Di General Santos, Filipina, sekitar 500 kilometer menyeberangi lautan dari Manado, Sulawesi Utara pada November 2015, Suryadi Mas’ud mengecek senjata. Satu per satu senjata yang akan dibelinya dari Marod, anggota Moro Islamic Liberation Front (MILF), dicoba dan kemudian dilaporkan ke Rois alias Iwan Darmawan, terpidana bom Kuningan 2004 yang saat itu mendekam di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dari pengecekan itu, Rois menyetujui pembelian 18 senjata laras panjang, dengan rincian 1 senjata jenis M-14 dan 17 senjata jenis M-16. Selain itu, terdapat 5 senjata laras pendek, yaitu 2 caliber 9mm dan 3 caliber 45mm. Total biaya seluruhnya mencapai US$ 30.000 (setara 400 juta rupiah pada kurs saat ini), yang dikirim Rois menggunakan layanan Western Union.
Beberapa senjata laras pendek itu kemudian digunakan dalam serangan teror di Thamrin, Jakarta Pusat, pada Februari 2016. Serangan itu menewaskan 8 orang, termasuk 4 pelaku, serta melukai 24 orang lainnya.
Dana US$ 30.000 itu belum termasuk US$ 25.000 (setara 350 juta rupiah pada kurs saat ini) yang pada April 2016 dibelikan Suryadi untuk mobil, 12 senjata M-16, dan bahan peledak kepada Isnilon Hapilon. Senjata-senjata ini digunakan untuk melatih militan Indonesia di Filipina.
Belum lagi biaya perjalanan Suryadi bersama istrinya ke Filipina, yang dalam satu kali perjalanan saja mencapai 30 juta rupiah. Suryadi harus bolak-balik beberapa kali ke Filipina, ditambah biaya untuk 8 orang Indonesia yang mengikuti pelatihan. Jumlah total dana yang dibutuhkan pun sangat besar.
Semua rincian pendanaan ini terungkap dalam dakwaan Suryadi Mas’ud yang diperoleh penulis. Suryadi akhirnya divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Februari 2019.
Pendanaan: Jantung Terorisme
Tak ada aksi teror yang berjalan tanpa sokongan dana besar. Besar kecilnya dana menentukan dampak yang ditimbulkan oleh serangan teror. Direktur Pelaksana Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Adhe Bakhti, menyebut bahwa pendanaan adalah jantung dari aktivitas terorisme.
“Dana digunakan tidak hanya untuk operasi teror, tetapi juga untuk memperluas pengaruh, membangun jaringan, dan menopang kehidupan sosial kelompok teror,” kata Adhe pada 29 Juli 2019.
Aturan tentang pendanaan terorisme di Indonesia diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 4 UU ini menyebutkan bahwa keterlibatan dalam pendanaan terorisme dapat diganjar hukuman hingga 15 tahun penjara.
Adhe menambahkan bahwa besaran dana juga menentukan skala aksi teror. Namun, meskipun minim dana, kelompok teroris tetap dapat melakukan serangan.
“Terutama kelompok pro-ISIS, bagi mereka pesan lebih penting daripada dampak fisik. Bahkan dengan ‘pisau dapur ibumu’ pun, mereka bisa melancarkan serangan,” ujar Adhe.
Perbedaan ini yang membedakan ISIS dengan Jamaah Islamiyah (JI). JI cenderung melakukan serangan dengan dampak korban jiwa dan materi yang besar, sementara simpatisan ISIS lebih mengutamakan propaganda.
Fokus Pendanaan Terorisme
Data dari PAKAR menunjukkan bahwa pendanaan terorisme berfokus pada tiga aspek utama: sumber dana, perpindahan dana, dan penggunaan dana.
1. Sumber Dana
Pendanaan terorisme berasal dari tiga sumber utama:
- Sumbangan: Misalnya kasus Saefullah, yang mengumpulkan dana dari donatur dan menyalurkannya ke kelompok teror di Indonesia.
- Kegiatan ilegal: Contohnya adalah perampokan Bank CIMB Medan pada 2010, yang hasilnya digunakan untuk aksi teror.
- Kegiatan usaha: Kelompok JI pimpinan Para Wijayanto bahkan memiliki perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatra untuk membiayai operasional mereka. Dengan usaha ini, mereka mampu menggaji anggota hingga 10-15 juta rupiah per bulan, dua kali UMR Jakarta.
2. Perpindahan Dana
Dana terorisme berpindah dengan prinsip:
- Volume dana yang dipindahkan
- Risiko
- Kemudahan
- Biaya
- Kecepatan
Metode perpindahan dana mencakup penggunaan kurir, layanan pengiriman uang seperti Western Union, rekening bank formal, dan faktur palsu. Sebagian dana yang diterima Suryadi dari Rois dikirim melalui adiknya, Adi Jihadi dan Abu Musa, serta menggunakan Western Union.
3. Penggunaan Dana
Dana terorisme tidak hanya digunakan untuk aksi teror, tetapi juga untuk:
- Memperluas pengaruh
- Latihan perang
- Membangun jaringan
- Mempertahankan eksistensi kelompok
Dengan terbongkarnya jaringan Saefullah Cs, pemerintah harus lebih aktif dalam memotong aliran dana ke kelompok teror. Saefullah sendiri berhasil mengumpulkan sekitar 400 juta rupiah dalam kurun waktu setahun (2016-2017) dari 12 donatur di 5 negara berbeda.
Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap aliran dana masuk dan keluar Indonesia serta menelusuri dana-dana yang tersimpan di berbagai bentuk usaha. Hal ini untuk mencegah kelompok teror memperoleh modal dari aktivitas bisnis mereka, seperti yang dilakukan oleh JI.
Jika pemerintah lengah dan aliran dana kembali mengalir ke kelompok teror, bukan tidak mungkin mereka akan kembali menggelar “pesta” terorisme di masa depan.
Lutfi Awaludin Basori