Dalam sebuah forum yang berisi hampir 30 peserta, kami diharuskan menuliskan setidaknya lima identitas yang dirasa sudah melekat dalam diri. Panitia acara memberikan kami satu lembar kertas kecil untuk menuliskan 5 identitas tersebut. Melalui aktivitas itu, semua peserta setidaknya menuliskan agama sebagai salah satu identitas yang melekat dalam diri. Fakta ini sebenarnya menjadi sebuah perbincangan yang cukup dalam ketika dileburkan dengan penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Tidak hanya itu, keberadaan kolom agama pada KTP, menjadi salah satu sarana utama bagi para petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk memberikan terapi yang cocok pada para Napiter. Berdasarkan cerita para petugas Lapas, yang juga menjadi peserta dalam forum itu, pendekatan agama adalah salah satu terapi yang cukup ampuh kepada para Napi sehingga merasa bisa menebus dosa-dosa yang sudah dilakukan di masa silam.
Para petugas Lapas akan mencari tahu berdasarkan informasi dari KTP, tentang latar belakang agama lalu bisa memilih cara pendekatan seperti apa untuk diterapkan. Tentu, apabila Napi seorang Muslim, maka pendekatan dengan ajaran-ajaran Islam yang diterapkan. Begitupula untuk agama yang lain.
Berdasarkan cerita tersebut, saya kira menjadi sangat penting kehadiran kolom agama di KTP karena hal itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri seseorang. Orang-orang yang memberikan saran serta masukan agar kolom agama dihapuskan, barangkali karena belum berhadapan dengan tanggung jawab sosial yang beririsan dengan identitas keagamaan seseorang.
Namun faktanya, di sisi lain, penghapusan kolom agama juga menjadi penting dengan alasan bahwa, keyakinan dan keagamaan seseorang di luar dari agama dan kepercayaan yang diresmikan oleh pemerintah, ada banyak kelompok masyarakat yang menganut agama di luar dari agama resmi di Indonesia. Persoalan ini adalah urusan yang tidak bisa dipaksakan. Orang-orang secara bebas memilih agama dan keyakinan masing-masing. Sedangkan KTP merupakan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai kartu identitas. Apabila ada penduduk yang menganut agama/kepercayaan di luar dari yang diresmikan, mau tidak mau harus ikut salah satu agama resmi di Indonesia, agar mendapatkan KTP sebagai kartu identitas.
Namun, mari hentikan pembahasan tentang wacana kolom agama dalam KTP yang tidak pernah selesai ini. Masalah yang ingin saya soroti dalam tulisan ini adalah, identitas keagamaan seseorang, menjadi salah satu hal yang melekat penting. Dalam contoh sederhana, kita akan merasa dekat dan nyambung apabila ngobrol dengan Muslim lainnya. Hal ini karena, entitas keagamaan, spiritualitas yang dibangun oleh sesama Muslim lainnya tidak jauh berbeda.
Saling terhubung antara yang satu dengan lain ini, mampu menciptakan hubungan emosional secara kelompok, meskipun tidak saling mengenal. Dalam suatu kasus, kita akan merasa sedih dengan kasus-kasus yang menimpa Muslim di Palestina, Afghanistan, Uighur, karena mereka adalah para kelompok Muslim yang mendapatkan tindakan diskriminatif dari masyarakat non-Muslim.
Untuk menarik simpati dari masyarakat Muslim di dunia, terutama di Indonesia, menarasikan kesedihan, kesengsaraan masyarakat Muslim lainnya adalah strategi yang bisa dimanfaatkan agar mampu menyatukan suara terhadap narasi yang diusung. Kesedihan para kelompok Muslim dengan kesengsaraan yang diciptakan oleh kelompok non-Muslim, menciptakan kebencian dari kelompok Muslim kepada non-Muslim.
Pola kebencian semacam ini, akan menghilangkan kepercayaan kepada masyarakat non-Muslim sehingga menyebabkan dendam, dan sikap fobia terhadap segala bentuk perilaku/kebijakan yang diciptakan non-Muslim. Narasi tentang kekejaman kelompok Barat kepada para Muslim, akan membawa pada medan konflik yang tidak menemukan ujung penyelesaian.
Sikap Kritis sebagai Bangsa
Jika kita memahami tentang pola kebencian semacam itu adalah penciptaan dari sekelompok Muslim untuk menyatukan suara/ide, maka kita sebagai umat Muslim sangat penting memiliki sikap kritis terhadap inti persoalan. Sikap taklid membenci orang lain adalah bentuk kebodohan yang seharusnya dihempaskan dalam diri. Selain itu, mengasah pengetahuan untuk terus mengetahui akar persoalan yang terjadi, adalah upaya penting yang bis akita lakukan sebagai generasi Muslim.
Untuk itu, kita tidak akan terprovokasi oleh narasi kebencian. Kita tidak akan anti terhadap apapun yang berhubungan dengan Barat lantaran narasi kesedihan para umat Muslim lainnya. Ini bukan berarti kita tidak simpati kepada umat Muslim. Akan tetapi, lebih mengasah kebijaksanaan kita sebagai umat Muslim untuk menciptakan relasi yang lebih cerdas. Karena bagaimanapun, dalam persoalan pengetahuan, kita masih berkiblat kepada Barat, yang secara kemampuan dan pengetahuan, menjadi representasi dari sebuah standart keunggulan. Wallahu A’lam.