Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 di Banten akan menjadi ajang yang menarik perhatian banyak pihak. Provinsi yang terkenal dengan kekayaan budaya dan sejarahnya ini tak luput dari fenomena politik dinasti yang telah lama mengakar. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah Pilkada 2024 akan membawa perubahan berarti, atau justru memperkuat cengkeraman politik dinasti yang telah lama ada?
Banten dikenal sebagai salah satu provinsi dengan sejarah panjang politik dinasti. Sejak reformasi, keluarga-keluarga tertentu terus mendominasi panggung politik lokal. Nama besar seperti keluarga Ratu Atut Chosiyah telah menjadi ikon politik di Banten selama lebih dari satu dekade. Ratu Atut Chosiyah, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Banten selama dua periode, merupakan tokoh sentral dalam politik dinasti di Banten. Meskipun telah terjerat kasus korupsi dan dijatuhi hukuman penjara, pengaruh keluarga Atut masih sangat kuat. Beberapa anggota keluarganya masih aktif dalam politik, seperti Ratu Tatu Chasanah yang saat ini menjabat sebagai Bupati Serang.
Kehadiran politik dinasti di Banten membawa dampak yang kompleks terhadap sistem demokrasi di wilayah tersebut. Di satu sisi, keberlanjutan kepemimpinan dari satu keluarga bisa memberikan stabilitas dan kesinambungan dalam kebijakan. Namun, dominasi ini sering kali disertai dengan praktik nepotisme, korupsi, dan minimnya ruang bagi tokoh baru untuk muncul. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Banten termasuk salah satu provinsi dengan kasus korupsi yang tinggi, yang sering kali melibatkan pejabat dari dinasti politik.
Dalam Pilkada 2024 di Banten, kekhawatiran utama adalah bahwa politik dinasti akan menghalangi proses demokrasi yang sehat dan kompetitif. Kandidat dari keluarga berpengaruh cenderung memiliki akses lebih mudah ke sumber daya, jaringan, dan dukungan politik yang besar. Hal ini membuat persaingan menjadi tidak seimbang dan mengurangi kesempatan bagi kandidat independen atau dari latar belakang non-dinasti. Sebuah studi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dominasi dinasti politik dapat mengurangi kualitas demokrasi lokal karena minimnya kompetisi dan pengawasan.
Keberadaan dinasti politik tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika politik di Banten. Konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga cenderung menghambat munculnya pemimpin-pemimpin baru dengan ide dan visi yang segar. Potensi konflik kepentingan meningkat, yang dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi. Ancaman terhadap prinsip meritokrasi menjadi salah satu alasan utama untuk menolak dinasti politik. Dalam sistem politik yang sehat, para pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kompetensi, visi, dan kemampuan mereka untuk membawa perubahan positif.
Ketika hubungan keluarga menjadi faktor penentu, kesempatan bagi individu-individu berbakat dari latar belakang yang berbeda menjadi terbatas. Ini tidak hanya menghambat inovasi dan perbaikan, tetapi juga memperkuat status quo yang sering kali tidak efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Selama ini, dinasti politik cenderung memperkuat korupsi dan kolusi. Ketika kekuasaan terkonsentrasi dalam lingkup keluarga, pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang menjadi semakin lemah. Kerabat dekat yang memegang posisi penting cenderung memiliki loyalitas yang lebih kuat kepada keluarga daripada kepada rakyat, sehingga mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Kasus korupsi yang melibatkan anggota dinasti politik di Banten adalah bukti nyata bagaimana kekuasaan yang tidak terkontrol dapat merusak tata kelola pemerintahan. Contohnya, pada tahun 2013, KPK menangkap Ratu Atut Chosiyah atas kasus suap sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, yang menunjukkan betapa dalamnya cengkeraman dinasti politik di provinsi ini.
Demokrasi seharusnya memberi kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dengan membiarkan dinasti politik berkembang, kita mengkhianati semangat demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi mendasar dalam sistem politik dan hukum untuk memutus jalan dinasti dalam pemilihan kepala daerah di Banten.
Reformasi politik perlu diiringi dengan pendidikan politik yang lebih baik untuk masyarakat, serta partisipasi aktif masyarakat sipil dalam proses pemilihan. Masyarakat harus dilibatkan secara langsung dalam mengawasi jalannya pemilu untuk memastikan transparansi dan keadilan.
Peningkatan akses informasi mengenai calon-calon kepala daerah melalui berbagai media juga diperlukan, agar masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih cerdas dan berdasarkan informasi yang akurat. Peran media massa dan media sosial dalam menciptakan pemahaman yang luas tentang bahaya dinasti politik tidak dapat diabaikan. Media harus berfungsi sebagai watchdog, mengungkap setiap indikasi penyalahgunaan kekuasaan oleh dinasti politik, serta memberikan platform bagi suara-suara alternatif yang memiliki potensi memimpin daerah dengan lebih baik.
Di sisi lain, partai politik juga harus melakukan introspeksi dan reformasi internal. Partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung calon yang berintegritas dan kompeten. Proses seleksi calon yang transparan dan berdasarkan meritokrasi perlu diimplementasikan dengan tegas. Partai politik harus berani menolak calon dari dinasti politik yang tidak memenuhi kriteria kepemimpinan yang baik, meskipun mungkin menghadapi tekanan dari kekuatan internal partai atau elite politik.
Oleh sebab itu, masyarakat Banten perlu menyadari bahwa memilih kandidat dari dinasti politik bukanlah solusi untuk memperbaiki kondisi daerah dan memperkuat demokrasi. Untuk memastikan bahwa kepemimpinan yang terpilih benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, kita harus memutus mata rantai dinasti politik. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun daerah yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta mendorong kemajuan yang berkelanjutan untuk seluruh warga Banten.