Terdapat puluhan atau bahkan ratusan bahasa di dunia ini, namun atas keunikan dan keistimewaannya bahasa Arab terpilih menjadi bahasa dalam kitab suci al-Qur’an dan hadist. Dalam kata lain, bahasa Arab merupakan media kalam Tuhan melalui Muhammad sebagai utusan-Nya.
Oleh sebab itu, suatu hal yang sangat menarik bila kita kaji bersama, selain menambah wawasan keislaman kita juga dapat mengetahui apa di balik keunikan bahasa Arab sehingga menjadi bahasa baku (al-Lughoh al-Fusha) dalam sumber hukum Islam.
Perluasan Islam dan Pengaruhnya terhadap Bahasa Arab
Perluasan wilayah Islam membuat merebaknya kesalahan-kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab (Qira’ah al-Lughah al-‘Arabiyyah) sehingga berpengaruh terhadap pemahaman al-Qur’an dan hadist. Problem tersebut salah satunya disebabkan terjalinnya hubungan antara bahasa Arab asli dengan penduduk non-arab (ahlu al-‘Ajamiyyah) sehingga kedua bahasa itu “selingkuh”.
Ketika berbagai suku berbondong-bondong masuk Islam, upaya menyelaraskan bahasa Arab (al-Lughah al-‘Arabiyyah) sebagai alat komunikasi resmi dilakukan. Sehingga, dari puluhan suku atau bahkan ratusan suku akhirnya memiliki perbedaan kompetensi bahasa Arab karena masih terbawa dengan bahasa budaya mereka.
Bahasa Arab merupakan bahasa budaya yang sudah matang dan mapan sebelum Islam datang (zaman jahiliyyah). Sebelum bahasa Arab dijadikan bahasa agama (al-Lughah al-Diin), bahasa Arab telah menjadi alat komunikasi dan produk budaya yang dimiliki oleh salah satu suku Arab.
Ketika para sahabat menemukan kejanggalan bahkan kebuntuan dalam memahami bahasa-bahasa atau kalimat al-Qur’an dan hadist, mereka mencari penduduk yang masih menjaga orisinalitas bahasa arabnya. Dalam arti belum terpengaruh oleh bahasa suku asing.
Bahasa Arab dan Suku Badui
Hasil penelitian menyebutkan, mereka yang merupakan pemilik dan pewaris bahasa al-Qur’an (al-Lughah al-Qur’an), yaitu Suku Badui Arab. Suku Badui merupakan “mutiara” terpendam dalam pengkajian khazanah studi Islam bahasa Arab. Mereka istiqamah menjaga keotentikan substansi bahasa Arab murni jauh sebelum ilmu nahwu lahir.
Letak geografis suku Badui terletak di barat daya Asia, sebelah utara berbatasan dengan Syria, sedangkan bagian timur berbatasan dengan teluk Persia dan laut Oman. Adapun sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Pasifik dan laut Merah sebelah barat.
Kepiawaian dalam mendemonstrasikan bahasa Arab dengan baik dan benar merupakan sebuah keistimewaan bagi mereka, baik dalam bentuk syair (al-syi’ir), retorika (al-khitabah) maupun prosa (al-nathr). Pasar al-Mirbad merupakan pusat dunia perdagangan antarsuku, sehingga perbedaan dialek merupakan konsekuensi perkembangan bahasa Arab.
Perbedaan itu hampir pada setiap tatanan dalam bahasa arab: fonologi (suara), leksikal (kosa kata), sintaksis (gramatikal) dan bahkan harakat.
Bagi mereka bahasa merupakan sebuah identitas. Dalam bahasa Arab ada sebuah adagium al-Lughati Huwiyati (bahasaku adalah identitasku). Maka runtuhnya bahasa berarti runtuhnya idenitasnya. Dari ratusan suku terdapat suku-suku yang peduli dengan orisinalitas bahasa Arab dan sebagian besar tidak peduli.
