Teroris dan radikalisme seolah memiliki jenis kelamin yaitu “laki-laki”. Sehingga keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal dan terorisme acapkali tidak dilibatkan. Bahkan penelitian yang berkaitan dengan perempuan/istri dalam terorisme dan gerakan radikal seringkali terlupakan baik dalam penyelesaian masalah maupun pada proses pembuatan kebijakan untuk melawan terorisme di Indonesia.
Perempuan juga menjadi sosok yang terekslusi dalam proses perencanaan, dialog, dan respon mengenai isu pencegahan dan penanganan ektremisme, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, kemananan hingga perdamaian. Padahal tren keterlibaan perempuan dalam agenda gerakan radikal dan terorisme mengalami dinamika yang signifikan.
Tren pertama, perempuan dalam kasus terorisme direpresentasikan sebagai korban atas perilaku suami, ayah, kakak maupun kerabat yang seorang teroris. Tren kedua, perempuan beralih menjadi pendukung aksi teror.
Keadaan dimana perempuan tidak terlibat dalam aksi pengeboman maupun terror namun mensuplai semua kebutuhan suami, ayah, maupun kerabat sebelum melakukan aksinya. Seperti mensuplai bahan peledak, mencari donatur untuk membiayai aksi, dan ikut serta dalam menyebarkan ideologi radikal.
Kemudian berlanjut ke tren ketiga, peran seorang perempuan menjadi martir bersama dengan suaminya atau sering disebut dengan “pengantin”. Dan tren terakhir, menunjukkan fakta yang diliar dugaan. Karena perempuan tak hanya sebatas menjadi pendamping namun menjadi pelaku tunggal atau lone wolf.
Urgensi Pendekatan Gender
Melihat fakta tren keterlibatan perempuan dalam aksi radikal dan terorisme, maka perlu untuk melakukan pendekatan baru. Jika sebelumnya dilakukan dengan pendekatan maskulinitas baik dari segi pemilihan pejabat penegak hukumnya, cara penyidikannya, maupun cara menggali informasi jaringan, maka diperlukan sebuah paradigma baru yaitu pendekatan gender.
Adapun pendekatan gender adalah sebuah pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis dan mempertimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara seimbang. Pendekatan gender dilakukan dengan melibatkan kedua jenis kelamin baik laki-laki dan perempuan untuk menyikapi sebuah permasalahan. Pendekatan gender bertujuan untuk memperbaiki kesenjangan dalam melibatkan laki-laki dan perempuan untuk didengar pendapatnya dan aspirasinya.
Pendekatan gender dalam upaya penanganan garakan radikal dan terorisme bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
Pertama, melibatkan anggota keluarga perempuan dalam proses penyidikan dan investigasi. Ketika pelaku teror maupun pelaku gerakan radikal ditangkap, maka penegak hukum terlalu fokus pada bagaimana menangani pelakunya saja. Menggali latar belakang pelaku, pendidikan, dan jaringannya saja.
Namun alpa dengan bagaimana keterlibatan istri, atau anak dalam tindakan teror yang dilakukan pelaku. Melalui pendekatan gender, bisa dilakukan klasifikasi terlebih dahulu tentang sejauh peran istri atau anak dalam tindakan terorisme.
Sjoberg dan Neil membagi tipologi dari istri pelaku teroris ke dalam tiga jenis, yaitu perempuan atau pasangan yang bertindak sebagai pelaku terrorisme maupun martir, kedua perempuan atau pasangan sebagai pendukung aktivitas terror suami, ketiga perempuan atau pasangan yang justru tidak setuju maupun mendukung pemerintah untuk melakukan kajian terhadap suami yang terlibat dalam aksi terorisme.
Setelah diketahui sejauh mana peran perempuan atau pasangan sebagaimana tipologi Sjoberg dan Neil, barulah disusun pendekatan untuk mengali informasi melalui pihak istri maupun anak. Setiap tipologi membutuhkan strategi pendekatan yang berbeda, disesuaikan dengan sejauh mana istri atau anak terlibat dengan aksi pelaku.
Kedua, memperbanyak densus 88 dan polwan dari unsur perempuan. Dalam WGWC talk 8 yang diselenggarakan pada 17 September 2020 diketahui bahwa keterlibatan penegak hukum perempuan dalam menyelesaikan gerakan radikal dan terorisme masih sangat minim sekali.
Saat terjadi konfik di Poso misalnya, sepanjang tahun 2005 hingga 2007 hanya terdapat 1 polwan dari 600 polisi yang diturunkan. Padahal pelaku maupun korban dalam perusuhan dan konflik di Poso melibatkan laki-laki dan perempuan.
Sedangkan dalam keanggotaan Densus 88 perempuan, pada tahun 2004 hanya terdapat 2 orang saja, namun harus melakukan peran yang dominan. Hingga tahun 2017, jumlah densus 88 dari perempuan juga belum mengalami kenaikan yang signifikan. Hanya terdapat 2 densus 88 perempuan dari total 50 personil densus 88 yang dibentuk.
Salah seorang narasumber densus 88 perempuan dalam WGWC talk 8 menceritakan tantangan terberat yang harus beliau emban saat di lapangan. Terutama jika ada tersangka yang dinyatakan meninggal. Beliau bertugas memberikan penjelasan, dan pemahaman terhadap keluarga.
Ketiga, meningkatkan persuasi women to women. Perempuan baik sebagai pelaku teror, korban, maupun suport system dalam gerakan radikal maupun terorisme, akan lebih mudah menggali informasinya jika dilakukan oleh perempuan. Hal ini lantaran perempuan memiliki perasaan yang sama dan bisa memposisikan dirinya pada posisi pelaku. Persuasi women to women lebih efektif dibanding women to men.
Pendekatan ini terbukti berhasil saat menggali informasi dari istri pelaku bom Kampung Melayu di tahun 2017. Salah seorang polwan dari anggota densus 88 menceritakan bagaimana pendekatan yang beliau lakukan saat berinteraksi dengan istri pelaku bom Kampung Melayu di tahun 2017.
Istri pelaku bom Kampung Melayu memiliki pemahaman ekstrimis yang kuat. Dengan teguh ia menyatakan siap mati daripada harus membongkar jaringan yang dimiliki suaminya. Ia juga menolak bertemu dengan polisi laki-laki dan terus menyatakan ingin syahid bersama dengan suami. Lantas polwan tersebut pada akhirnya mengajak istri pelaku bom Kampung Melayu besertanya anak-anaknya untuk menginap disebuah hotel.
Tak ada penyidikan formal dan terstruktur, penggalian informasi beliau lakukan bersamaan dengan dirinya memandikan anak, dan ikut mengasuk anak dari istri pelaku bom Kampung Melayu. Dari sini, istri pelaku bom Kampung Melayu merasa polwan tersebut memiliki perasaan dan keedkatan emosional yang sama sehingga tanpa ia sadari, ia membongkar segala informasi yang dibutuhkan oleh densus 88.
Dari beberapa pertimbangan di atas, memperkuat pentingnya pendekatan gender dalam penanganan gerakan radikal dan ekstrimisme. Pendekatan gender bisa menjadi strategi yang harus dicermati. Termasuk ketika menggali seberapa jauh keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme, akan lebih efektif jika digali menggunakan pendekatan gender.