Jaga Pilar

Presiden Soekarno, Waliyul Amri Dhoruri Bi-Syaukah

4 Mins read

Usai Kuliah Subuh, para santri yang menonton tayangan Khazanah dari sebuah stasiun televisi terlibat kegaduhan karena saling berkomentar tentang tema yang diangkat pagi itu. Pasalnya, narator yang tidak fasih dan sering keliru mengutip dalil itu membaca narasi yang menegaskan bahwa sistem negara republik yang dianut di Indonesia tidak Islami karena tidak berdasar aturan Allah SWT sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan para santri berteriak-teriak sambil tertawa terbahak-bahak sewaktu narator menilai kekeliruan para ulama suatu organisasi Islam yang memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno, karena pemberian gelar Ulil Amri itu tidak sesuai Al-Qur’an dan al-Hadits alias keputusan bid’ah yang mengada-ada.

Sufi tua dan Sufi Sudrun yang sedang menikmati kopi di teras mushola memanggil para santri yang masih ketawa ngakak dengan kelucuan narasi yang dibaca narator, yang jelas-jelas tidak didukung data yang shahih alias mengada-ada seingat-ingatnya. Saat Azumi, Marholi, Daitya, Roben, dan Mulberry mendekat, Sufi tua bertanya, ”Apa yang kalian tertawakan? Apa kalian tidak tahu kita dilarang tertawa berlebihan?”

“Anu..anu mbah, siaran Khazanah pagi ini lucu sekali,” sahut Marholi dan Azumi hampir bersamaan,”Siaran TV kok asbun – asal bunyi — mbah.”

“Maksudnya bagaimana asbun itu?”

“Secara tidak langsung mereka menyatakan para Kyai NU telah keliru memberi gelar Presiden Indonesia Ulil Amri, karena tanpa didasari pertimbangan hukum Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan al-Hadits. Itu kan sama dengan menuduh para Kyai NU mengada-ada dan mengarang-ngarang saja sebutan Ulil Amri untuk Presiden Indonesia,” kata Marholi di-amin-i Azumi dan Daitya.

“Apanya yang lucu dari tuduhan itu?” tanya Sufi tua minta penegasan.

“Organisasi Islam – yang tidak langsung menunjuk NU – tidak pernah memberi gelar Ulil Amri. Seingat saya, gelar yang diberikan alim ulama tahun 1953 kepada Presiden Soekarno adalah waliyul amri dhoruri bisyaukah dan sekali-kali bukan Ulil Amri. Jadi lucu sekali kalau tiba-tiba dipelintir sak kerepe dewe di mana pemberian gelar waliyul amri dhoruri bisyaukah itu dijadikan gelar Ulil Amri yang dikaitkan langsung dengan dalil Al-Qur’an “Athi’ullah wa athi’ur Rasul wa Ulil ‘Amri minkum”. Itu yang lucu mbah.”

“Ya harap dimaklumi, mereka itu tidak tahu sejarah bagaimana gelar waliyul amri dhoruri bisyaukah itu diberikan kepada Presiden Soekarno,” kata Sufi tua.

“Bagaimana ceritanya mbah, kok para Kyai NU waktu itu memberi gelar Presiden Soekarno waliyul amri dhoruri bisyaukah?” tanya Marholi ingin tahu.

“Ya dengan musyawarah dan bahtsul masa’il segala, tidak ngawur dan asal-asalan,” kata Sufi tua menjelaskan, ”Bahkan pada awalnya, gelar yang akan diberikan adalah Waliyul Amri Dhoruri Dzu Syaukah. Tetapi terjadi perbantahan karena gelar Waliyul Amri Dhoruri Dzu Syaukah adalah gelar yang diperuntukkan bagi penguasa yg kafir, sedangkan bagi penguasa Muslim tapi kurang memenuhi syarat sebagai Waliul A’dham, maka statusnya adalah Waliyul Amri Dhoruri Bisyaukah.”

“Berarti pemberian gelar itu melalui musyawarah dan bahkan bahtsul masa’il ya mbah? Tapi kenapa narator itu menganggap pemberian gelar itu tidak sesuai tuntunan Allah SWT sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits?” tanya Daitya penasaran.

“Karena dasar hukum yang digunakan para Kyai NU saat itu tidak dipungut dari Al-Qur’an dan al-Hadits yang dijadikan pegangan Wahhabi, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits terbitan penerbit-penerbit Wahhabi, karena al-Hadits pun – seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Turmudzi, Ahmad, Baihaqy — baru dianggap shahih jika sudah ditahshih oleh Imam al-Albani, entah siapa orang itu. Begitulah, pemberian gelar Waliyul Amri Dhoruri Bisyaukah dianggap tidak sesuai Syariat Islam karena ditetapkan oleh para ‘ulama kreatif’ – yang suka mengada-adakan bid’ah – yang membuat agama terjangkiti penyakit TBC – Takhayul – Bid’ah – Churafat yang sesat dan menyesatkan,” kata Sufi tua menjelaskan.

