Pancasila

Pancasila dan Ruang yang Kita Ciptakan

2 Mins read

Pemahaman Pancasila seringkali jadi pengalaman membosankan sewaktu kita sekolah. Segala macam bentuk pelajaran berkait kewarganegaraan misalnya PMP, PSPB, PPKN, Kewiraan dianggap sebagai pengetahuan yang hanya bermanfaat untuk ujian belum berkait pengamalan.

Yang menarik, dalam percakapan beberapa bulan terakhir ini, banyak pendidik- guru dan orangtua, yang semula merasa ā€œmenjadi korbanā€ berbagai penataran kemudian menyatakan pentingnya hal ini disampaikan kembali kepada anak-anak. Tantangan kita bersama, bagaimana membiasakan pengamalan relevan untuk generasi masa depan ā€“ bukan sekedar pengulangan dokumen yang tidak berhubungan dengan kehidupan.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dulu diajarkan di pelajaran Pancasila atau agama dengan menghafalkan nama agama ā€œresmiā€ yang diakui pemerintah. Anak sekarang pengalamannya berbeda tentang kebebasan beragama. Sumber informasi tersedia di mana-mana, tentang banyaknya agama dan kepercayaan yang berbeda, bahkan di dalam ā€œnamaā€ yang sama. Pengamalan akhlak dalam agama dan antar agama, sekarang seharusnya lebih ditekankan, bukan hanya memberikan pengetahuan hukum atau hafalan ibadah.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Dua puluh tahun lalu, dunia digital dan globalisasi hanya menjadi paparan segelintir masyarakat. ā€œJenisā€ kemanusiaan yang dihadapi anak sekarang jauh lebih menantang. Teman main game online dari negeri yang namanya tidak pernah didengar, avatar atau selebritas yang mewakili identitas. Pengalaman adab dan peradaban yang dihadapi anak sekarang jauh lebih banyak. Sopan di jalan raya, rekayasa genetika dan efek rumah kaca, adalah contoh pilihan harian yang menuntut kematangan.

3. Persatuan Indonesia.
Sila favorit yang dilafalkan lantang anak saat upacara, karena terpendek dan termudah diucapkan. Mungkin karena itu penghargaan atau pertanyaan dari anak-anak mengenai makna sila ketiga, bukan hal yang sering jadi percakapan. Padahal sejarah dan perjalanan bangsa kita begitu panjang dan sulit dalam mewujudkannya. Kenyataannya banyak kita dididik dengan membicarakan tentang orang lain dan bukan berbicara dengan orang lain. ā€œBicara tentangā€ adalah belajar dalam situasi yang aman dalam balon kita sendiri, ā€œbicara denganā€ seringkali diawali ketidaknyamanan karena perjumpaan yang melintasi batasan. Anak-anak butuh pelajaran berkelanjutan, karena menjadi ā€œsatuā€ dan menjadi ā€œIndonesiaā€ butuh penghayatan bukan hanya di atas kertas atau di dalam kelas. Anak-anak perlu menghadapi pengalaman keragaman yang penuh kecanggungan, namun lama kelamaan menjadi menyenangkan karena dibiasakan.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Semua kita adalah rakyat. Sebagian menjadi pemimpin dan sebagian dipimpin. Semua kita perlu bijaksana, semua perlu terlibat musyawarah. Sebagian memilih atau dipilih sebagai wakil. Begitu banyak persyaratan bernegara, begitu sedikit peran yang dilatihkan pada anak-anak kita. Pemahaman hak dan kewajiban sebagai anggota komunitas diajarkan lewat tata tertib, bukan kesepakatan bersama di sekolah atau keterlibatan warga di rukun tetangga. Pelatihan kepemimpinan bukan jadi kesempatan bagi setiap murid, tapi menjadi kemewahan terbatas untuk sekelompok elit di sekolah yang kebetulan mendapat dukungan.

5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pengalaman anak (dan orang dewasa) tentang ketimpangan banyak sekali didasarkan pada asumsi pribadi yang diwariskan antar generasi. Anak mengamati apakah Ibu adil pada si sulung dan si bungsu di saat kesakitan, murid menilai guru yang memberikan les tambahan dengan bayaran, penumpang mengikuti antrian di terminal atau membiarkan pengamen yang mencopet di pemberhentian. Semua interaksi sejak dini, menjadi awal dari persepsi tentang keadilan. Anak membangun interpretasi tentang kemiskinan ā€“ apakah disebabkan kemalasan atau sistem yang memperbesar kesenjangan. Anak menumbuhkan keyakinan tentang penting/tidaknya layanan kesehatan universal.

Banyak perubahan pendekatan yang perlu kita lakukan di pendidikan. Tanpa terasa, anak-anak kita akan menjadi warganegara Indonesia dan warga dunia yang dewasa. Sebagian gagal berkontribusi, tapi tidak sepantasnya dipersalahkan karena memang belum pernah dipersiapkan atau mendapat suri teladan.

Pendidikan Pancasila bukan isu partisan, dan tidak seharusnya jadi pertarungan kepentingan. Pancasila tidak sakti dengan sendirinya, hidupnya dikuatkan dan dipatahkan di berbagai ruang yang kita ciptakan, dalam percakapan dan perdebatan.

*)Ā Najelaa Shihab (Pendidik)

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Pancasila

Kota Tanpa Jiwa: Urbanisasi dan Kehilangan Identitas Budaya

3 Mins read
Di tengah arus urbanisasi yang pesat, banyak kota besar di seluruh dunia mulai kehilangan identitas budaya mereka. Urbanisasi, sebagai fenomena perpindahan penduduk…
Pancasila

Maraknya Kriminalitas Di Indonesia, Krisis Nasionalisme?

2 Mins read
Di Indonesia saat ini sedang marak-maraknya tentang kejahatan, terutama tindakan kriminalitas yang semakin banyak dan merajalela. Tindakan kriminalitas sering yang terjadi cukup…
Pancasila

Menelisik Masa Depan Indonesia dalam Pancasila

1 Mins read
Tahun 2024, dengan segala prediksi dan harapan yang membawa kita melintasi perbatasan senja tahun 2023, menjadikan masa depan Indonesia sebagai panggung utama…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *