Penolakan Singapura atas masuknya Abdul Somad Batubara alias UAS beberapa hari lalu pada dasarnya ialah perlawanan terhadap narasi segregasi, intoleransi dan provokasi pecah-belah. Sebagai negara multi-ras, multi-etnis, dan multi-reliji Singapura merasa perlu menjaga negaranya dari sagala anasir yang menimbulkan instabilitas sosial-politik.
Di negara majemuk, perpecahan alias segregasi sosial ialah ancaman paling menakutkan. Segregasi sosial akibat sentimen keagamaan atau identitas lain dapat memicu timbulnya konflik horisontal. Jika konflik pecah, maka kehancuran sebuah bangsa hanya akan tinggal menunggu waktunya. Singapura tidak mau itu terjadi.
Dalam konteks negara majemuk, salah satu modal penting dalam membangun peradaban ialah terciptanya integrasi. Yakni bersatunya entitas kelompok yang berbeda identitas keagamaan, kesukuan, dan kebangsaan dalam satu paradigma kemajemukan.
Paradigma kemajemukan ini artinya masing-masing kelompok mengakui adanya perbedaan dan bersedia hidup berdampingan dengan saling mengenal dan menghormati satu sama lain. Integrasi harus tercipta dengan basis kesadaran atau sukarela, bukan atas dasar paksaan atau intervensi apa pun.
Macam-macam Integrasi Sosial
Integrasi sosial terdiri atas tiga bentuk. Pertama, integrasi normatif, yaitu integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menjadi pemersatu anggota masyarakat tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, kita memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semacam jargon pemersatu bangsa.
Kedua, integrasi fungsional yaitu integrasi yang terbentuk akibat adanya fungsi-fungi tertentu di dalam masyarakat. Contohnya keberagaman suku di Indonesia memiliki fungsi masing-masing yang ditonjolkan. Di antaranya suku Bugis yang identik dengan pelaut difungsikan sebagai penyedia hasil laut dan suku Minang yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam berdagang difungsikan sebagai penjual hasil laut tersebut.
Ketiga, integrasi koersif yaitu bentuk integrasi yang terjadi akibat kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa, yakni dengan cara-cara koersif atau kekerasan. Contohnya polisi menembakkan gas air mata untuk menghindari kerumunan yang menimbulkan kerusuhan.
Integrasi bangsa hanya bisa dibangun di atas fondasi, yakni kohesi sosial. Sederhana, kohesi sosial ialah sebuah kondisi ketika relasi sosial-kemasyarakatan terjalin secara harmonis, inklusif, dan pluralis. Menurut Emile Durkheim, kohesi sosial tercipta karena persamaan nilai, persamaan tantangan dan kesempatan yang setara didasari oleh harapan dan kepercayaan.
Kohesi sosial juga mensyaratkan adanya kemampuan untuk bekerja bersama dalam suatu entitas yang akan menghasilkan sebuah progresifitas alias kemajua. Pada praktiknya, antara integrasi bangsa dan kohesi sosial ini merupakan dua hal pokok yang tidak bisa dipisahkan.
Kohesi sosial diperlukan agar masing-masing kelompok patuh pada norma atau konsensus. Kepatuhan atas norma sosial inilah yang membuat masyarakat solid dan sukar diprovokasi apalagi dipecah-belah. Dengan begitu, kehidupan bernegara dan berbangsa berjalan kondusif dengan tetap mempertahankan identitas kebinekaan.
Empat Langkah Mewujudkan Kohesi Sosial
Ada empat hal pokok untuk mewujudkan kohesi sosial. Pertama, memastikan tegaknya hak asasi manusia pada setiap individu tanpa memandang identitas fisik, psikis, sosial, dan kulturalnya. Tegaknya hak asasi manusia berarti bahwa setiap individu memiliki hak, kebebasan, serta kedudukan yang setara di mata hukum.
Dengan demikian, setiap individu bebas mengekspresikan laku sosial, politik, dan keagamaannya tanpa ancaman diskriminasi, persekusi, apalagi kekerasan dari pihak manapun.
Kedua, menjunjung tinggi prinsip toleransi dalam artian memberikan ruang yang setara bagi perbedaan dan keragaman. Prinsip toleransi mensyaratkan adanya sikap saling menghormati (mutual respect) dan sikap saling mengenal (mutual understanding). Sikap saling mengenal dan menghormati akan menghindarkan masyarakat majemuk dari corak relasi sosial yang bertumpu pada kecurigaan dan kebencian.
Ketiga, adanya partisipasi pubik dalam tiap-tiap pengambilan keputusan. Pelibatan publik dalam kebijakan merupakan upaya untuk mencari titik temu dan mengakomodasi kepentingan setiap pihak. Terbukanya ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan akan meminimalisasi konflik kepentingan (the conflict of interest) dan tentunya benturan sosial yang lebih besar.
Keempat, terciptanya pemerataan hak di segala bidang, mulai ekonomi, hukum, keamanan, sosial, budaya, dan agama. Dalam hal ini, negara harus menjamin terwujudnya keadilan distributif. Yaitu keadilan yang menjamin setiap individu dan kelompok mendapatkan akses yang sama dalam hal pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial. Tanpa pemerataan kesejahteraan, kohesi sosial hanya akan menjadi wacana.
Dalam konteks Indonesia, agama idealnya bisa menjadi sarana mewujudkan kohesi sosial. Nilai dan prinsip moral yang diajarakan agama idealnya bisa menjadi titik temu kebangsaan yang menyatukan beragam entitas yang berbeda. Pada momentum Hari Lahir Pancasila ini, refleksi kohesi sosial ini sangatlah penting.