Dalam Serat Kalatida, Raden Ngabehi Ronggo Warsito pernah menuliskan kalimat “Sak begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!“ yang artinya: Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Ingat dan waspada adalah salah satu sebab kebahagian dalam hidup. Dengan ingat dan waspada kita bisa menakar kemampuan diri kita. Karena orang yang tidak bisa mengukur kemampuan diri nantinya akan hancur. Artinya orang itu sudah lupa siapa dirinya. Orang yang lupa diri akan mengalami penyesalan.
Kehidupan kita ini setiap detik tidak lepas dari ujian. Ada ujian yang berupa nikmat dan ada ujian yang berupa musibah. Orang yang mendapatkan nikmat akan memperoleh pahala dari Allah swt. ketika dia bersyukur, dalam artian mempergunakan untuk hal yang tidak bertentangan dengan syariat.
Orang yang mendapat ujian berupa musibah akan diberi pahala saat ia bisa bersabar dengan musibah tersebut. Kita tahu dasar dari bersyukur dan bersabar adalah ingat dan waspada. Ingat bahwa kita adalah hamba Allah dan selalu waspada apa yang diberikan kepada kita adalah ujian.
Dari sini mulai dibahas, pahala manakah yang lebih banyak antara bersabar dan bersyukur? Pendapat ulama bermacam-macam. Maka menurut saya adalah tergantung dari beratnya ujian. Ada orang yang merasa berat dalam satu ujian dan merasa ringan dengan ujian yang lain. Seperti pengakuan dari Sahabat Abdurrahman bin ‘Auf r.a. Ia berkata:
ابتلينا مع رسولِ اللَّهِ ﷺ بالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنا ، ثمَّ ابْتُلِينا بالسَّرَّاءِ بعده فلم نصبر
“Kami bersama Rasulullah saw. diuji dengan rasa duka, maka kami bisa sabar. Kemudian setelah itu kami diuji dengan rasa suka maka kami tidak bisa bersabar.”
Karena rasa suka adalah hal yang lebih mudah membuat kita lengah dan lalai, maka beberapa ulama berpendapat bahwa bersyukur lebih banyak pahalanya daripada bersabar.
Diceritakan dalam kitab Mukasyafat al-Qulub diceritakan bahwa Nabi Ya’qub a.s. dan Malaikat Maut menjalin hubungan persaudaraan. Maka suatu ketika Malaikat Maut mengunjungi Nabi Ya’qub a.s. Nabi Ya’qub a.s. bertanya padanya apakah kunjungannya tersebut memang murni kunjungan atau dalam rangka mengambil ruhnya. Malaikat Maut menjawab bahwa kunjungannya saat itu hanya untuk berkunjung.
Kemudian Nabi Ya’qub meminta satu hal pada Malaikat Maut. Ia meminta untuk memberitakan padanya kalau nanti ajalnya sudah dekat. Malaikat Maut pun menyanggupinya dan berjanji akan mengirimkan dua atau tiga utusan yang akan memberi kabar padanya.
Setelah tiba pada waktunya untuk mengambil roh Nabi Ya’qub, Malaikat Maut mengunjunginya. Nabi Ya’qub bertanya: “Apakah kamu datang hanya untuk berkunjung atau mau mengambil rohku?” Malaikat Maut menjawab bahwa ia datang untuk mengambil rohnya. Karena sudah tiba masa ajalnya dijemput.
Nabi Ya’qub a.s. bertanya: “Bukankah kamu berjanji akan memberitahuku dengan mengirimkan dua atau tiga utusan kalau ajalku sudah dekat?”
Malaikat Maut menjawab: “Sudah kulakukan. Memutihnya rambutmu yang dulunya hitam, melemahnya badanmu yang asalnya kuat dan membungkuknya tubuhmu yang dulunya tegap. Wahai Ya’qub, Ketiganya itu adalah utusanku untuk anak cucu Adam sebelum mati.”
Sungguh indah syair yang mengingatkan kita pada hal tersebut:
ﻣَضَى ﺍﻟﺪَّﻫْﺮُ ﻭَﺍْلأَﻳَّﺎﻡُ ﻭَﺍﻟﺬَّﻧْﺐُ ﺣَﺎﺻِﻞُ × ﻭَﺟَﺎﺀَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻤَﻮْﺕِ ﻭَﺍﻟﻘَﻠْﺐُ ﻏَﺎﻓِﻞُ
Masa-masa dan hari-hari telah berlalu, namun hanya dosa yang dihasilkan
Telah datang pesan kematian namun hati selalu lengah
Maka mengevaluasi diri sendiri selalu kita perlukan dalam setiap keadaan. Kita mendapatkan ilmu, kita harus sadar bahwa pemberian Allah swt. merupakan ujian untuk kita. Apakah kita menuntun kita pada kesombongan atau kemana. Begitu juga dengan ketampanan, kekayaan, sehat, sakit dan segala hal yang melekat pada kita. Kita harus tetap waspada dan tidak lalai. Agar sadar diri.