Beberapa hari lalu, kita dikejutkan pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, pada sebuah acara temu kader PAN di Malang. Zulkifli mengatakan: Yang Islam shalat magrib dan subuh di masjid. Kenapa magrib sama subuh di masjid? Kalau kamu magrib sama subuh nggak di masjid, orang-orang di masjid nanti suaranya diambil PKS semua.
Menyimak pernyataan itu membuat imajinasi saya tentang masjid mendadak kabur. Selama ini, kacamata naif saya melihat tidak ada hubungan antara masjid dan politik. Masing-masing berjalan di relnya sendiri. Satu sama lain tidak saling mencampuri. Tapi rupanya saya keliru. Semua telah bergeser, dengan kecapatan yang mengagumkan.
Seorang ketua umum memberi arahan kepada kadernya yang ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif untuk salat berjamaah agar suara calon pemilih tidak berpindah ke partai sebelah. Mungkin bagi sebagian orang terdengar biasa saja dan sepele, tapi saya rasa itu merupakan bara dalam sekam. Di tahun 2018 manuver-manuver politik ternyata sudah semakin tajam sekaligus menggelikan. Kita mungkin bertanya: apakah ini tontonan kita sepanjang tahun?
Konon, dalam politik semua cara sah dilakukan. Termasuk mengeruk suara dengan memainkan isu SARA, menjual murah agama sampai mengeksploitasi rumah ibadah. Namun, andai semua partai dan politisi berpikiran serupa itu untuk meraih kekuasaan, alangkah riuh dan gaduhnya negeri ini. Alangkah berkeping-keping persatuan kita. Saya rasa, karena satu dan lain hal, itu hanya terjadi di Pilgub DKI. Tak bisa dibayangkan jika carut marut Pilgub DKI yang dimenangkan Anies-Sandi itu direplikasi di daerah-daerah lain.
Kita mafhum, posisi masjid memang tidak semata tempat salat an sich. Masjid juga menjadi pusat pendidikan, di mana sejarah menunjukkan transmisi keilmuan banyak terjadi di masjid, dari forum kajian misalnya. Politik memang sebuah pengetahuan yang penting dipelajari, seorang muslim seyogianya juga melek politik. Hanya saja, nyaris tak pernah ditemukan di masjid-masjid kita politik dibicarakan secara mendalam sebagai sebuah gagasan. Kalaupun politik dibicarakan dalam khutbah/ceramah di masjid tak lebih dari sebuah kampanye.
Secara sederhana, datang ke masjid mestinya berlatar keinginan tulus hadirnya interaksi hamba dengan Sang Pencipta. Suatu hal yang amat sakral, saya kira. Tidak direduksi niat-niat lain yang profan dan duniawi. Apalagi demi mendulang suara dalam sebuah pemilihan umum.
Oleh karena itu, sekali lagi, geli sekali mendengar anjuran ketua umum partai kepada kadernya untuk berjamaah di masjid hanya karena “suara”.
Bicara soal masjid, kita boleh jadi punya kenangan dengan masjid semasa kecil. Mulai dari berisik saat salat tarawih dengan teman-teman, diam-diam menghirup air wudhu saat bulan puasa sampai kehilangan sendal setelah selesai salat Jumat. Di masa itu, masjid menjelma tempat yang menyenangkan. Tempat yang kita datangi dengan sukarela dan riang gembira. Tapi saat dewasa, di masa kini, kita kemudian menemukan masjid menjadi tempat yang enggan kita kunjungi hanya karena takut atau malas bertemu dengan pengajian, ceramah atau khutbah bermuatan politik. Bukan politik sebagai sebuah gagasan yang layak didiskusikan dan dibicarakan, melainkan politik praktis tentang anda-harus-memilih-siapa.
Terakhir, saya ingin kutip satu paragraf menggelitik pada pengantar buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam karya Graham E. Fuller: Sedihnya, ketika agama menjadi terkait dengan kekuatan-kekuatan politik, ia cederung kehilangan nyawanya–dimensi keruhaniannya. Namun di begitu banyak tempat, agama itu secara berkala diundang ke dalam banyak pergulatan berdarah demi wilayah kekuasaan, kendali politik, agenda politik dan kelangsungan eksitensi komunitas. Ini berlaku bagi kebanyakan agama: Kristen, Islam, Yahudi, Buddha, Hindu, Shinto, dan banyak lainnya lagi, termasuk agama-agama tradisionil pribumi.
Membaca paragraf tersebut kita mengerti bahwa adalah suatu kenicayaan agama diseret-seret ke kancah politik. Apalagi tujuannya jika bukan kekuasaan? Semoga ini bukan tren yang terjadi di tahun politik yang sudah di depan mata.
A. Zakky Zulhazmi adalah penulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber (2015).
*Tulisan lainnya bisa dilihat di sini I