Ada segelintir orang dan kelompok yang selalu mengatakan bahwa demokrasi sebagai produk asing dari Barat bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka menyatakan bahwa demokrasi telah menjadi agama baru yang merusak pandangan Islam. Salah satu poin yang dikritik tentang persamaan hak dalam demokrasi.
Aman Abdurrahman, misalnya, memberikan salah satu poin kekafiran demokrasi tentang ajaran persamaan hak. Dengan begitu gagahnya, ia menyitir 3 ayat al-Quran sebagai penguat kafirnya demokrasi.
Secara berurutan ayat yang dikutip adalah Al-Maidah : 100 yang berbunyi : “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” . Lalu, Al-Hasyr : 20 yang menyebutkan : “Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” dan terakhir As-Sajadah : 18 : “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq? Tentulah mereka tidak sama”
Menarik sekali bagaimana Aman Abdurrahman memaksakan ayat tersebut sebagai justifikasi bahwa Islam tidak mengenal persamaan hak. Ia meletakkan posisi manusia tidak sama di mata Tuhan karena ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang fasik dan ada yang beriman dan ada penghuni surga dan penghuni neraka.
Benar sekali perbedaan di atas. Namun sebagai argumen untuk mematahkan prinsip kesetaraan dalam demokrasi sangat lemah dan tidak tepat sasaran. Perbedaan di atas merupakan perbedaan spiritual-keagamaan yang tidak ada kaitannya dengan persamaan hak sosial, politik dan budaya. Artinya, Aman Abdurrahman terlalu memaksakan ayat tersebut sebagai pembenaran tidak adanya persamaan hak dalam Islam sebagaimana demokrasi.
Tentu saja, argumen lemah itu karena ketidakjelian dalam memahami ayat dan hadist lain. Misalnya, Al Hujurat : 13 menyebutkan prinsip kesetaraan tentang laki-laki, perempuan, bangsa-bangsa, suku-suku dan kategori paling tinggi kemuliaan adalah takwa. Pada prinsipnya semua manusia setara dan yang membedakan di mata Allah adalah ketakwaan. Namun, dalam relasi sosial perbedaan itu bukan suatu kemuliaan yang harus dibanggakan.
Dalam salah satu pidato Haji Wada’ Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad misalnya sangat tegas Islam mengajarkan tentang kesetaraan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, bapakmu (Adam) adalah satu, dan tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih, kecuali dengan takwa. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (HR. Ahmad).
Dalam relasi sosial kemasyarakatan perbedaan suku, etnis, warna kulit dan lainnya tidak boleh dijadikan penegasan kemuliaan. Semuanya adalah setara. Perbedaan yang hanya boleh dibanggakan adalah ketakwaan. Semua manusia setara dalam urusan sosial politik.
Karena itulah, dalam bingkai kemasyarakatan dan kenegaraan sebagaimana prinsip persamaan dalam demokrasi, Islam dengan tegas menyepakati tentang hak-hak sosial dan politik yang setara. Tidak ada perbedaan kulit hitam, kulit putih, suku Arab dan non Arab. Inilah sejatinya prinsip persamaan hak yang lebih dulu datang sebelum adanya konsep demokrasi.
Lebih praktis dan kongkrit lagi, kita akan melihat bagaimana Nabi membangun perjanjian dengan masyarakat Madinah yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Dalam poin hubungan antar berbagai kelompok di Madinah disebutkan : Orang-orang Yahudi (dari Bani ‘Awf, Bani Najjar, Bani Harith, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, dan sebagainya)adalah satu umat bersama orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu mereka, dan bagi diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat zalim dan dosa. Maka hal itu tidak akan mencelakakan selain diri dan keluarganya sendiri.
Dalam konteks hubungan antar masyarakat kategori etnik, suku, warna kulit dan agama menjadi setara yang mempunyai hak yang sama dalam perlindungan sosial. Mereka mempunyai hak kebebasan yang sama dalam melaksanakan ibadah masing-masing. Itulah prinsip kesetaraan dalam Islam. Sangat jelas bahwa konsep kesetaraan adalah genuine dalam Islam bukan karena memiliki kesamaan dengan demokrasi.
Lalu, jika dikatakan bahwa demokrasi dengan prinsip persamaan hak adalah sistem kafir sebagaimana nukilan dari Aman Abdurrahman, nampaknya argument tersebut bukan hanya lemah, tetapi sangat menyesatkan. Islam menegakkan dan menjamin kesetaraan hak manusia.