Konsekuensinya, pada masa itu tingkat kefasihan membaca dan pemahaman terhadap teks-teks Arab (al-qira’ah wa al-fahm ‘ala kalam al-‘arabiyyah) berbeda. Suku Badui melakukan pelbagai upaya menjaga bahasa Arab asli dengan berkomitmen melafalkan al-Qur’an sesuai barometer ilmu qiro’ah yang kredibel secara intuisi (saliqah).
Sebab, pada hakikatnya bahasa al-Qur’an diturunkan dengan “meminjam” bahasa Arab murni. Berangkat dari fenomena di atas, muncul kesadaran urgensi dalam perumusan formulasi ilmu tatanan bahasa arab (ilm al-lughah al-‘arabiyyah). Saat itu istilah ilmu nahwu belum lahir.
Ide gagasan ini dimulai oleh Umar bin Khatab, dan terealisasi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib melalui muridnya Abu Aswad al-Du’ali sebagai penanggung jawab proyek ini. Adapun motif-motif munculnya benih ilmu nahwu atau ilmu susunan bahasa arab, akan penulis klasifikasikan di bawah ini:
Motif Agama
Ada setidaknya tiga hal dalam motif agama ini. Pertama, kepentingan umat Islam memahami Al-Qur’an. Urgensi mendalami makna al-Qur’an secara komprehensif dan mendalam telah diperintahkan Nabi: “Pahamilah fungsi-fungsi kata dalam kalimat al-Qur’an serta strukturnya. Dan uraikan benang kusut kata-kata yang masih ambigu” (A’ribu al-Qur’an wa iltamisu gharaibah).
Kedua, merebaknya penduduk Arab yang salah dalam mengucapkan lafadz-lafadz Arab (lahn). Ketiga, terdapat sepuluh model membaca teks arab (qira’at al-Qur’an). Sehingga perlunya untuk merumuskan ilmu yang mengatur susunan dalam kaidah bahasa Arab.
Motif Sosial
Dalam perkembangan bahasa Arab, perluasan wilayah Islam (al-futuhat al-islamiyyah) bagaikan “dua mata pisau”. Di satu sisi membawa kemajuan bagi Islam, akan tetapi di sisi lain ancaman bagi kemajuan bahasa Arab.
Sebab, bahasa Arab merupakan bahasa baku bagi negara-negara Arab termasuk negara yang baru ditaklukkan (al-‘ajamiyyah). Penutur non-Arab, dengan demikian, harus menguasai bahasa Arab murni. Kontak langsung antarbahasa tidak bisa dihindari, dan bahasa yang lebih kuat akan mendominasi bahasa yang lemah.
Motif Politik
Berawal dari pergolakan politik meninggalnya Uthman ibn Affan, hubungan antara Mu’awiyyah dan Ali bin Abi Thalib berseteru yang berakhir runtuhnya khalifah. Mu’awiyyah berambisi untuk menghabisi seluruh nasab Ali.
Demi menguasai ambisi politik mereka (Mu’awiyyah) menggunakan jubah agama untuk mengemas oposisi politiknya. Ini merupakan politisasi agama pertama kali dalam sejarah Islam.
Dinasti Umayyah menjelmakan dirinya menjadi sistem tatanan pemerintah monarki. Selain mengubah sistem pemerintahan dari demokratis (sistem yang sudah mengakar jauh sebelum khulafa al-rasyidin) menjadi monarki, Mu’awiyyah juga mengganti pejabat pribumi (al-‘ajamiyyah) dengan orang-orang Arab. Akhirnya, penduduk Arab merasa unggul dari yang lain.
Pergolakan politik ini secara tidak langsung berpengaruh juga terhadap perkembangan bahasa arab. Dorongan mendalami ilmu bahasa arab berbelok pada motif politik dan gengsi. Bahasa Arab dianggap “bahasa bergengsi” karena kedudukanya sebagai bahasa para penguasa saja.
Muslihudin
Mahasiswa IAIN Surakarta, Santri Ponpes Al-Fattah Krapyak Sukoharjo