Pilarkebangsaan.com. Isu komunisme sebab tidak memuat TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 sebagai konsideran RUU, kristalisasi Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila, ialah sebab suara MUI dan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, juga Mathla’ul Anwar menyepakati menolak kelanjutan RUU HIP. Suara penolakan kelanjutan pembahasan RUU ini datang karena dikhawatirkan bahwa RUU HIP hanya akan membuka luka lama dari kelompok nasionalis-islamis yang berujung pada krisis politik.
Ya, ketika RUU ini mencuat ke publik, tsunami kontroversi dan kebulatan penolakan kelanjutan RUU HIP datang dari segala arah. Resonansi polemik RUU (Rancangan Undang-Undang) HIP (Haluan Ideologi Pancasila) berujung dengan Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yang mengumumkan penundaan pembahasan RUU HIP.
Sebenarnya, dewasa ini, dikotomi Pancasila dengan Agama tidak begitu tajam. Semakin hari, fleksibilitas kelompok nasionalis-islamis terhadap Pancasila makin mencair. Terbukti, makin banyaknya diskursus tentang Pancasila di ruang publik yang disuarakan oleh kelompok nasionalis-islamis.
Tentu, jika dalam trayeknya Pancasila melalui perjalanan yang amat panjang. Dari proses formulasi, kesepakatan, sampai upaya praksis keseharian. Pertentangan demi pertentangan hadir dalam setiap periodisasi pemerintahan.
Trayek Penemuan Titik Temu
Empat tahun sebelum Sumpah Pemuda 1928. Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda memformulakan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian.
Konsepsi ideologi PI adalah bagian dari trayek penemuan titik temu. Sebab, dalam konsepsi tersebut memuat keharusan pengikatan bersama (ideologi dan identitas), egaliterianisme, dan pupukan spirit kebangsaan. Lebih dulu dari PI, ada Indische Partij yang menjadikan persatuan nasional sebagai tema besar gerakan.
Sekitar tahun 1926-an Soekarno menuliskan esai “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” di majalah Indonesia Moeda. 1928, Sumpah Pemuda mempertautkan keragaman Indonesia, meleburkan etnisitas menjadi uni-entitas.
Hos Tjokroaminoto, Tan Malaka, Kahar Muzakkar, dan aktivis yang lainnya turut serta menggulirkan kerangka kebangsaan sebagai upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Ikhtiar untuk menemukan titik temu terus berjalan, eskalasi pembicaraan dengan skala besar terjadi pada sidang pertama BPUPK (29 Mei – 1 Juni 1945).
Tiap-tiap anggota menyampaikan pandangan soal dasar Negara, sesuai dengan permintaan dari Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat. Tapi, rumusan pandangan soal dasar Negara yang disampaikan oleh anggota-anggota BPUPK belum ada kategorisasi atau masih tercecer.
Pada tanggal 1 Juni 1945, pidato Soekarno dalam sidang BPUPK yang di kemudian hari dirayakan sebagai Hari Lahir Pancasila, adalah klimaksnya. Soekarno menyampaikan konsepsi yang sistematis dan holistik. Kelima konsepsi tersebut adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial. Kelima konsepsi itu Soekarno namakan dengan Pancasila.
Digali atas orisinalitas kepribadian bangsa sebagai titik temu, philoshopische grondslag (pandangan hidup) dan weltanschauung (dasar rohani). Sumbangsih intelektual dari para bapak bangsa untuk mendapatkan sintesis dari multikultur, multietnis, multireligio, menemukan titik temu, bernama Pancasila.
Pancasila dalam Waktu, Pusaran Konflik sampai Krisis Keteladanan
Berkaca pada luka lama dan menghindari krisis ideologi. Ini adalah alasan logis, kenapa suara MUI dan ormas Islam bulat menolak RUU HIP.
Saat umur republik masih muda, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya, menjadi ring bertarung pemikiran kelompok nasionalis-islamis dan nasionalis-sekularis.
Islam sebagai dasar Negara Vis a vis Pancasila sebagai dasar negara, bahkan pada titik ekstrem yakni konflik berdarah dan berkepanjangan. Selain itu, pertarungan kelompok kebangsaan dengan kelompok Islami ini karena ada peminggiran peran kelompok Islam yang seakan-akan tidak berhak memilki Pancasila pada saat itu.
Tentu, dalam perkembangannya kemudian, Pancasila tumbuh melalui perdebatan yang amat panjang. Terseret pada pusaran konflik, justifikasi kekuasaan, sampai kemarau keteladanan.
Monopoli tafsir rezim Orde Baru atas Pancasila, sehingga warga-masyarakat yang berbeda tafsir kerap dituding tidak Pancasilais atau anti-Pancasila. Menjadikan Pancasila sebagai justifikasi kekuasaan. Pancasila menjadi alat untuk melawan siapa saja yang bersebrangan pandangan.
Seusai Orde Baru, praktik korupsi makin menggila, pembuatan kebijakan yang timpang, pembangunan yang tidak merata, dan orientasi kepentingan golongan dari para penyelenggara Negara menjadikan keteladanan semakin mongering—Pancasila terseret pada kemarau keteladanan.
Pancasila, Amanah dan Amaliah
Pancasila telah ditanam begitu kokoh dan deep oleh para bapak bangsa. Menjadi konsensus kolektif yang bersifat final. Nilai-nilai normatif, moralitas, dan visi yang sekoordinat dengan budaya asli leluhur membuat kohesi kuat antar-sila. Sila pertama memuat dimensi vertikal-transedental. Sila kedua memuat dimensi horisontal. Sila ketiga urgensi persatuan nasional. Sila keempat pemenuhan dari ketiga sila sebelumnya. Sila kelima refleksi dari empat sila sebelumnya.
Pancasila diformulakan oleh para pejuang kemerdekaan, menghadapi perdebatan—lalu menemukan kesepakatan. Melewati berbagai konflik dan tafsir. Terkait RUU HIP, seyogianya penyelenggara Negara dengan segala integeritasnya menyimpan di pojok segala bentuk kepentingan yang sama sekali tidak berkaitan dengan urgensi dan akselerasi cita-cita Negara.
Seraya terus menerus meningkatkan kesadaran, bahwa lima sila dalam Pancasila adalah amanah yang harus menjadi amaliah—perangkat aktualisasi dan menjadi kekuatan akselerasi tujuan Negara—perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, dan perdamaian. [MZ]