Pilarkebangsaan.com – Kutipan di atas merupakan salah satu potongan dari koran Java Bode yang terbit pada abad XIX. Di dalam alinea sebelah kanan bisa dilihat dengan jelas bagaimana perspektif yang berkembang pada masa itu terkait pesantren. Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
“Sebagaimana tradisi yang berlaku, anak-anak negeri (pribumi) telah menerima pendidikan pelatihan di daerah mereka masing-masing. Akan tetapi, pesantren-pesantren ini terus-menerus menarik para santri untuk belajar di sana, meskipun banyak di antara para santri yang cerdas akan segera melarikan diri begitu mereka melihat tidak ada yang bisa dipelajari di tempat itu. Di beberapa pesantren tidak ada lagi pendidikan yang sungguh-sungguh. Para guru serta murid hanya mempelajari ilmu hitam, di beberapa pesantren seperti di kabupaten Bangkalan, memperlihatkan bagaimana hubungan antara keduanya merupakan sesuatu yang paling menjijikkan.”
Perspektif seperti ini banyak diajukan oleh pejabat kolonial yang menempati posisi sebagai pakar urusan bahasa-bahasa pribumi dan hukum Islam yakni L.W.C van den Berg. Nama van den Berg bagi kalangan yang mempelajari sejarah Islam di Indonesia khususnya di masa kolonial mungkin tampak tidak sepopuler suksesornya yakni Snouck Hurgronje.
Akan tetapi berbagai karyanya khususnya terkait pesantren dan pandangan-pandangannya sempat menjadi perspektif dominan khususnya di kalangan pengambil kebijakan sebelum kemudian mendapat banyak tentangan dari Hurgronje. Di dalam karyanya yang berjudul De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijke Goederen op Java en Madoera atau Para Pemimpin Islam dan Hal-Hal Keagamaan di Jawa dan Madura, van den Berg memberikan banyak keterangan terkait pesantren di kedua daerah tersebut.
Menurut van den Berg, terdapat lebih dari tiga ratus institusi pesantren yang ada di Jawa dan Madura. Angka tersebut belum termasuk dalam surau di Minangkabau maupun dayah, meunassah ataupun rangkang di Aceh. Hanya ia menyebutkan beberapa pesantren yang terkemuka dan terbesar dari sisi jumlah santrinya. Pesantren-pesantren yang memiliki lebih dari ratusan santri tersebut antara lain di Lengkong yang masuk district Buitenzorg atau Bogor, Puncul dan Wanantara di Cirebon, Brangkal di Bagelen, Tegalsari dan Banjarsari di Ponorogo dan Sidosermo di Surabaya. Pesantren Sidosermo di Surabaya ini merupakan pesantren terbesar di saat van den Berg melakukan survey dan kunjungannya. Santri-santri yang ada di Surabaya tidak hanya datang dari daerah-daerah di sekitar Jawa Timur dan Madura saja melainkan banyak juga yang berasal dari berbagai daerah seperti Banten, Batavia, dan Jawa Barat.
Pada masa sebelumnya, Pesantren Tegalsari disebutkan merupakan pesantren yang terbesar di Jawa. Van den Berg kemudian menuliskan bagaimana pola kehidupan dan pengajaran yang tipikal di pesantren-pesantren. Para santri disebutkannya tinggal dalam suatu tempat yang disebut pondok. Bangunan-bangunan ini terbuat dari kayu dan bambu yang didirikan di sekitar suatu masjid. Dalam suatu pondok bisa ditempati hingga seratus orang santri. Untuk tidurnya, para santri harus mencari tempat yang dirasa mencukupi di pondok tersebut atau bisa saja tidur di dalam atau serambi masjid selama masih tersedia tempat untuknya.
Masing-masing santri belajar untuk keperluan mereka sendiri dan jarang untuk belajar bersama-sama dalam suatu pelajaran tertentu. Hanya ketika malam hari tiba, mereka semua akan berkumpul di koridor utama dimana sang guru memberikan pengajaran dengan sarana yang sangat terbatas seperti lampu gantung yang sangat primitif. Sang guru utama pada suatu pesantren mencerminkan kepopuleran dari lembaga tersebut. Tidak jarang terlihat pula para santri hanya menghabiskan waktunya dengan mengobrol dengan sesama mereka. Apabila tokoh tersebut wafat, maka biasanya pesantren tersebut tidak lagi diminati sebagaimana ketika masa hidupnya.
Pandangan minor tentang pesantren dari van den Berg tersebut harus dilihat sebagai upayanya untuk mendorong pemerintah kolonial agar semakin banyak mengintrodusir sekolah-sekolah modern bagi penduduk pribumi. Apalagi terjadi banyak perlawanan terhadap penguasa kolonial pada masa tersebut berasal dari pesantren dan lembaga keagamaan. Mulai dari yang paling fenomenal seperti perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa hingga berbagai pergolakan-pergolakan mulai dari ujung barat hingga timur Jawa.
Di Jawa bagian barat bisa dilihat bagaimana para kyai dan pemuka agama di Banten memimpin perlawanan para petani terhadap kekuasaan kolonial. Beberapa tahun sebelumnya terdapat perlawanan dari Kyai Amad Ngisa di Banjarnegera dan Kasan Ahmad atau Syekh Jumadil Kubra di Batang dan Pekalongan. Mereka menjalin aliansi yang terdiri dari para murid, pengikut serta rakyat pada umumnya untuk melawan hegemoni pemerintah kolonial. Menyusul kemudian Kyai Kasan Mukmin dari Gedangan tampil mengobarkan perlawanan di daerah Sidoarjo dan Surabaya.
Narasi-narasi utama dari perlawanan besar seperti yang diusung Pangeran Diponegoro hingga berbagai pergolakan lainnya kerap mengusung ide terkait isu Ratu Adil atau Imam Mahdi, restorasi atau pemulihan kekuasaan agama seperti sebelum masa berkuasanya bangsa Belanda hingga perang sabil atau perang suci melawan kekuasaan kafir. Bahkan perlawanan pada masa sebelumnya seperti pada masa Pangeran Trunajaya di abad XVII sampai perlawanan Adipati Jayapuspita dan keluarganya di Surabaya serta Jawa Timur pada abad XVIII juga mengusung topik perlawanan terhadap dominasi asing yang saat itu masih berbentuk perusahaan atau kompeni. Istilah perang sabil pun juga dipergunakan pertama kali di Jawa hingga kemudian dipakai di Aceh pada akhir abad XIX hingga awal abad XX.
Tidaklah mengherankan apabila kemudian pandangan umum khususnya masyarakat Belanda dan Eropa menganggap pesantren sebagai sarang bagi tersemainya bibit-bibit fanatisme agama. Sebaliknya masyarakat pribumi juga memandang bahwa pendidikan modern seperti dalam lembaga sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial sebagai suatu pendidikan yang identik kepada kekafiran.
Lembaga sekolah ala modern untuk pribumi pertama kali didirikan oleh pemerintah kolonial di Batavia. Disusul kemudian pendirian sekolah serupa di Karawang, Cianjur, dan Pasuruan oleh Gubernur Jenderal van der Capellen pada masa pemerintahannya yang berlangsung tahun 1816 hingga 1826. Para siswa sekolah tersebut mendapatkan pelajaran membaca dalam bahasa Belanda, Melayu, dan bahasa daerah setempat. Selain itu diajarkan pula cara menulis menggunakan huruf latin dan romawi serta pelajaran berhitung atau aritmatika.
Namun sekolah-sekolah tersebut ternyata hanya diminati oleh sejumlah kecil kalangan pribumi. Berdasarkan laporan tahunan atau Algemeen Verslaag van den Staat van het Schoolwezen in Nederlandsch-Indies tahun 1853 dan 1859 tercatat masalah-masalah yang dialami sekolah tersebut. Terlepas dari kurangnya sarana dan prasarana, hambatan yang lebih besar untuk memasukkan anak-anak pribumi ke sekolah modern dianggap penggunaan sekolah Islam tradisional, yang dikenal sebagai Pesantren. Orang tua melarang anak-anak mereka bergabung dengan sekolah modern karena keyakinan dan afiliasi agama mereka. Mereka tidak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga ‘kafir’.
Baru pada paruh kedua abad XIX, mulai terdapat perubahan khususnya yang diawali dari kalangan keluarga priyayi atau bangsawan. Pada tulisan berikutnya kita akan simak bagaimana pengalaman seorang santri yang kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah modern.