Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, sebagaimana dijamin oleh Pasal 31 UUD 1945. Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Pendidikan seharusnya menjadi pilar utama pembangunan bangsa, mencerdaskan kehidupan masyarakat, dan memajukan kesejahteraan umum. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan adalah: apakah pendidikan Indonesia hari ini sudah mencerminkan amanat konstitusi tersebut?
Realitas pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa perjalanan untuk memenuhi amanat konstitusi masih jauh dari selesai. Ketimpangan kualitas pendidikan antara kota dan desa, antara wilayah barat dan timur Indonesia, menjadi salah satu persoalan akut yang belum terpecahkan.
Di wilayah terpencil, akses pendidikan masih menjadi tantangan besar. Banyak sekolah yang kekurangan guru, fasilitas pendidikan yang minim, serta kurangnya dukungan teknologi yang memadai. Dalam situasi ini, bagaimana mungkin pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata jika peluang untuk mengaksesnya saja masih belum adil?
Pendidikan juga belum sepenuhnya membangun karakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Meski kurikulum secara eksplisit mengintegrasikan pelajaran moral dan kewarganegaraan, penerapannya sering kali menjadi formalitas belaka.
Sekolah sibuk mengejar target akademik dan nilai ujian, sementara pembentukan akhlak, kepedulian sosial, dan semangat kebangsaan sering kali terpinggirkan. Ironisnya, di tengah maraknya radikalisme dan intoleransi, pendidikan karakter yang menjadi amanat konstitusi belum mendapatkan perhatian yang cukup serius.
Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti pengembangan kurikulum Merdeka Belajar, pelatihan guru, serta digitalisasi pendidikan. Namun, pelaksanaan kebijakan ini tidak selalu berjalan mulus.
Kurikulum sering berubah tanpa evaluasi mendalam, membuat guru dan siswa kesulitan beradaptasi. Di sisi lain, digitalisasi pendidikan diharapkan dapat mempersempit kesenjangan, tetapi justru mempertegasnya di wilayah yang belum memiliki infrastruktur teknologi yang memadai.
Selain itu, pendanaan pendidikan yang diatur dalam konstitusi, yakni alokasi 20% dari APBN dan APBD, juga menghadapi tantangan dalam implementasi. Anggaran pendidikan yang besar sering kali tidak terdistribusi secara efisien, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru terjebak dalam birokrasi atau bahkan penyalahgunaan.
Jika amanat konstitusi tentang pendidikan ini dianggap sebagai investasi masa depan, maka pemerintah dan masyarakat harus memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, bukan hanya angka dalam laporan anggaran.
Pendidikan juga harus mampu menjawab tantangan zaman, termasuk perkembangan teknologi, globalisasi, dan dinamika sosial. Konstitusi mengamanatkan pendidikan yang mencerdaskan, tetapi apakah pendidikan Indonesia telah mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks?
Banyak lulusan sekolah yang merasa pendidikan tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih terlalu fokus pada hafalan dan teori, tanpa cukup membekali siswa dengan keterampilan praktis, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis yang diperlukan di era modern.
Dalam konteks ini, amanat konstitusi tentang pendidikan juga menuntut peran semua pihak, bukan hanya pemerintah. Orang tua, masyarakat, dan sektor swasta memiliki tanggung jawab untuk mendukung pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam keluarga dan lingkungan sosial.
Oleh karena itu, pembelajaran nilai-nilai moral, kebangsaan, dan kehidupan bermasyarakat harus menjadi bagian integral dari pendidikan yang kita jalankan bersama.
Pada akhirnya, evaluasi terhadap pendidikan Indonesia hari ini harus kembali kepada esensi dari amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun karakter yang luhur. Pendidikan bukan hanya tentang membangun individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki budi pekerti, kepekaan sosial, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Refleksi ini mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan nasional. Jika pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai ketimpangan dan belum mampu menjawab tantangan zaman, maka kita harus bertanya: apa yang perlu diubah? Apakah kebijakan yang diambil sudah tepat sasaran?
Apakah anggaran yang besar telah digunakan secara efisien? Dan yang terpenting, apakah pendidikan kita telah melahirkan generasi yang benar-benar mampu membawa bangsa ini menuju cita-cita luhur sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi?
Pendidikan adalah fondasi sebuah bangsa. Ketika pendidikan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang berdaya saing, berkarakter, dan bermartabat. Namun, jika pendidikan terus-menerus menjadi arena perdebatan tanpa solusi konkret, kita hanya akan meninggalkan beban berat bagi generasi mendatang.
Kini saatnya kita berhenti bertanya apakah pendidikan Indonesia telah sesuai dengan amanat konstitusi, dan mulai bertindak untuk memastikan bahwa jawabannya adalah iya.