Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, pesantren telah menjadi benteng kokoh yang menjaga keberlangsungan nilai-nilai agama dan tradisi bangsa. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren tidak hanya mencetak generasi berilmu, tetapi juga membentuk karakter bangsa dengan nilai-nilai keislaman yang sejalan dengan Pancasila. Namun, dalam dinamika globalisasi dan transformasi sosial hari ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana peran pesantren dalam menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa di masa depan?
Pesantren sejak lama telah menjadi penghubung yang kokoh antara Islam dan kebangsaan. Para kiai dan santri, melalui perjuangan mereka, berkontribusi besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad 1945 yang diprakarsai KH. Hasyim Asy’ari menjadi bukti bahwa pesantren adalah garda terdepan dalam membela tanah air. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren, seperti keikhlasan, kebersamaan, dan cinta tanah air, telah menjadikan pesantren sebagai ruang peradaban yang relevan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Namun, di tengah arus modernisasi dan globalisasi, tantangan baru muncul. Radikalisme, eksklusivisme, dan narasi keagamaan transnasional yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan mulai menyusup ke berbagai lini, termasuk ke lingkungan pesantren. Ideologi-ideologi yang menolak Pancasila sebagai dasar negara sering kali menggunakan agama sebagai pembenaran, sehingga menimbulkan polarisasi di masyarakat. Jika tidak diantisipasi, ancaman ini dapat melemahkan posisi pesantren sebagai penjaga harmoni antara Islam dan Pancasila.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa modernisasi pesantren justru dapat menggerus nilai-nilai tradisional yang menjadi identitasnya. Upaya pemerintah untuk memasukkan pesantren ke dalam arus pendidikan formal melalui UU Pesantren, misalnya, meskipun bertujuan baik, juga menimbulkan risiko homogenisasi. Pesantren yang dulu dikenal dengan kekhasannya dalam mengajarkan kitab kuning dan membangun karakter berbasis keikhlasan, kini dihadapkan pada tuntutan kurikulum formal yang sering kali lebih berorientasi pada pasar daripada pembentukan moral. Dalam situasi ini, bagaimana pesantren tetap mampu menjaga nilai-nilai luhur yang mendukung Pancasila sambil beradaptasi dengan modernitas?
Di sisi lain, pesantren juga menghadapi tantangan dalam mempersiapkan generasi muda yang melek digital. Dunia digital, dengan segala potensi dan bahayanya, menjadi arena baru yang harus dijangkau oleh pesantren. Ketika narasi-narasi intoleran semakin marak di media sosial, pesantren perlu mengambil peran aktif sebagai pusat literasi digital yang mengajarkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kebangsaan. Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila, yang menekankan pentingnya musyawarah dalam menghadapi tantangan bersama.
Namun, tantangan ini tidak bisa hanya dibebankan pada pesantren. Negara memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung pesantren sebagai lembaga strategis dalam menjaga peradaban bangsa. Dukungan ini tidak boleh sekadar bersifat material, tetapi juga harus mencakup penguatan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pesantren. Negara juga harus memastikan bahwa pesantren tetap independen dalam menjalankan fungsi tradisionalnya, tanpa intervensi yang justru melemahkan karakter khasnya.
Sementara itu, pesantren sendiri perlu berbenah. Pertama, pesantren harus meneguhkan kembali komitmennya terhadap nilai-nilai kebangsaan yang sejalan dengan Pancasila. Pendidikan di pesantren harus mampu menanamkan pemahaman bahwa Islam dan Pancasila bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Kedua, pesantren perlu meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi tantangan global. Ini mencakup penguatan literasi digital, penguasaan bahasa asing, hingga pembelajaran ilmu pengetahuan modern tanpa mengesampingkan tradisi keislaman. Dengan begitu, santri tidak hanya menjadi penjaga moral bangsa, tetapi juga mampu bersaing di tingkat global.
Ketiga, pesantren harus lebih proaktif dalam menyuarakan narasi kebangsaan di ruang publik. Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali diwarnai oleh hoaks dan ujaran kebencian, pesantren harus menjadi garda terdepan dalam menyebarkan pesan-pesan damai yang menegaskan pentingnya persatuan dan keadilan sosial.
Pada akhirnya, nasib Pancasila di masa depan sangat bergantung pada bagaimana bangsa ini mampu menjaga dan memanfaatkan kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa. Jika pesantren mampu mempertahankan identitasnya sambil beradaptasi dengan zaman, maka Pancasila akan tetap relevan sebagai ideologi bangsa yang inklusif dan universal.
Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren adalah penjaga peradaban bangsa. Namun, tugas ini tidak berhenti di masa lalu. Dalam menghadapi tantangan masa depan, pesantren harus terus menjadi pilar yang kokoh, mengokohkan Pancasila sebagai dasar negara, dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi bangsa yang adil, beradab, dan berdaulat di tengah dinamika dunia yang terus berubah.
Achmad Deni H
Penulis lepas