Saya percaya, di manapun kita hidup, maka disana Tuhan telah menitipkan keragaman yang melekat, baik itu keragaman agama, budaya, etnis, suku dan ras. Agar saya dan mahluk hidup lainya dapat bertahan hidup dan melangsungkan kehidupanya secara normal dan sejahtera.
Tugas saya sebagai manusia yang juga pemimpin di muka bumi adalah mengelola keanekaragaman itu sebaik-baiknya. Karena saya percaya, mendiamkan keragaman yang ada tersebut adalah sama dengan saya mendzolimi dan jauh dari rasa syukur atas nikmat tuhan.
Oleh karenanya dalam rangka memotret sisi keragaman yang ada, saya berkesempatan berkunjung ke salah satu daerah di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, yakni tepatnya di Pura Lingsar Kabupaten Lombok Barat.
Pura Lingsar yang terletak di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat kala itu tampak cerah di tambah sengatan sinar matahari yang begitu panas. Walaupun begitu, tidak mengurungkan niat beberapa wisatawan untuk mengelilingi atau berselfei ria di sekitar pura. Hal itu tidak berlaku bagi kawan ku yang bernama hilman, seorang warga yang juga berdomisili di lingsar yang menemaniku berkunjung kala itu.
Ia lebih memilih mengajak ku beristirahat untuk sekedar meminum kopi di salah satu warung di sekitaran lokasi Pura. Sesekali, saya menengok panorama keindahan sekitar pura, terlihat dua seorang laki-laki mengenakan sarung putih berjalan tepat di depan ku. “siapa kedua pria itu?” tanyaku ke hilman yang saat itu sedang menyeruput kopi, “beliau adalah dua tokoh agama di pura ini”, jawabnya.
Jawaban hilman, membuat ku seolah-olah bernostalgia dengan materi mata kuliah ku waktu semester 5 tentang moderasi beragama kala itu, “lokasi ini cocok untuk melihat praktik moderasi beragama”. Pikir ku. kesempatan itu, tak ku sia-siakan untuk meminta izin berbincang dengan dua tokoh agama tersebut.
Waktu itu tepat tanggal 1 desember, kedua laki-laki tersebut, yang juga dua tokoh agama, asik berbincang, balutan senyum dan sendau gurau terlihat dari percakapannya. Ternyata, mereka sedang berdiskusi perihal tradisi yang akan segera dilaksanakan, tepatnya pada bulan purnama ke 7 dan pada tanggal 15 bulan Masehi tepat pada tanggal 11 Desember.
Kedua tokoh agama tersebut bercerita tentang sebuah tradisi yang bisa mempererat hubungan masyarakat dua agama, tradisi itu bernama Ngilahang Kaoq.
Ngilahang kaoq merupakan adat istiadat yang sudah ada sejak dahulu dan menjadi acara turun temurun antara umat Islam dan Hindu dilingkungan Pura Lingsar. Dalam prosesnya, umat agama Islam dan Hindu menyembelih Kaoq atau kerbau yang nantinya akan di arak serta di bagikan ke masyarakat.
Tradisi Ngilahang Kaoq ini mengorbankan kerbau untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa, akan tetapi kerbau yang dipakai itu cuma 2 ekor. Satu ekor untuk disembelih dan nanti dagingnya itu akan diberikan kepada masyarakat Lingsar dan satunya lagi akan di arak keliling desa”. Ucap Raden Moh. Rais selaku tokoh agama lingkungan pura Lingsar.
Saya meilhat, Nilai-nilai ketuhanan (habluminallah) dan kemanusiaan (habluminnas) menjadi pedoman dalam pelaksaanya. Pada wilayah ketuhanan, melalui ritual ini. Menurut Raden Moh. Saleh dan Jero Mangku, pagi sampai sore diperuntukkan untuk umat Hindu dan pada waktu Magrib untuk umat Islam.
Umat hindu diberitugaskan untuk menjalankan ritual agama mereka, sedang umat Islam melaksanakan selakaran atau dzikiran untuk bermunajat kepada Tuhanya. Nilai ketuhanan sebagai wujud dari hubungan antara manusia (creation) dengan Tuhanya (creator), selaras dengan Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan pada wilayah kemanusiaan, tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda baur membaur bergotong royong mencari dana dan kebutuhan untuk acara. Raden Moh Rais dan Jero Mangku mengarahkan umat Islam dan Hindu untuk datang ke pelabe, yakni sebuah forum musyawarah guna menggalang dan untuk membeli kerbau, dari hasil pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat Islam dan Hindu.
Toleransi dan persaudaraan antara masyarakat dan pemuda terlihat dari antusiasmenya membantu mencari dan mengumpulkan bambu, daun kelapa serta membuat berbagai hiasan untuk memperindah pelaksaan tradisi Ngilahang Kaoq. Adanya kesamaan persepsi ini, mempengaruhi sikap dan kepribadian masyarakat Islam dan Hindu dalam berinteraksi dan bertoleransi.
Hal tersebut, senada dalam ajaran agama mereka yakni Islam dan Hindu yang dimana dalam Islam mengajarkan konsep tasammuh atau toleransi, sedangkan di agama Hindu disebut Catur Marga Yoga. Yakni, mengajarkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif.
Sehingga keharmonisan tetap terjalin baik sebelum acara maupun sesudah acara berlangsung. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pemangku adat yaitu Jero Mangku. “melalui tradisi ini, kita mampu menjaga keharmonisan dan kerjasama dalam tradisi-tradisi lainnya, karena sebelum kami mengadakan tradisi ini kami selalu bermusyawarah dan bertukar pikiran agar tidak terjadi konflik ketika memulai acara tersebut, disini kita juga selalu saling menghargai agar selalu terjalin toleransi”. Ucap jero mangku.
Di sinilah menurut saya, peran tradisi menjadi penting dalam moderasi beragama, melalui tradisi, seseorang bisa memiliki peran untuk menunjukan moral, emosi, sikap dan perilaku dalam konteks moderasi beragama. Yaitu dengan mengadakan tradisi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan demi menyatukan masyarakat dari latarbelakang agama yang berbeda.
Selepas berbincang dengan dua tokoh agama di lingkungan Pura Lingsar, Perbincangan saya berlanjut dengan salah salah satu wisatawan yang kala itu sedang asik berjalan-jalan sembari memotret keindahan Pura, menurutnya, menjalankan tradisi adalah sesuatu hal yang penting dan harus kita laksanakan, menurutnya.
Tradisi atau adat istiadat apapun bentuknya, menjadi hal penting sebagai tolak ukur kita untuk dapat memahami pentingnya kerukunan bersaudara dan demi menjaga eksistensi berbudaya maupun beragama”. Ucap wisatawan yang tidak ingin disebutkan Namanya.
Saya melihat, moderasi beragama terkait dengan inti kehidupan, yaitu dinamika dan harmoni. Sehingga dengan tradisi Ngilahang Kaoq mampu berdampak terhadap konsensus dasar kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap budaya lokal.
Menjalankan tradisi ini, dapat menambah nilai spiritual, dapat memperoleh kekuatan, perlindungan, dan kemudahan dengan tetap menyisipkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian. Adanya tradisi ini mengisyaratkan bahwa hidup harus seimbang dengan tetap mengejawantahkan prinsip ajaran agama masing-masing.
Memaksimalkan potensi keberagaman dan menjalankan tradisi keagamaan menjadi suatu keharusan. Karena menurut saya, dengan adanya hal tersebut, kita mampu memobilisasi semua kalangan, meneguhkan wawasan kebangsaan sesuai nilai-nilai Pancasila, merajut tali persaudaraan. Sehingga akan berdampak positif pada menguatnya sikap toleransi dan moderat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah kunci dari kemajuan bangsa.
Artikel ini adalah hasil kerja sama Bincangsyariah.com dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.
Selengkapnya baca di sini I