Manusia ialah makhluk yang unik. Ia diciptakan berbeda satu sama lain. Tapi, tidak satu dua orang menjadikan perbedaan itu sebagai masalah. Bukan hanya pemicu perselisihan, tapi juga alasan manusia tidak bersyukur. Ia mulai membandingkan dirinya dan orang lain dan terus merasa kurang. Tanpa rasa syukur dan puas ia terus merasa tak sempurna. Padahal ia menyadari tidak ada manusia yang sempurna. Ia menjadi lebih mudah kehilangan percaya diri, marah, gelisah, dan putus asa.
Bukakah terdengar tidak asing? Ya, kasus tersebut sering terjadi pada perempuan. Perbedaan tak hanya menjadi alasan untuk tidak menyukai orang lain, tapi juga kehilangan jati diri. Di zaman sekarang, sudah begitu banyak perempuan yang mengenakan cangkang karena merasa berbeda dengan orang lain, terutama masalah fisik. Merasa terlalu gemuk, kurang putih, ataupun kurang tinggi. Permasalah yang mengasai kebanyakan pemikiran perempuan.
Pemikiran itu kemudian membuat perempuan tidak percaya diri, malu, takut menunjukkan dirinya di depan publik. Daripada berusaha menunjukkan kelebihannya, ia lebih sibuk menutupi kekurangannya. Menutupnya dengan rapat, membuatnya berusaha tak terlihat hingga ia mulai kehilangan rasa cita terhadap dirinya.
Hei, perempuan abad 21, perbedaan fisik bukanlah permasalahan yang harus dihadapi tapi diterima. Ayo tak hanya saling mengajari cara berdandan dan menutupi diri, tapi juga mencintai diri sendiri. Bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki.
Jika kamu sibuk mengurus diri sendiri, siapakah yang akan mengurus negeri? Sudah lupakah akan semangat Kartini yang terus tiap tahun kalian peringati?
Semangat Kartini
Kartini. Ibu yang harum namanya itu begitu memperjuangkan emansipasi peremempuan Indonesia, tanpa memandang fisik, suku, bahasa dan perbedaan lainnya. Berharap perjuangannya dapat membuat derajat perempuan sama dengan laki-laki. Dibalik keterbatasannya sebegai perempuan, Ia menganggap perempuan juga memikiri kemampuan, kemauan dan bakat yang tak terhingga.
Kartini muda yang menentang adat Jawa karena mengekang kebebasan perempuan. Perempuan pada masa itu tidak diperbolehkan memperoleh pendidikan, harus mau dipingit, dijodohkan dan dimadu. Ia begitu menentang pandangan tersebut, namun ia berhasil mengalahkan egonya. Ia menikah dan menjadi istri keempat Adipati Rembang agar bisa mendirikan sekolah bagi para perempuan. Ia mengubur impiannya untuk sekolah ke Eropa demi mengharumkan nama perempuan Indonesia lewat dunia pendidikan.
Namun, kini semangat itu perlahan diruntuhkan dengan perempuan yang malu akan kekurangan dirinya. Perempuan yang berlindung di cangkang yang terus ia buat seapik mungkin tanpa memperlihatkan kemampuan diri yang sebenarnya. Menjadikannya makhluk yang semakin rapuh, rentan dan pertahanan diri yang kurang.
Terorisme dan Perempuan
Hal ini tentu saja membuat perempuan lebih mudah dipengaruhi. Dalam keadaan kondisi jiwa yang tidak stabil, perempuan menjadi lebih mudah dibujuk. Perempuan akan cenderung menyerap informasi secara mentah tanpa memproses atau mencari tahunya terlebih dahulu. Ia akan langsung menerima begitu saja informasi tersebut. Inilah yang banyak terjadi dalam kasus teroris perempuan.
Perempuan yang termasuk kelompok rentan itu akan lebih mudah dipengarui untuk masuk ke dalam kelompok tertentu dan melakukan aksi terorisme. Dalam kondisi pertahanan diri dan psikis yang lemah itu, perempaun dijerat tipu daya. Saat kemampuan memproses informasinya lemah, ia terus dicekoki ajaran yang membuatnya mau mengorbankan jiwa bahkan raganya.
Tersebutlah nama teroris perempuan Dian Yulia Novi dari Bekasi, Ika Puspita Sari dari Purworejo, dan Jumiatun Muslim alias Umi Delima, istri Santoso pemimpin Mujahid Indonesia Timur sudah cukup menambah panjang daftar teroris perempuan. Perekrutan ini dilakukan dengan modus pendoktrinan aliran lewat media sosial dan dengan pernikahan. Perempuan dengan keadaan mental yang lemah ini yang akan dengan mereka targetkan.
Keadilan untuk Perempuan
Saat satu sisi mata uang bernama terorisme dengan mudah menyerang perempuan dengan pertahanan diri rendah, namun di sisi lain perjuangan menuntut keadilan dan pendidikan terhadap perempuan terus dilakukan. Mulai dari gadis berusia 19 asal Taliban Pakistan, Malala Yousafzai, yang ditembak kepalanya karena menuntut pendidikan bagi anak-anak. Ia ditembak oleh kelompok bersenjata Taliban di dalam bus sekolahnya. Akhirnya, setelah dibawa dan dirawat di ruamh sakit Birmingham Inggris, Malala mendapatkan kesempatan menyampaikan berpidato di depan Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB di New York USA tentang hak perempuan, perlawanan terhadap terorisme dan kebodohan.
Ada pula buruh PT. Catur Putra Surya asal Nganjuk Jawa Timur bernama Marsinah, yang disiksa dan diperkosa karena mengajukan peningkatan gaji. Padahal peningkatan gaji ini merupakan himbauan langsung pemerintah lewat surat edaran yang menyatakan pada sebagian pengusaha untuk menaikkan 20% upah buruh. Marsinah dengan aktif menyampaikan pendapatnya lewat negosiasi yang dilakukan bersama 13 orang rekannya dengan pihak perusahaan. Ketka ke-13 rekannya ditangkap dan dipaksa menandatangani surat PHK, Marsinah yang sehabis mengunjungi ke-13 rekannya itu lenyap. Perjuangan Marsinah berakhir dengan mayatnya yang ditemukan di hutan dengan keadaan mengenaskan setelah tiga hari menghilang.
Dari dua kasus diatas sudah dapat dilihat bahwa perempuan juga memiliki semangat yang sama akan keadilan dan kesetaraan. Perempuan mau berusaha membangun dunia yang lebih baik lagi. Dunia yang lebih ramah pada anak-anak, orang miskin, orang lemah dan pada perbedaan itu sendiri. Mereka sama-sama berharap perjuangan mereka tidak sia-sia dan hanya berhenti pada mereka saja.
Hei, perempuan abad 21. Sadarkah kalian akan perjuangan yang diserukan baik oleh Kartini, Malala, maupun Marsinah? Bahwa perempuan juga sama, ia memiliki kemauan yang keras dan mau memperjuangkannya. Ia juga mau berjuang dan berkorban jiwa dan raga untuk keadilan, kesetaraan, dan pendidikan yang kini mungkin bisa kamu dapatkan dengan mudah. Kalaupun kamu tidak mendapatkannya dengan mudah, bukankah itu cukup menjadi panggilan bahwa kamulah pejuang selanjutnya?
Perempuan Pelopor Perdamaian Dunia Maya
Belajar mencintai diri sendiri dan menjadi pribadi dengan jiwa yang kuat sudah sepatutnya dilakukan oleh perempuan. Tidak hanya menunjukkan betapa indah parasnya, tapi juga rupawannya tingkah laku, tutur kata, kemauan, hingga kemampuannya. Menghargai perbedaan dan merubahnya menjadi kekuatan yang saling melengkapi dan mengisi. Menyebarkan semangat emansipasi, pendidikan, keadilan hingga perdamaian lewat segala hal yang dilakukan, termasuk di dalamnya bersosialisasi di dunia maya.
Dunia maya merupakan zona yang banyak menuai perselisihan, penipuan, kekerasan seksual, hingga pembulian. Penyakit masyarakat yang belum terselesaikan itu kini menular pada dunia maya yeng rentan akan aturan. Menjadikannya wabah yang dengan bebas merajalela dan menyerang siapa saja, terutama perempuan. Oleh karena itu perempuan harus memiliki perlindungan lebih akan hal ini.
Perempuan harus berperan aktif dalam memberantas penyakit itu agar ia dan orang-orang yang berada di sekelilingnya dapat terlindungi. Memulai dari personal brandingnya sendiri, hingga mengajak perdamaian dan persatuan dengan tujuan yang sama, kesetaraan. Menghentikan acara curahan hati yang tak puas akan diri sendiri dan menyumpahi perbuatan orang lain yang memicu rasa benci. Menunjukkan kecintaan terhadap diri sendiri yang dibarengi dengan sikap toleransi. Menjadikan perempuan kunci dalam perdamaian dunia, termasuk di dunia sosial media.
Jadi, perempuan abad 21. Siapkah menunjukkan seperti apakah perempuan yang sebenarnya? Dan dengan tegas menjawab ‘memang kenapa bila aku perempuan’ jika diremehkan laki-laki?