Teduh, itulah ekspresi psikologis yang dirasakan ketika mendengarkan khutbah dari Paus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik. Sensasi ini mampu bertumbuh menuju kedalaman penghayatan religiusitas, saat dibarengi dengan pengalaman langsung tidak hanya melalui pembacaan teks kitab suci. Namun bahasan kali ini tidak berhenti pada penghayatan religi atau persoalan liturgi semata, yakni ada tugas yang tidak kalah penting di dalam urusan sosial dan politik melalui seruan-seruan etis maupun diplomatis.
Berawal dari Dialog
Yuval Harari menjelaskan dalam bukunya Sapiens (2011), bahwa sebagaimana kebudayaan zaman pertengahan, dunia modern pun gagal menyelaraskan kemerdekaan dan kesetaraan. Namun apa yang kita alami lima tahun lalu berupa pandemi global telah mengubah cara pandang dunia.
Ketika pandemi sebelumnya masih berbasis lokalitas (misalnya pandemi Black Death pada abad pertengahan), era transisi globalisasi sejak 1914 membuat cara pandang kita menuju globalitas. Artinya, penyelesaian yang telah dilalui pandemi covid-19 kemarin memang berbasis global.
Di dalam artikel yang terbit pada bulan Maret 2020 berjudulĀ The world after coronavirus, Yuval Harari lebih jauh mengajukan dua pertanyaan biner. Apakah negara bangsa masih berhenti pada ego-lokalitas berbasis nasionalisme, atau hendak melangkah menuju satu pijakan bersama berbasis solidaritas global, merupakan pertanyaan radikal yang masih menghantui dunia setidaknya sejak Perang Dunia di awal abad ke-20. Di akhir artikel, Yuval mengatakan bahwa pilihan solidaritas, menunjukkan tidak hanya kemenangan atas pandemi, namun seluruh krisis yang menimpa manusia di abad 21.
Faktanya manusia berhasil dan sukses mengatasi pandemi. Sayangnya seolah amnesia, dunia mendadak kembali pada ego-lokalitas tadi. Kunjungan Paus Fransiskus ke negara-negara Asia Timur merupakan alarm atau peringatan etis bagi pilihan ini.
Jika dilihat secara cermat, posisi kekuasaan Paus memiliki dua implikasi signifikan. Secara internal, Paus mampu memberikan seruan yang hendaknya diikuti oleh seluruh umat Katolik dunia. Secara eksternal, posisi diplomatisnya juga dapat diperhitungkan dalam kacamata internasional, pun diikuti oleh para akademisi maupun umat beragama lain jika kembali kepada komitmen solidaritas tadi.
Komitmen solidaritas mampu menjangkau berbagai komunitas, berbagai elemen masyarakat global sekaligus mengatasi partisi yang kita sebut perbedaan, entah berbasis kultur, agama, maupun status sosial lain. Dan ini yang sesungguhnya dituntut oleh para generasi muda saat ini, yang memiliki visi jauh ke depan.
Visi Luhur
Kegelisahan manusia, khususnya para generasi muda adalah masa depan bumi sekaligus masa depan peradaban kita. Di dalam mengjangkau masa depan yang sesuai dengan visi keberlanjutan, dibutuhkan apa yang disebut sebagai solidaritas global. Tentu kegelisahan ini telah mencakup apa yang disebut Habermas sebagai konsensus global. Ironisnya, konsensus berbasis dialog global seringkali diabaikan oleh konsensus lokal para pemangku kepentingan, yang digandrungi semacam ākehendak untuk berkuasaā di atas bumi.
Fenomena ini telah diingatkan Baudrillard (2010), bagaimana antagonisme global bekerja sehingga potensi hegemoni menjadi nyata. Sesungguhnya peran antagonisme bukan hal baru. Ketika pada abad pertengahan posisi Paus dihadapkan pada hasrat dan skandal para Raja dalam mempertahankanĀ status quo mereka, kini Paus pun dihadapkan pada hal serupa meski dengan aktor yang berbeda.
Tentu dibutuhkan komitmen yang serius dalam ketercapaianĀ solidaritas, yang pertama dimulai dari para pemuka agama seperti Paus. Faktanya, antusiasme yang ditunjukkan tidak hanya bagi umat Katolik namun juga umat agama lain yang menunjukkan bahwa magnet peradaban berbasis agama masih tersisa, di tengah gempuran globalisasi dan disrupsi baru.
Kita tahu bahwa Paus Fransiskus adalah tokoh yang vokal dalam menyuarakan diplomasi global. Bagaimana ia menuntut perdamaian Israel-Palestina yang telah menewaskan lebih dari 40.000 warga sipil Palestina, bagaimana seruan Paus akan hak-hak kosmopolitan para imigran dan kaum tersingkir, hingga menggugah kepedulian kita soal hak-hak lingkungan yang kian terpuruk. Gagasan Paus sekaligus mengingatkan bahwa paradigma antroposentrisme telah usang, dan kita harus beranjak pada terminologi yang mampu menampung visi masa depan peradaban kita.
Tentu kita tidak berharap para pemuka agama seperti Paus berhenti mengucapkan seruan-seruan etis, karena kita tidak pernah tahu seruan etis mana yang mampu menyentuh titik kesadaran etis seseorang, sehingga nantinya membentuk apa yang disebut Emile Durkheim sebagaiĀ collective conscioussness (kesadaran kolektif).
Mengapa kesadaran seseorang, karena sesungguhnya negara pun adalah perwujudan dari diri (Polimpung, 2014) sebagaimana Raja Prancis Louis XIV mengatakan āLāetat cāest moiā (negara adalah aku), dalam di dalam diskurus demokrasi modern negara diurus oleh mereka yang punya kesadaran penuh. Kesadaran ini adalah prasyarat penting di dalam menghasilkan apa yang disebut Michael Sandel sebagaiĀ the embodiment of genuine virtueĀ (perwujudan kebajikan yang sejati). Terimakasih atas kinjungannya, Sri Paus. Jangan pernah lelah untuk menjalankan visi mulia ini.
Pustaka Acuan
Baudrillard, Jean.Ā The Agony of Power, terj. Sushela M. Nur. Bantul: Penerbit BASABASI, 2021
Harari, Yuval Noah.Ā Sapiens: A Brief History of Humankind, English translation. McClelland & Stewart, Penguin Random House, 2014
Harari, Yuval Noah, dkk.Ā Wabah, Sains, dan Politik. Sleman: Penerbit Antinomi, 2020
Polimpung, Hizkia Yosie.Ā Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik, 2014
Sandel, Michael.Ā Americaās Seacrh for a New Public Philosophy. Majalah The Atlantic Monthly (1072-7825), March 1996