Pada 27 November 2024, Indonesia akan menggelar Pilkada serentak di berbagai daerah. Namun, menjelang pesta demokrasi ini, muncul kegelisahan di tengah masyarakat terkait pilihan politik. Sebagian masyarakat merasa bingung hingga memutuskan untuk golput, alias tidak memberikan suara.
Keputusan untuk golput ini tidak terlepas dari alasan-alasan seperti kurangnya calon yang dianggap memenuhi kriteria ideal. Namun, pertanyaan penting yang kerap muncul adalah: bagaimana Islam memandang fenomena golput? Sebagai agama yang mengatur berbagai aspek kehidupan, Islam memiliki pandangan mendalam tentang kepemimpinan dan tanggung jawab memilih.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang sangat penting. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila tiga orang keluar untuk bepergian, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa bahkan dalam kelompok terkecil sekalipun, keberadaan pemimpin adalah keharusan. Dengan kata lain, Islam sangat menekankan pentingnya struktur kepemimpinan untuk menciptakan keteraturan dan mencegah kekacauan. Maka, memilih pemimpin—sekalipun dalam lingkup politik modern seperti pilkada—merupakan bagian dari tanggung jawab sosial dan agama. Golput, dalam konteks ini, berarti menolak untuk berpartisipasi dalam tugas kolektif memilih pemimpin.
Salah satu alasan yang sering dilontarkan oleh mereka yang memutuskan golput adalah ketiadaan calon yang sesuai dengan hati nurani atau harapan. Islam memberikan solusi dalam situasi seperti ini: memilih yang lebih kecil keburukannya.
Dalam kaidah fikih disebutkan:
“Apabila bertemu dua mafsadah (kerusakan), maka dipilih yang lebih kecil dampaknya.”
Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah setelah wafatnya Rasulullah menjadi contoh konkret pentingnya mengambil keputusan terkait kepemimpinan, bahkan dalam kondisi sulit. Para sahabat memahami bahwa kekosongan kepemimpinan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan jika mereka menunda proses pemakaman Rasulullah. Keputusan bijak tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apa pun, memilih pemimpin adalah prioritas demi menjaga stabilitas umat.
Keputusan untuk tidak memilih sebenarnya membuka peluang bagi calon yang lebih buruk untuk memimpin. Dengan tidak memberikan suara, seseorang secara tidak langsung membiarkan pihak lain menentukan masa depan bersama. Dalam konteks ini, memilih calon yang lebih baik di antara yang ada adalah langkah yang bertanggung jawab secara moral dan agama.
Sebagai bagian dari tanggung jawab ini, masyarakat dapat mengubah niat memilih menjadi bentuk kontribusi untuk kebaikan umat. Dengan niat yang benar, memilih pemimpin, meskipun tidak ideal, tetap merupakan upaya untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.
Tidak dapat disangkal bahwa dunia politik seringkali menyuguhkan pilihan-pilihan sulit. Namun, ini bukan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap realistis dan pragmatis dalam menghadapi tantangan seperti ini.
Memilih bukan hanya soal memenuhi hak politik, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan masa depan. Oleh karena itu, masyarakat yang bingung dengan pilihan yang ada dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan doa dan istikharah. Setelah itu, pilihlah yang terbaik dari yang tersedia dengan niat untuk kemaslahatan umat.
Golput bukanlah solusi yang bijak dalam Islam. Dalam keadaan apa pun, memilih pemimpin adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pilkada serentak 2024 adalah momentum untuk menunjukkan kepedulian terhadap masa depan bangsa.
Dengan memilih, kita turut menjaga keberlangsungan sistem yang baik dan mencegah kepemimpinan jatuh ke tangan yang lebih buruk. Niatkan setiap langkah dalam memilih untuk kemaslahatan bersama, karena pada akhirnya, kita semua bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Wallahu a’lam bi al-shawab.