Kepahlawanan pada dasarnya ialah sebuah etos, alias pandangan dan sikap hidup yang berani berjuang serta berkorban tanpa pamrih demi terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Maka, label pahlawan yang disandang seseorang pada dasarnya merupakan bentuk apresiasi negara dan masyarakat atas perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan demi bangsa dan negara.
Dan, peringatan Hari Pahlawan saban 10 November hanyalah secuil upaya untuk merawat ingatan bangsa akan jasa pahlawanan. Ungkapan “bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan” barangkali sudah sering dikutip dan cenderung klise. Namun, ungkapan itu mengandung banyak kebenaran. Negara Republik Indonesia mustahil berdiri tanpa sumbangsih para pahlawan.
Sayangnya, di usia Republik Indonesia yang menginjak lebih dari tujuh dekade ini, narasi kepahlawanan kian hari kian melemah. Maraknya pembelokan sejarah yang dilakukan oleh kelompok tertentu harus diakui cukup membuat ingatan bangsa akan para pahlawannya luntur. Di saat yang sama, ada semacam upaya untuk mencekoki masyarakat dengan pahlawan-pahlawan baru yang sebenarnya asing dalam tradisi kebudayaan dan sejarah kita.
Di lapangan kita melihat banyak lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan organisasi atau aliran keagamaan tertentu enggan mengajarkan sejarah pahlawan bangsa seperti Christina Martha Tiahahu, Pattimura, Yos Sudaso dan sebagainya karena dinilai tidak merepresentasikan kaum muslim. Sebaliknya, mereka cenderung mencekoki muridnya dengan narasi kepahlawanan dari sejarah Islam di masa lalu.
Narasi Kepahlawanan yang Semu
Misalnya, narasi glorifikatif keberhasilan Muhammad al Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel. Mengenalkan pahlawan-pahlawan dari bangsa lain tentu boleh-boleh saja. Namun, jika itu dilakukan dengan tujuan menghapus memori anak bangsa dari sejarah kepahlawanan bangsa sendiri, maka itu sama saja dengan menyusun narasi heroisme semu.
Heroisme semu secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya mencerabut sejarah kepahlawanan bangsa sendiri dan menggantinya dengan narasi sejarah bangsa lain. Heroisme semu inilah yang menggejala di kalangan masyarakat, utamanya generasi muda muslim. Sebagian dari mereka acap kali lebih mengidolakan Muhammad al Fatih ketimbang (misalnya) Si Pitung atau pahlawan lokal lainnya.
Bukankah ini sebuah fenomena yang absurd alias tidak masuk akal? Bagaimana anak muda bisa mewarisi inspirasi keteladanan para pahlawan terdahulu jika mengenal dan mengapresiasinya saja tidak mau?
Frasa “Pahlawanku Inspirasiku” yang menjadi tema Hari Pahlawan 2021 kiranya tepat menjadi semacam pendorong untuk kembali menanamkan jiwa kepahlawanan nasional di kalangan generasi penerus bangsa. Mengenal dan mengapresiasi jasa para pahlawan bangsa sendiri bukan semata mengglorifikasi kisah perjuangan mereka di masa lalu.
Jauh lebih penting dari itu ialah memahami dalam konteks kesejarahan seperti apa kepahlawanan itu muncul. Para pahlawan kemerdekaan di masa lalu itu berjuang dilandasi oleh nasionalisme altruis, alias semangat kebangsaan tanpa pamrih.
Tidak ada alibi jabatan, atau tendensi apa pun dalam memperjuangkan kemerdekaan kecuali rasa cinta pada tanah air dan bangsa. Mereka resah melihat ketidakadilan dan penindasan yang terjadi akibat praktik kolonialisme. Oleh karena itu mereka mengangkat senjata melawan penjajah.
Mengadaptasikan Keteladanan Para Pahlawan
Di era sekarang, ketika era kolonialisme telah berlalu, spirit kepahlawanan itu tetap kita butuhkan. Tersebab, bangsa Indonesia tengah dirundung beragam tantangan. Salah satu yang terberat ialah maraknya penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama. Layaknya kolonialisme, radikalisme dan terorisme juga memiliki daya rusak yang sama dahsyatnya. Tidak hanya secara fisik, namun juga secara sosiologis dan politis.
Peringatan Hari Pahlawan kiranya menjadi momentum untuk melawan narasi kepahlawanan atau heroisme semu yang sengaja disusun dan disebarluaskan agar kaum muda terjebak ke dalam kubangan radikalisme. Kita harus membangun narasi kepahlawanan sejati, yakni kepahlawanan yang dibangun di atas inspirasi keteladanan para pejuang kemerdekaan dan siapa saja yang menyumbang peran dan andil pada kemajuan bangsa.
Peringatan Hari Pahlawan bukanlah sekadar selebrasi artifisial, apalagi mengultuskan sosok pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan tiada lain bertujuan untuk menggali inspirasi keteladanan para pahlawan agar bisa diimplementasikan dalam konteks kekinian. Dalam hal ini, ada setidaknya tiga inspirasi keteladanan para pahlawan yang layak kita adaptasikan dalam konteks sekarang.
Yakni sikap cinta tanah air (nasionalisme), kerelaan berkorban demi bangsa dan negara (patriotisme) dan kerelaan berjuang tanpa pamrih (altruisme). Ketiga inspirasi itu kiranya bisa kita jadikan pedoman di era sekarang, utamanya dalam konteks menjaga NKRI dari ancaman radikalisme dan terorisme.