“Wah kalau Al-Qur’an dan al-Hadits saja harus diseleksi dan dianggap sah jika sudah dilegalkan ulama Wahhabi, bagaimana ini mbah dengan otoritas faham yang lain?” tanya Azumi.

“Tidak usah dihiraukan mereka itu,” kata Sufi Sudrun menyela, ”Sebab semenjak Rasulullah Saw wafat, tidak ada satu pun manusia yang punya wewenang untuk secara mutlak menafsirkan Al-Qur’an dan al-Hadits. Kewenangan semua ulama hanya menafsirkan. Menafsir! Menafsir! Menafsir!”

“Artinya apa paklik?” sergah Azumi.

“Ya sekedar menafsir,” kata Sufi Sudrun ketawa, ”Artinya, tidak ada satu pun manusia boleh mengklaim bahwa tafsirnya saja yang paling benar. Kenapa demikian? Karena tidak ada satu pun ulama boleh mengklaim telah MENGKONFIRMASI langsung KEBENARAN Tafsirnya kepada Allah. Jadi semua itu hanya tafsir. Sungguh sesat dan menyesatkan kalau ada golongan atau agama baru yang mengklaim tafsir dari ulama mereka itu sebagai yang paling benar, sedang yang lain sesat. Itu pasti jiwa dan pikiran manusia Iblis yang suka mengklaim: ana khoiru minhu!”

“Itu benar,” sahut Sufi tua tertawa terkekeh-kekeh, ”Mereka yang mengklaim paling benar itu, sejatinya masih menduga-duga, menyangka-nyangka, mengangan-angan, dan mengira-ngira Keberadaan Allah. Maksudnya, mereka itu tidak pernah kenal Allah dalam makna yang sebenarnya. Mereka mengenal Allah hanya berdasar katanya ustadz saya, katanya ayah saya, katanya ibu saya, katanya guru saya. Semua serba katanya!”

“Jadi Tauhid mereka itu sama dengan saya mbah,” sahut Daitya ketawa, ”Meski bicara muluk-muluk tentang Allah dan surga, kalau punya jabatan dan kesempatan, pasti akan korupsi dan menjadi penjahat, termasuk menghambur-hambur duit untuk para artis.”

“Karena itu jangan gampang gampang percaya kepada orang-orang yang berbicara atas nama agama,” sahut Sufi tua.

“O iya mbah, bagaimana dengan klaim bahwa pemberian gelar Waliyul Amri Dhoruri Bisyaukah oleh para Kyai NU kepada Presiden Soekarno itu salah dan tidak sesuai tuntunan Allah?” tanya Marholi ingin penjelasan.

“Jangan pemberian gelar Waliyul Amri Dhoruri Bisyaukah, penggunaan sistem Republik apalagi dengan dasar Pancasila pun dianggap tidak Islami alias kafir,” jawab Sufi tua.

“Yang benar yang bagaimana menurut Wahhabi?”

“Ya khilafah yang sesuai tuntunan Allah dan Rasul,” sahut Sufi tua.

“Wah kalau khilafah, kan kembali lagi pada konsep yang disusun Taqiyuddin Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir,” kata Marholi menyimpulkan.

“O Taqiyuddin Nabhani orang asal Kota Haifa itu tah?” sergah Azumi mangut-manggut.

“Ya pasti, siapa lagi.”

“Karena itu, bersiap siagalah kalian semua anak-anak bangsa berjiwa nasionalis untuk menghadapi gerakan sistematis anti Republik Indonesia yang menggunakan isu-isu agama. Sebab gerakan ‘makar’ yang dijalankan kader-kader didikan tokoh asal Kota Haifa itu sudah menyebar ke mana-mana. Bersiagalah!” kata Sufi tua mengingatkan.

“Maaf mbah,” sahut Roben yang sejak awal mengantuk, ”Kota Haifa itu di mana ya?”

“Cari sendiri di peta dunia!” sahut Sufi tua singkat.

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Jaga Pilar

KPPMPI Melindungi Nelayan Kecil, Asa untuk Bangsa?

2 Mins read
Masuknya nelayan Indonesia ke wilayah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, bukan terjadi sekali dua kali. Dimana hal ini menjadikan kerugian tersendiri…
Jaga Pilar

Dampak Penambangan Pasir di Sungai Batanghari, Ancaman atas Bangsa?

3 Mins read
Sungai Batanghari adalah salah satu sungai terpanjang di sumatera yang mengalir melintasi provinsi jambi. Sungai batanghari memiliki manfaat yang sangat tinggi, sungai…
Jaga Pilar

Dampak Kebijakan Impor dan Ekspor terhadap Stabilitas Ketahanan

1 Mins read
Kebijakan impor dan ekspor pangan di Indonesia memiliki pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan nasional, terutama dalam aspek stabilitas harga pangan. Kebijakan ini…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *