Indonesia merupakan negara yang kaya institusi sosial yang membuat masyarakat tidak kehabisan tempat atau sarana untuk mengabdi dan mempererat silaturahmi. Di antara cerminannya, perguruan tinggi harus melaksanakan visinya melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengabdiaan kepada masyarakat.
Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan alumni dituntut melakukan pengabdian masyarakat yang bermutu. Tidak kalah dengan Perguruan Tinggi, pendidikan pesantren dan organisasi sosial keagamaan juga menyiapkan lulusan dan kadernya agar mampu menjaga ciri identitasnya sebagai agen perubahan dengan pengabdian sosial yang mandiri alias menggunakan dana pribadi.
Pengabdian sosial di Indonesia banyak yang membawa misi keagamaan dan kemanusiaan dengan menjaga karakter lokal gotong-royong sebagai jantung Pancasila. Tidak hanya kalangan swasta, pegawai negeri pun ikut andil dalam pengabdian sosial meskipun status mereka sebagai pengabdi negara dituntut netral. Keprofesian tidak menghalangi pemilik profesi untuk terlibat pengabdian sosial meskipun hanya dengan menyalurkan zakat profesinya atau menjadi donatur untuk keberlangsungan kegiatan sosial.
Sebagian masyarakat Indonesia mengabdi kepada masyarakat melalui institusi negeri yang bermotif sosial dan tetap mendapat gaji atas pekerjaaannya sebagaimana diatur dalam Anggaran Negara. Sebagian lainnya mengabdi secara murni tanpa imbalan materi sepeserpun seperti pengabdian organisasi-organisasi sosial keagamaan, sosial kemanusiaan atau filantropi yang menebarkan spirit cinta tanah air dan agama serta keteladanan sebagai muslim yang hidup sederhana.
Pengabdian sosial sebagai aktivitas sosial (non-komersial) secara umum diwadahai dan digerakkan oleh institusi sosial (المُؤَسَّسَةُ الخَيْرِيَّةُ). Konsep pengabdian sosial (العَمَلُ الخَيْرِيُّ) dalam Islam merupakan konsep yang bisa dikategorikan kontemporer atau kekinian meskipun dalam prakteknya sudah berjalan sejak adanya Islam itu sendiri. Pengabdian sosial disamping memiliki akar sejarah, juga memiliki landasan nash dan bahkan merupakan salah satu tujuan Syariah yang perlu disyiarkan meskipun tidak disebutkan oleh ulama klasik.
Dalam tradisi keilmuan Islam, tujuan Syariah hanya membatasi lima tujuan, yaitu menjaga agama, nyawa, keturunan, akal, harta. Sebagian ulama menambahkan tujuan yang keenam yaitu menjaga harga diri. Banyak contoh praktek pengabdian sosial generasi umat Islam terdahulu yang perlu dipelajari, dirangkum dan “diperas” nilai-nilainya dalam bingkai pengabdian sosial sehingga nampak bahwa pengabdian sosial merupakan tujuan Syariah. Praktek zaman dahulu menginspirasi sebuah proses bagaimana ilmu bisa tersambung dengan amal dan gagasan bisa tersambung dengan pelaksanaan. Imam Syafi’i menyebutnya “ilmu adalah apa yang manfaat”.
Institusi baik berupa organisasi, lembaga, yayasan, komunitas sosial dan sebagainya membutuhkan panduan Syariah atau standar fikih untuk mengarahkan dan menuntun langkah-langkah organisasi hingga membuahkan kemaslahatan. Kata sosial (الخير) disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan beragam redaksi atau pilihan kata seperti kebaikan, berbuat baik, kasih sayang, sedekah, menghilangkan kesusahan, menolong orang tertimpa musibah dan sebagainya.
Kata الخير dalam al-Qur’an juga memiliki ragam makna seperti kebaikan, harta dan kualitas sebagaimana bunyi ayat فَاسْتَبِقُوْا الخيْرَاتِ “berlomba-lombalah dalam kualitas (kebaikan)” yang mengajarkan kompetisi sebagai alternatif lain dari kolaborasi (ta’awun). Kebaikan, harta dan kualitas yang dimiliki oleh seseorang masing-masing memiliki dimensi sosial dan sangat tergantung pada watak pemiliknya antara dermawan atau bakhil.
Dalam hal pengabdian sosial, Islam telah menyerukan sebelas pesan agar manusia tidak menjadi makhluk yang egois atau serakah. Pesan tersebut yaitu berprilaku baik (al-Haj:77/Ali Imaran:115), bertutur kata baik (al-Baqarah:83), tidak menunda-nunda yang baik (Ali Imaran: 114/al-Mukminun: 61), berlomba untuk kualitas yang baik (al-Maidah: 48), mendakwahkan hal yang baik (Ali Imran: 104), menganjurkan hal yang baik (al-Maun: 1-3), jika tidak mampu berbuat baik maka minimal berniat baik karena bisa jadi niat saja lebih baik dari perbuatan baik yang akan dilakukan. Pesan kedelapan yaitu berbuat baik walaupun kecil (al-Zalzalah: 7/ al-Nisa: 40), menjauhi atau mewaspadai orang yang mencegah perbuatan baik (al-Qalam: 10-12/Qaf: 23-25), menyadari kewajiban kerjasama untuk amal baik (al-Maidah: 2/al-Kahfi: 95) dan mengapresiasi orang yang berkontribusi untuk kegiatan yang baik (al-Taubah: 60).
Ciri khas pengabdian sosial dalam Islam yaitu adanya niat mencari ridla Allah, menjaga etika, meyakini keberkahan dan pengganti pengabdiannya di dunia sebagaimana Islam memadukan kebaikan dunia dan akhirat. Tentunya pengganti atau balasan di akhirat jauh lebih banyak dan memuaskan. Balasan kebaikan atau nikmat sekecil apapun harus dilihat bahwa Allah adalah yang memberi dan akan menambah nikmat itu ketika hamba bersyukur. Ciri terakhir pengabdian sosial adalah tidak mengharapkan imbalan.
Pengabdian sosial dalam Islam mencakup hal-hal yang bersifat materi maupun imateri. Pintu kebaikan yang bisa didedikasikan kepada masyarakat juga bermacam-macam melihat kebutuhan dan tuntutan mereka. Jika ada warga yang sakit jiwanya maka yang dibutuhkan adalah obat jiwa dan hiburan agar hatinya bisa tawakkal, percaya, berprasangka baik kepada Allah dan tidak putus asa. Meyakini bahwa “setiap cobaan atau mihnah yang menimpa orang mukmin pasti ada anugerah atau minhah pengganti dari Allah” merupakan salah satu bentuk prasangka baik kepada Allah.
Dakwah, mengajar, berorganisasi yang dilakukan secara ikhlas merupakan sedekah sosial dan bagian dari pengabdian sosial. Berkata baik dan tersenyum merupakan sedekah pribadi yang juga bagian dari pengabdian sosial sebagaimana energi positif yang diberikan. Ini mengingatkan kaidah bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu tidak memberi sesuatu. Jika yang dimiliki hanya tutur kata yang baik dan senyuman maka hal itu juga perlu diapresiasi. Jika memiliki kekayaan atau kelebihan materi, maka tidak lagi sekedar tutur kata dan senyuman yang diberikan, tetapi kadar-kadar tertentu yang harus dibagikan sebagaimana diajarkan oleh Islam.
Sedekah sebagai bentuk pengabdian sosial bisa dilakukan dengan tenaga dan menghindarkan bahaya dari orang lain. Seperti menolong orang yang jatuh atau membuang duri di jalan. Sedekah juga bisa dilakukan secara berkala seperti zakat setiap tahun (haul) bagi yang mencapai nishab atau setiap kali panen, serta bisa juga menjadi donatur bulanan bagi organisasi sosial yang membutuhkan.
Luasnya pengabdian sosial menunjukkan bahwa pintu kebaikan dan pintu surga juga luas dan banyak. Ketika Nabi Muhammad Saw dalam rangkuman beberapa riwayat menyebut bahwa agama adalah mu’amalah, nasehat, akal dan akhlak maka semakin jelas bahwa pengabdian sosial merupakan kemuliaan bagi orang Islam. Buah nyata dari hubungan baik atau ritual seorang hamba kepada Allah tidak lain dan tidak bukan adalah bagaimana seorang hamba memperlakukan orang lain.