemaikan kedamaian dengan merangkul antar manusia satu dengan yang lainya. Atas dasar kebhinekaan lah kita tanggalkan segala identitas keagamaan, kesukuan, dan ras kita dalam melihat perbedaan. Karena menurut Jarot Kristanto, diakhir obrolan ia berstetmen “Love for all hatred for none, cinta untuk semua, tidak menyakiti siapapun”.
Artikel ini adalah hasil kerja sama Bincangsyariah.com dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI