Telaah

Refleksi Hari Anak Nasional: Membangun Generasi Tangguh Anti-Intoleransi dan Radikalisme

2 Mins read

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli tahun ini berbarengan dengan situasi pasca-pandemi. Situasi ketika kegitan publik mulai berangsur normal. Termasuk anak-anak yang kembali bersekolah setelah kurang lebih selama dua tahun belajar via daring. Membincangkan anak-anak pada dasarnya ialah membincangkan masa depan bangsa. Tersebab, di pundak merekalah kelak nasib bangsa ini akan ditentukan.

Maka, miris kiranya jika banyak anak-anak terpapar virus intoleransi dan radikalisme sebagaimana tampak belakangan ini. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa virus intoleransi dan radikalisme mulai menyusup ke seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Tidak terkecuali kelompok anak-anak dan remaja. Adalah hal yang ironis manakala anak-anak yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa justru terpapar paham intoleran dan ideologi radikal.

Kerentanan anak akan paparan intoleransi dan radikalisme dapat dipahami dari sejumlah sudut pandang. Pertama, dari sisi psikologis, anak-anak merupakan fase paling reseptif dalam seluruh fase kehidupan manusia. Anak-anak ibarat spons yang menyerap apa saja yang ia lihat dan dengar di sekelilingnya. Hal ini bisa berarti positif sekaligus negatif.

Positif dalam artian anak-anak akan mudah belajar hal-hal baru dengan cepat dan efektif. Namun, juga bermakna negatif karena itu artinya anak-anak belum memiliki filter yang membedakan baik-buruk atau benar-salah. Akibatnya, anak akan lebih mudah terpengaruh oleh apa pun, baik dalam konteks relasi domestik maupun relasi paternalistik. Termasuk dalam konteks paparan intoleransi dan radikalisme.

Dari sisi relasi domestik, intoleransi dan radikalisme biasanya diajarkan oleh orang tua yang menjadi role-model bagi anak-anak di rumah. Cara berpikir, berbicara, dan bersikap orang tua ialah contoh pertama yang akan menjadi cetak biru (blue print) karakter anak di masa depan.

Itu artinya, orang tua yang intoleran dan radikal sudah pasti akan melahirkan anak-anak dengan karakter yang sama. Intoleransi dan radikalisme memang bukan perkara genetik. Namun, kedua paham itu diwariskan turun-temurun melalui proses internalisasi terus-menerus dalam konteks kehidupan rumah tangga (domestik).

Pengasuhan Anak Berbasis Nalar Inklusif dan Moderat

Maka, penting bagi orang tua untuk mengembangkan model pengasuhan anak yang bercorak inklusif dan moderat. Artinya, anak diajak untuk mengamalkan nilai dan prinsip toleransi sejak dini. Dari sisi keagamaan, orang tua harus mengajak anak untuk beragama secara moderat alias tidak ekstrem.

Dari sisi kebangsaan, anak-anak harus ditanamkan rasa cinta tanah air dan budaya bangsa sejak dini. Sedangkan secara sosial-kemasyarakatan, anak-anak harus dilatih untuk menyikapi perbedaan dengan mengedepankan toleransi dan keterbukaan.

Sedangkan dalam konteks relasi paternalistik, paparan virus intoleransi dan radikalisme pada anak biasanya melibatkan figur tertentu yang dianggap sebagai patron. Dalam hal ini kita bisa menyebut guru di sekolah, kiai atau ustad di pesantren, maupun penceramah di media sosial sebagai patron yang berpotensi menyebarkan intoleransi dan radikalisme pada anak-anak.

Di titik ini, memilihkan patron yang tepat bagi anak-anak ialah hal yang mutlak untuk menghindarkan mereka dari paparan virus intoleransi dan radikalisme.

Peringatan HAN tahun 2022 yang mengusung tema “Anak Tangguh, Indonesia Maju” ini kiranya mejadi momentum bersama untuk meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa. Untuk menghadapi tantangan global yang kian kompleks, bangsa ini jelas membutuhkan anak-anak yang tangguh, baik secara fisik maupun mental.

Ketangguhan mental ini salah satunya direpresentasikan dengan sikap anti-intoleransi dan radikalisme. Indonesia mustahil menjadi negara maju jika anak-anak sebagai generasi penerus justru terpapar intoleransi dan radikalisme.

Membangun anak tangguh dari radikalisme dan intoleransi harus dimulai sejak dari keluarga. Pengetahuan tentang pengasuhan anak harus menjadi salah satu variabel wajib bagi para pasangan yang hendak menikah.

Ini artinya, kesiapan menikah hendaknya tidak hanya bergantung pada sisi finansial. Namun, juga mempertimbangkan aspek mental. Salah satunya ialah kesadaran untuk menjaga anak dari paparan virus intoleransi dan radikalisme.

Sivana Khamdi Syukria

Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Telaah

Bikin Rumah Kena Pajak? Apakah Kita Gen Z Harus Cemas?

3 Mins read
Ada apa nih kok bikin rumah sendiri tiba tiba terkena pajak? Padahal kan kita yang memiliki tanah tersebut, kok tiba tiba kena…
Telaah

Jika Soeharto Tidak Pernah Jadi Presiden, RI Jadi Negara Apa?

2 Mins read
Benarkah ada upaya menghilangkan jejak korupsi dari Presiden RI Soeharto imbas MPR resmi mencabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 kemarin?…
Telaah

Hukum Mencium Tangan Menurut Empat Madzhab

2 Mins read
Mencium tangan merupakan tradisi yang sudah biasa orang Indonesia lakukan sebagai bentuk hormat. Sebenarnya di beberapa bagian negara lain bentuk penghormatan tidak…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *