Pilarkebangsaan.com. Masyakarat saat ini masih menganggap penyandang disabilitas sebagai manusia dengan kondisi fisik yang memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebenarnya sebaliknya, mereka adalah manusia pada umumnya yang juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya. Tak sedikit bukti yang menunjukkan prestasi mengagumkan seorang penyandang disabilitas dalam keadaan tuli Ludwig van Beethoven mampu menciptakan Simfony No. 9, maha karya musik klasik yang termasyhur dalam keadaan lumpuh.
Stephen Hawking mencapai puncak karirnya sebagai ahli fisika. Banyak juga nama-nama lain yang tidak terpublikasikan yang mungkin berada di sekitar kita. Dalam Islam penyandang disabilitas secara harfiah banyak tercantum juga dalam Al-Qurâan. Sebagaimana dapat kita lihat pada fikih penyandang disabilitas Muhammadiyah. Ada yang merujuk penyandang disabilitas tertentu misalnya; aâma, umyun (tuna netra), aâsam (tuli), abkam atau akhras (tidak bisa bicara), aâraj (lumpuh) dan majnun (orang dengan gangguan mental) termasuk dalam kelompok mustadâafin.
Netralitas Al-Qurâan terhadap mereka juga bisa kita lihat pada ayat âInna akromakum âindallahi atqokumâ . Ayat tersebut melihat kemuliaan manusia dari sisi taqwanya. Selain itu, mengenai disabilitas juga tertuang dalam Surah Al-Baqarah: 282, Surah An-Nur: 61 dan Surah Abasa. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, memberikan definisi bahwa mereka adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dalam lingkungan dapat secara penuh efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
***
Selain itu sebenarnya hak-hak mereka juga tertuang dalam CRPD (Convention on The Rights of Persons with Disabilities) ; melalui Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Kovensi Hak Penyandang Disabilitas. Mengutip dalam bukunya Abdullah Tri Wahyudi dan Ibu Siti Kasiyati, mengenai Alur Penanganan dan Bantuan Hukum Berdasarkan Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. Menurutnya, meskipun sudah tertuang dalam Undang-Undang, namun dalam prakteknya kebijakan-kebijakan yang berlaku di Indonesia masih ada yang mengandung diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: âSetiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga di taruh di bawah pengampuan karena keborosannyaâ. Frasa pengampuan ini berimplikasi pada penyandang disabilitas yang sudah dewasa, karena keadaan mental dan fisiknya dianggap tidak mampu dan tidak sempurna. Maka penyandang disabilitas diberi kedudukan yang sama dengan anak yang belum dewasa.
Penyandang disabilitas secara hukum ibaratkan tidak cakap dan di bawah pengampuan. Pasal 1 angka 26 KUHAP berbunyi:Â âSaksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiriâ.
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa keabsahan saksi untuk memberikan keterangan suatu tindak pidana. Pasal ini menimbulkan interprestasi bahwa seorang penyandang disabilitas netra kesaksiannya tidak sah dengan alasan indra penglihatannya tidak mampu mengidentifikasi terdakwa dengan baik. Kesaksiaan penyandang disabilitas mental retardasi tidak sah karena tidak bisa memberikan kesaksian secara sistematis dan terstruktur.
Demikian pula penyandang rungu wicara. Kesaksiannya tidak sah karena memiliki hambatan komunikasi sehingga kesaksiannya mungkin dapat menimbulkan salah persepsi. Pasal 1320 KUHPerdata juga menyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seseorang yang cakap hukum, dan dikualifikasikan cakap hukum adalah setiap orang yang dewasa dan sehat pikirannya. Pasal-pasal tersebut berpotensial melemahkan posisi mereka sebagai subyek hukum.
Sebenarnya prinsip kesetaraan di hadapan hukum juga sudah tertuang dalam surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 231.a/DjA/HM.oo/II/2012, Hal: Perhatian kepada Penyandang Disabilitas surat tersebut memberikan jaminan agar mereka memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh aksesibilitas baik fisik maupun non-fisik.
Namun demikian, kenyataannya ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum sangat sulit mendapatkan keadilan hukum. Stigma bahwa mereka bukanlah orang yang cakap hukum dan mendapat penguatan dalam buku 1 KUHPerdata Pasal 433. Selain itu pada pasal 1320 KUHPerdata juga menyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seseorang yang cakap hukum dan yang dikualifikasikan cakap hukum adalah setiap orang yang dewasa dan sehat pikirannya.
Kebijakan-kebijakan tersebut di atas memiliki makna multitafsir dan intreprestasi kata yang terangkai dalam kalimat menunjuk pada disabilitas seseorang. Dampaknya yaitu bahwa penyandang disabilitas berada pada posisi tidak cakap secara hukum karena disabilitasnya.
***
Maka demikian hukum di Indonesia masih sangat minim mengatur perlindungan penyandang disabilitas. Sebagaimana mengutip pernyataan M. Syafiâi bahwa secara subtansi hukum masih menciderai nilai kemanusiaan, aparat penegak hukum yang tidak progresif. Selain itu sarana peradilan yang tidak mudah untuk pengaksesannya dan budaya hukum lemah.
Subtansi hukum, khususnya hukum pidana materiil (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHAP) dan formil (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) belum memperlihatkan karakteristik penyandang disabilitas. Stigma negatif terkait penyandang disabilitas dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku saat ini.
Misalnya pengaturan dalam KUHP dan KUHAP yang masih memandang penyandang disabilitas orang yang tak cakap hukum. Selain itu, KUHAP juga hanya mengatur kewajiban memberikan penasihat hukum kepada tersangka/terdakwa untuk pembelaan tetapi tidak untik korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Praktek penegakan hukum menunjukan adanya kontrovensi penting yang harus terselesaikan. Kontrovensi tersebut berkaitan dengan kasus penyandang disabilitas sebagai pelaku korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus menunjukan bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum terkesan malas. Selain itu pula terkesan kesulitan untuk merekontruksi hukum untuk mengadili pelaku. Dengan dalih korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, maka proses peradilan perbuatan tersebut tidak diteruskan.
Menurut pandangan Muhammadiyah tentang pemenuhan dan perlindungan penyandang disabilitas meliputi nilai-nilai dasar; al-qiyam al asasiyah yaitu fikih penyandang disabilitas. Yang terbangun atas tiga nilai dasar yakni tauhid, keadilan dan kemaslahatan, prinsip-prinsip umum al ushul al kulliyat.
Dari tiga nilai tersebut, kemudian terimplementasi menjadi norma. Di bawahnya nilai tersebut adalah kemuliaan manusia, inklusifisme penghormatan dan pemajuan kebutuhan hidup yang terakhir pedoman praktis alahkam alfariyah, menyangkut hak asasi penyandang disabilitas, hak hidup bermartabat dan pengembangan riset dan teknologi.
Demikian perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas perlu untuk kita perjuangkan dengan masif dan terstruktur. Guna menghilangkan stigma negatif yang sudah menjadi penyakit akut di dalam masyarakat. Perlindungan hukum adalah upaya yang dapat kita lakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak penyandang disabilitas.
Dwiky Bagas Setyawan, Selengkapnya baca di sini I