Menjadi istri Sultan? Dijadikan permaisuri? Betapa tinggi dan beratnya kedudukan itu. Wanita mana pun pasti mengharapkan dan mengidamkannya. Tetapi aku ingat kembali, terbayang wajah ibu yang selalu tampak berduka. Aku ingat ibuku dan harapannya padaku, agar aku jangan sampai dimadu. (Gusti Noeroel, Streven Naar Geluk, Mengejar Kebahagiaan, 157)
Bernama lengkap Radèn Ajêng Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri keraton Mangkunagara VII Surakarta. (Wening, Jumantara 2016) berbeda dengan putri keraton Jawa lainnya yang acapkali direpresentasikan sebagai perempuan lembut, pelan, lemah, nerimo, dan tidak memiliki kuasa menolak, Gusti Nurul justru menunjukkan sikap sebaliknya.
Dalam buku biografi Gusti Nurul disebutkan bagaimana kecantikan Gusti Nurul mampu memikat mata lelaki dari berbagai kalangan. Bahkan kalangan putri Mangkunagara VII pun mengakui beliau adalah putri tercantik. Namun beliau berani menolak pinangan tokoh-tokoh pembesar tersebut antara lain Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan Sultan Hamengkubuwono IX. (Ulli Hermono, 2014).
Perempuan keraton yang melakukan penolakan atas pinangan laki-laki merupakan sikap yang tidak lazim saat itu. Tingginya pangkat dan jabatan laki-laki yang menyukainya tak lantas membuatnya terlena. Kepiluan ibu kandung Gusti Nurul sebagai salah satu istri dari 7 istri Raja Mangkunagara VII cukup meninggalkan luka di batin Gusti Nurul. (Dodi Setiawan, 2013). Meskipun ibunda Gusti Nurul adalah garwo padmi (permaisuri), yang mendapatkan perhatian lebih dari Raja Mangkunagara VII, namun tak mengurangi problematika batin dan perasaan sebagai korban poligami.
Prototipe Gadis Modern di Zaman Kesultanan
Modernitas Gusti Nurul dan progresifitas pemikirannya sanat berkaitan erat dengan pola pendidikan yang diberikan oleh Raja Mangkunagara VII. Semua anaknya diberi kesempatan yang sama untuk merasakan pendidikan formal dan informal baik laki-laki maupun perempuan. System pendidikan formal dilakukan dengan mendatangkan guru privat dari keluarga Belanda. Sedangkan untuk masyarakat umum, beliau mendirikan sekolah Desa dan sekolah khusus gadis.
Pembelajaran Bahasa Belanda menjadi salah satu pelajaran wajib yang beliau pelajari. Dari sinilah Gusti Nurul banyak membaca buku Belanda dan pemikiran modern gadis Belanda yang diberi kebebasan untuk menjadi dirinya sebagai manusia. Bebas menentukan langkah hidup, menentukan masa depan, dan memiliki kemandirian. Ketokohan Raja Mangkunagara VII yang dikenal melalui keahliannya dalam bernegosiasi, pandai dalam tulis menulis, pemikiran dan analisis yang tajam, banyak mempengaruhi pemikiran dan sikap Gusti Nurul.
Kerjasama baik yang dijalin antara Praja Mangkunegara dan pihak Kolonial Belanda tak lantas menyurutkan nilai-nilai falsafah Budaya Jawa. Salah satunya adalah dengan melatih Gusti Nurul kesenian tari. Hingga pada 7 Januari 1937, Gusti Nurul diberi kesempatan untuk menampilkan pentas tari Sari Tunggal pada pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard di Belanda.
Tak hanya sekadar tarian, namun dalam pementasan tersebut Gusti Nurul berhasil menunjukkan bahwa orang-orang Timur telah mampu mencapai peradaban dan kebudayaan yang tinggi meskipun berada dalam dominasi Bangsa Asing. Ketenangan dan kesederhanaan yang tergambar dari setiap laku tari Sari Tunggal menimbulkan keirian dari pihak Belanda yang mengaku selalu hidup dalam kegelisahan. (Hari Wiryawan, 2011).
Meskipun banyak mempelajari budaya dan pemikiran modernitas Belanda, namun Gusti Nurul juga tetap berpegang teguh pada tata krama dan membangun jati diri sebagai perempuan Jawa. Antara lain sifat astagina, (Pigeaud, 1953) didalamnya berisi tentang ajaran mencintai budaya sendiri, gigih dalam memperjuangkan apa yang diinginkan, memanfaatkan apa yang dimiliki agar hidp berkecukupan, cermat dalam melakukan pekerjaan, gemar bertanya untuk ilmu pengetahuan, mengetahui ilmu hitung, tidak boros, dan bercita-cita setinggi mungkin.
Perpaduan antara sikap modernitas dan berkemajuan, yang diiringi dengan konsistensinya sebagai perempuan dengan budaya falsafah Jawa membawa Gusti Nurul sebagai sebuah prototype perempuan modern. Apalagi beliau berada dimasa dimana perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap hidup laki-laki tanpa bargaining position. Keberpihakan Raja Mangkunagara VII terhadap hak-hak perempuan dimanfaatkan dengan baik oleh Gusti Nurul sehingga melahirkan tokoh perempuan yang berkemajuan dimasa kesultanan.
Memilih Meninggalkan Kesultanan daripada Dimadu Tokoh Bangsa
Ada tiga pinangan kepada Gusti Nurul yang datang dari tokoh bangsa. Dengan alasan tak ingin terlibat dengan lingkungan politik praktis, pinangan yang datang dari Ir Sukarno dan Sutan Sjahrirpun ditolak. Pun demikian dengan pinangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja kesultanan Yogyakarta yang sudah pasti diidam-idamkan oleh mayoritas perempuan.
Namun karena Sri Sultan Hamengkubuwono IX sudah memiliki istri maka pinangan tersebut juga ditolak. Gusti Nurul berprinsip bahwa perempuan terhormat tak akan menikahi laki-laki yang telah beristri, meskipun diimingi posisi permaisuri. Dan wanita berpendidikan tinggi tak akan rela menyakiti hati perempuan lain.
Hingga pada akhirnya beliau melabuhkan cintanya di usia 30 tahun. Usia yang tak lagi muda sebagai putri Solo. Bukan kepada bangsawan pun kepada tokoh politik nasional, beliau memilih Soerjosoejarso seorang perwira militer dengan pangkat menengah di Angkatan Darat. Bersama suami, gusti Nurul melepas tahta gusti atau putri Solo dengan segala previlage yang beliau miliki. Memilih untuk melayani suami dan mengikutinya ke Bandung, Jawa Barat.
Jasad Gusti Nurul memang telah tiada enam tahun lalu, namun Gusti Nurul berhasil memperjuangkan dan memegang teguh nilai emansipasi dengan caranya yang unik. Sosok perempuan berdarah biru yang haus akan ilmu pengetahuan, mengikuti pemikiran modernitas, namun tetap berpegang pada nilai-nilai kesopanan perempuan.
Dan berhasil membuktikan bahwa dirinya lebih memilih menjadi istri dari laki-laki kalangan biasa daripada harus dipoligami bahkan oleh Raja dan tokoh Bangsa sekalipun. Karena perempuan yang berpendidikan tak akan pernah mau diduakan dan tak akan sanggup menyakiti perasaan perempuan lain.
Referensi:
Wening Pawestri, 2016. Proses Upacara Tetesan dalam Sêrat Pemutan Têtêsipun Bandara Radèn Ajêng Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, Jurnal Jumantara vol.7 No 2 Tahun 2016
Ully Hermono, 2014. Gusti Noeroel, Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan), Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Dodi Setiawan, 2013. Biografi Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VIII, skripsi, Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya
Pigeaud, 1953. Serat-Serat dalam KGPAA Mangkunegoro IV, jilid 1 , Djakarta: Kolf
Hari Wiryawan, 2011. Mangkunegoro VII dan Awal Penyiarannya di Indonesia, LPPS: Maret 2011.