Periode demokrasi liberal di Indonesia dimulai dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, lalu berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden 1959 perihal kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kurang lebih empat tahun masa yang penuh dinamika itu. Dalam masa empat tahun itulah tiga kabinet silih berganti mengisi pemerintahan republik ini.
Pertama Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), lalu Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957), berlanjut ke Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959). Dari sini ternyata, meskipun sudah diadakan pemilu sesuai dengan aturan permainan demokrasi Barat yang menurut para peninjau luar negeri berjalan dengan bersih, pemerintahan stabil belum tercapai. Rata-rata kabinet memerintah selama satu tahun.
Pasca Kabinet Ali-Wongso menyerahkan mandatnya kembali pada 29 Juli 1955, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan nama tiga orang formatur yang bertugas untuk membentuk kabinet anyar. Ketiga orang formatur itu adalah Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Assaat (nonpartai). Kala itu Presiden Soekarno sedang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Kabinet baru ini bertugas untuk:
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yakni mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat (AD) dan masyarakat kepada pemerintah.
- Melaksanakan pemilu menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ketiga formatur ini mencapai persetujuan akan menempatkan Hatta sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Namun, timbul kesukaran karena Hatta masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Hal ihwal itu menimbulkan pertentangan pendapat antara Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi; masing-masing saling menolak rencana yang diajukan.
Formatur lantas mengajukan usul agar presiden mengumumkan, bahwa Hatta nonaktif sebagai Wakil Presiden selama menjadi Perdana Menteri. Setelah tugasnya selesai, kembali sebagai Wakil Presiden. Usul ini ditolak oleh PNI. Partai nasionalis itu mengusulkan agar parlemen mengeluarkan resolusi yang memungkinkan Hatta sebagai warga negara memimpin Kabinet Parlementer. Usul ini ditolak oleh Masyumi, dan Sukirman diinstrusikan mengembalikan mandatnya. Akhirnya, ketiga formatur mengembalikan mandatnya pada titimangsa 3 Agustus 1955.
Bung Hatta selanjutnya menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) membentuk kabinet. Burhanuddin Harahap mendekati PNI dan menawarkan kedudukan Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pekerjaan Umum. PNI menerima tawaran ini, tetapi menuntut hak untuk menunjuk orang yang akan duduk di dalamnya, sedangkan formatur menghendaki agar orang-orangnya dipilih oleh formatur sendiri. Jalan buntu tak dapat dihindarkan.
Burhanuddin Harahap selanjutnya berhasil membentuk kabinet baru tanpa PNI. Kabinet ini terdiri dari dua puluh tiga menteri dan didominasi oleh Masyumi. Segera setelah kabinet terbentuk, Polisi Militer menangkap Mr. Djody Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman dalam Kabinet Ali I, dengan tuduhan korupsi. Wakil Jaksa Agung Abdul Muthalib Moro mengumumkan, bahwa tindakan Polisi Militer ini tidak ada hubungannya dengan kabinet yang baru terbentuk.
Tindakan Polisi Militer ini mendapat dukungan dari masyarakat dan tampak adanya hubungan yang dekat antara AD dan kabinet. Selanjutnya, tanggal 14 Agustus 1955 berlangsung serangkaian penangkapan terhadap pejabat tinggi. Tindakan ini merupakan salah satu pelaksanaan program kabinet, yaitu pemberantasan korupsi.
Program lain Kabinet Burhanuddin Harahap yang harus diselesaikan seperti telah dijanjikan dalam pembentukan kabinet, ialah pemilu. Golongan oposisi mendesak terus pada kabinet untuk melaksanakan pemilu itu secepat mungkin. Panitia Pemilihan Umum Pusat telah menetapkan bahwa pemilihan untuk parlemen akan diadakan pada 29 September 1955.
Akan tetapi, belakangan dalam kabinet sendiri timbul pertentangan karena ada yang menghendaki ditunda, dengan alasan persiapan belum selesai dan ada juga yang menuntut tetap diadakan pada waktu yang sudah ditetapkan. Semakin mendekati waktu yang ditentukan, suasana semakin tegang, sebab tiap-tiap partai berusaha untuk menang.
Saat itu surat kabar-surat kabar partai saling menyerang dan melontarkan pelbagai tuduhan serta saling menelanjangi partai lawannya. Tidak kurang dari 100 partai (besar dan kecil) yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 82 untuk Konstituante. Selain itu, terdapat pula 86 organisasi dan perseorangan yang akan ikut dalam pemilu.
Titimangsa 29 September 1955, lebih dari 39 juta rakyat Indonesa memberikan suaranya di kotak-kotak suara. Hasil Pemilihan Umum I ini ternyata dimenangkan oleh empat partai, yaitu PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan partai-partai lainnya mendapat suara jauh lebih kecil tinimbang keempat partai itu. Pemilu untuk Konstituante diadakan pada 15 Desember 1955. Suasana dalam menghadapi pemilihan ini lebih tenang daripada ketika pemilihan untuk DPR. Rupanya rakyat sudah lebih berpengalaman dan ketegangan pun dapat teratasi.
Tugas Kabinet Burhanuddin Harahap dianggap selesai dengan berakhirnya pemilu sehingga perlu dibentuk kabinet anyar yang akan bertanggung jawab kepada parlemen yang baru. Selain itu, dalam pemerintahan terjadi ketidaktenangan karena banyak mutasi dilakukan di beberapa kementerian, misalnya di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perekonomian. Hal-hal itu merupakan faktor munculnya desakan agar Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya. Pada 3 Maret 1956 kabinet pun bubar.
Pemilu 1955 menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak dan bukannya berkurang, dengan 28 partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Namun, hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Di kalangan partai-partai “empat besar” ini hampir terjadi jalan buntu. Partai yang terbesar hanya menguasai 22% kursi DPR.
Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kiwari terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi, para pemimpin NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi DPR mereka dari 8 menjadi 45 kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elite Jakarta, dan membuat PNI semakin galau akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh mitra mudanya itu.
Mungkin pola yang paling tidak menyenangkan adalah perbedaan partai yang jelas antara Jawa dan luar Jawa. Sejauh ini, Masyumi adalah partai terkuat di luar Jawa, dengan memenangi antara seperempat sampai setengah suara di seluruh wilayah selain Bali dan daerah-daerah Kristen, dan tiga perempat jumlah suara di Aceh; partai ini juga terbesar di Jawa Barat yang kuat Islamnya, meskipun di sana PNI tidak jauh tertinggal, sedangkan PKI maupun NU lemah.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, posisi PNI, NU, dan PKI kira-kira seimbang. Andai hanya memerhatikan suara yang diberikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk “empat besar”, PNI memenangi 32%, NU 30% (dan merupakan partai yang terbesar di daerah pusatnya di Jawa Timur), dan PKI 27%, sedangkan Masyumi hanya memenangi 12%. Pemilihan umum itu tidak memecahkan masalah-masalah politik, tapi hanya membantu menarik garis-garis perjuangan secara lebih jelas.
Berbeda dengan pembentukan kabinet pada masa-masa sebelumnya, Presiden Soekarno tidak menunjuk perseorangan menjadi formatur, tetapi menunjuk partai pemenang pemilu dan partai itulah yang akan mengajukan calonnya kepada Presiden. Partai yang ditunjuk ialah PNI, sebab partai ini memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. PNI mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo sebagai formatur, tapi Soekarno pada 8 Maret 1956 memilih Ali Sastroamidjojo. Personalia kabinet diumumkan pada 20 Maret 1956. Kabinet ini disebut Kabinet Ali II. Inti kabinet adalah koalisi PNI, Masyumi, dan NU.
Semula Soekarno tidak setuju dengan susunan kabinet sebab tidak memasukkan anggota PKI ke dalam kabinet. Presiden mencoba mendesakkan keinginannya kepada tokoh Masyumi (Sukiman) dan tokoh NU (KH. Idham Chalid) serta tokoh PNI dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Akan tetapi, semua tokoh itu berpendapat sama untuk menolak keterlibatan PKI dalam kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo merupakan kabinet koalisi di mana tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi, dan NU memegang peran selain beberapa partai lainnya.
Bulan Oktober 1955, terjadi pergantian Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD. Tiga orang calon diajukan, yakni Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Namun, tidak ada kesepakatan dalam Parlemen siapa dari ketiga calon ini yang akan dipilih, sebab masing-masing ada yang menentangnya. Atas usul NU, Kolonel Abdul Haris Nasution dicalonkan dan pada 25 Oktober 1955 dia menerima pencalonannya. Arkian, titimangsa 28 Oktober 1955 diputuskan bahwa Kolonel A.H. Nasution kembali ditahbiskan menjadi Kepala Staf AD.
Program kabinet ini yang disebut Rencana Lima Tahun, memuat soal-soal jangka panjang, yaitu usaha perjuangan memasukkan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia (RI), melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai; menyehatkan keuangan negara sehingga tercapai imbangan anggaran belanja, serta berusaha mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Arkian, Pemilu 1955 tidak menghasilkan penyelesaikan apa-apa, dan, oleh karenanya, merupakan langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan sistem parlementer. Pemilihan anggota Majelis Konstituante dalam Desember 1955 merupakan suatu antiklimaks dan menimbulkan hasil-hasil menyeluruh yang serupa. Majelis Konstituante tidak mengadakan sidang sampai November 1956 dan, akhirnya dibubarkan hampir tiga tahun kemudian tanpa melahirkan rancangan undang-undang dasar yang anyar.
Muhammad Iqbal
Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-X2WOU/pemilu-1955-dan-asal-mula-demokrasi-liberal-dengan-segala-dinamikanya