Pada momentum Hari Pahlawan ini, pemerintah Indonesia memberi anugerah kepahlawanan bagi empat tokoh besar. Presiden Jokowi menahbiskan gelar pahlawan bagi empat tokoh pejuang bangsa dan penegak nilai-nilai keindonesiaan. Anugerah ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 2017, tanggal 6 November 2017, tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Empat tokoh pahlawan itu adalah Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (NTB), Laksamana Malahayati (Aceh), Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau) dan Lafran Pane (DI Yogyakarta). Dari keempat tokoh itu, semuanya merupakan pemimpin yang menggerakkan visi perjuangan dan merawat nilai-nilai keindonesiaan.
Sebagai pendiri Nahdlatul Wathan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terbukti memiliki lanskap keislaman-kebangsaan yang luas, yang menjadi pilar keindonesiaan. Laksamana Malahayati merupakan panglima perang Kesultanan Aceh, yang berani bertempur melawan armada laut Belanda dan Portugis, pada kisaran abad ke-16. Ia putri pejuang Aceh, Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah, yang silsilahnya tersambung hingga Sultan Salahuddin Syah, pemimpin Aceh pada 1530-1539.
Sultan Mahmud Riayat Syah adalah sang pemimpin rakyat kawasan Riau melawan kolonialisme Belanda. Ia dilantik sebagai Sultan Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang pada 1761 saat usianya masih belia. Ia berjuang melawan kolonial, hingga akhir hayatnya pada 1821.
Lafran Pane merupakan sosok panutan, tokoh yang merawat nilai-nilai keindonesiaa. Ia lahir pada 5 Februari 1922 di Sipirok, Sumatra Utara. Lafran Pane dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947. Dalam pergerakan sosialnya, Lafran Pane konsisten mengkampanyekan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
Dari sederet catatan perjuangan, tidak ada yang disangsikan dari tokoh-tokoh bangsa ini mendapat anugerah pahlawan. Tentu masih ada tokoh-tokoh penting yang belum mendapatkan tanda jasa kepahlawanan, meski perjuangannya lebih besar dan kontribusinya membentang luas.
Lalu, untuk masa kini, bagaimana memaknai nilai-nilai kepahlawanan bagi generasi milenial? Generasi yang lahir pada tahun 1980-2000 memiliki nuansa zaman berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi kini memiliki tantangan dalam lanskap keindonesiaan, kebinekaan hingga menjaga relasi budaya di negeri ini. Potensi konflik yang besar, ketimpangan ekonomi, hingga tantangan radikalisme-intoleransi sangat nyata.
Generasi milenial Indonesia, dari beberapa laporan survei, mengalami krisis identitas kebangsaan dan perlu asupan nilai kebangsaan. Survei Wahid Foundation menunjukkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Dari jumlah 1.520 responden, sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Latar belakang kebencian ini dipengaruhi oleh beberapa instrumen, di antaranya: kelompok non-muslim, Tionghoa, komunis, Yahudi, dan sebagainya. Dari jumlah tersebut (59,9 persen), sebanyak 92,2 persen tidak setuju bila ada anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah.
Sebanyak 82,4 persen tidak rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka. Data ini tentu menjadi sangat timpang, ketika pemerintah Indonesia menggerakkan warganya untuk menghargai kebinekaan, merawat persaudaraan lintas budaya. Catatan kebencian yang terekspose di media sosial semakin meningkat, yang meredupkan lilin perdamaian dan menyurutkan semangat kebersamaan.
Di sisi lain, muncul narasi baru di kalangan anak muda tentang bagaimana memahami jihad. Survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation menunjukkan angka signifikan dalam penerimaan jihad untuk negara Islam di kalangan generasi milenial. Dari laporan survei ini, sebanyak 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju berjihad untuk khilafah dan tegaknya negara Islam.
Survei ini melibatkan 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar di seluruh Pulau Jawa dan kota besar di Indonesia. Diselenggarakan pada 1 September – 10 Oktober 2017, survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka (face to face interview). Pada survei ini mayoritas responden mahasiswa tingkat 2 dan 3, atau yang saat ini semester 3 dan 6, dengan presentase 27,7 persen dan 27,4 persen.
Dari laporan survei ini, responden pelajar seimbang pria dan perempuan. Responden perempuan yang memakai hijab sebanyak 80 persen. Dari responden yang ada, jurusan IPA 64 persen, IPS 34 persen, dan bahasa 2 persen. Dari jumlah ini, mayoritas responden berusia 16 tahun sebanyak 38,2 persen, serta 17 tahun sebanyak 35,7 persen. Secara mayoritas, amaliyah keagamaan Nahdliyyin maulid 86,9 persen, qunut subuh 67,2 persen, tarawih 23 rakaat 43,3 persen, dan ziarah kubur 79,4 persen.
Dari laporan kedua survei ini, ada tantangan besar yang menghadang generasi milenial, yakni tantangan untuk memahami kebinekaan sebagai nilai budaya, hingga problem relasi agama dan keindonesiaan. Perlu ada strategi nyata untuk menggerakkan anak muda negeri ini memahami identitas kebangsaan, yang bersandar pada nilai-nilai kebinekaan, kesadaran kultural, dan komunikasi yang terbuka lintas etnis dan agama.
Nilai-nilai kepahlawanan harus diresapi bagi generasi milenial untuk membangun semangat kebangsaan, kebersamaan, dan keindonesiaan kita. Media sosial menjadi ruang kontestasi untuk menyebarkan gagasan keindonesiaan kita. Nilai pengabdian, etos perjuangan, kegigihan untuk menegakkan Indonesia harus dikontekstualkan pada masa sekarang, pada zaman now. Caranya? Merawat semangat keindonesiaan, kebinekaan, dan kedaulatan berbangsa pada zaman ini. Di era digital, era big data, pertarungan di ranah e-commerce, bisnis digital menjadi bagian dari tanggung jawab bersama.
Kita harus mendorong generasi milenial untuk pahlawan di ranah kontestasi digital masa kini. Lapisan generasi milenial yang memiliki kepercayaan diri, super kreatif, pekerja keras, dan terkoneksi dengan jaringan luas di lintas negara, menjadi pahlawan masa kini, pejuang pada zaman now untuk merawat marwah keindonesiaan kita.