Pangeran Antasari adalah tokoh penting dalam perlawanan rakyat Kalimantan Selatan dan Tengah melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Banjar (1859). Pada tahun 1862, Antasari mempersiapkan serangan ke benteng Belanda di Montallat, tetapi wabah cacar melanda pasukannya. Ia sendiri wafat akibat wabah tersebut pada 11 Oktober 1862 di Bayan Begak.
Sebelum meninggal, ia berpesan kepada keturunannya untuk terus melawan penjajah dengan semangat “Haram Manyarah” (Pantang Menyerah). Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada tahun 1968, dan wajahnya pernah diabadikan di uang kertas Rp 2.000 edisi 2009.
Sebagai pemimpin lokal yang karismatik, Antasari menggerakkan rakyat untuk bangkit, menjadikan perang melawan penjajahan sebagai panggilan moral dan spiritual. Pada 1859, ia memimpin serangan ke tambang batu bara Belanda di Pengaron, yang menjadi simbol awal perlawanan besar. Strateginya yang melibatkan aliansi dengan tokoh adat dan kerajaan-kerajaan lokal menunjukkan kecerdasannya dalam merangkul solidaritas rakyat.
Namun, perjuangannya tidak lepas dari tantangan besar, termasuk terbatasnya persenjataan dan logistik. Ketika Antasari mempersiapkan serangan ke benteng Belanda di Montallat pada 1862, wabah cacar melanda pasukannya. Meskipun demikian, semangatnya tidak pernah pudar hingga akhir hayatnya.
Antasari dikenal sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas dan tanggung jawab kepada rakyatnya. Perjuangannya tidak semata-mata untuk kepentingan daerah, tetapi untuk keadilan yang melampaui batas-batas geografis. Ia sering berpesan kepada rakyatnya bahwa perjuangan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan tekad yang kuat, sekalipun menghadapi kekuatan penjajah yang jauh lebih besar.
Pesan moral ini tidak hanya mengilhami rakyat Banjar, tetapi juga generasi pejuang lainnya di Nusantara. Semangat “pantang menyerah” yang ia gaungkan menjadi salah satu nilai penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 akibat wabah cacar. Meski demikian, perjuangannya tidak berakhir. Ia mewariskan semangat juang kepada generasi penerusnya, yang tetap melawan penjajahan hingga kemerdekaan Indonesia tercapai. Untuk menghormati jasanya, pada tahun 1968, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai pahlawan nasional. Pesannya, “Haram Manyarah,” terus menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Wajah Pangeran Antasari pernah diabadikan pada uang kertas Rp 2.000 edisi 2009, sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain itu, namanya kini dikenang dalam berbagai institusi dan tempat di Kalimantan, termasuk Universitas Lambung Mangkurat dan monumen peringatan perjuangannya.
Dalam konteks Indonesia modern, semangat Antasari mengajarkan pentingnya persatuan, keteguhan dalam menghadapi tantangan, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Kisah hidupnya adalah pelajaran tentang bagaimana pemimpin lokal dengan keberanian dan visi yang besar dapat mengubah jalannya sejarah, meskipun dalam kondisi yang serba terbatas.
Sebagai bangsa, kita diingatkan untuk tidak melupakan warisan perjuangan ini. Semangat Antasari seharusnya menjadi pedoman dalam menghadapi tantangan global dan menjaga kedaulatan bangsa di berbagai bidang.
M. Fazil Pamungkas
Peneliti