Suriah dibawah pemerintahan baru pasca tergulingnya Bashar Al-Asaad, harus menjadi negara inklusif. Itu penting untuk mewujudkan perdamaian berkelanjutan.
āKalau kemudian tidak tercapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan bersama yang inklusif, proses transisi dikhawatirkan akan semakin panjang dan gejolaknya akan semakin besar,ā ucap Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi Ā di Jakarta, KamisĀ lalu.
Seperti diketahui milisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) berhasil merebut ibukota Damaskus sekitar dua pekan lalu dan Presiden Bashar Al-Asaad kini melarikan diri ke Rusia
Ia mengatakan, meski disatukan dengan tujuan menaklukkan rezim Assad, kelompok oposisi bersenjata utama Suriah memiliki latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda.
Di antara kelompok tersebut adalah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) yang merupakan kelompok Islamis pecahan Al-Qaeda yang kemudian menolak berdirinya ISIS, Tentara Nasional Suriah (SNA) yang disokong Turki, dan Angkatan Demokrasi Suriah (SDF) yang memiliki kepentingan bagi kelompok masyarakat Kurdi dan didukung AS.
Apabila kesepakatan bersama untuk membentuk pemerintahan yang inklusif dan menguntungkan semua pihak gagal, Yon menyebut bahwa situasi keamanan di Suriah dapat menjadi tak terkendali, sehingga bernasib sama dengan Libya dan Sudan yang kembali jatuh ke perang saudara karena gagalnya pemerintahan transisi.
Ia juga mengatakan, kegagalan mempertahankan pemerintahan inklusif juga berpotensi membuat negara tersebut senasib dengan pemerintahan baru Afghanistan yang hingga saat ini tak diakui komunitas internasional karena rezim Taliban menolak memerintah secara inklusif.
Selain itu, kelompok oposisi Suriah yang berhasil merebut kekuasaan juga harus mempertahankan persatuan demi mewaspadai Israel yang memanfaatkan situasi di Suriah dengan menghancurkan fasilitas angkatan udara dan angkatan laut Suriah yang ditinggalkan militer rezim Assad.
āPertahanan Suriah sedang diperlemah oleh Israel yang mengharapkan supaya Suriah yang baru tak menjadi ancaman bagi Israel,ā kata Yon.
**
Suriah adalah cermin kelam dari sebuah bangsa yang gagal menjaga harmoni dan inklusivitas. Konflik berkepanjangan yang terjadi di sana menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk senantiasa menjaga keberagaman dan menghindari eksklusivisme yang dapat memecah belah masyarakat. Sebagai bangsa yang berdiri di atas fondasi Bhineka Tunggal Ika, NKRI memiliki kewajiban untuk menjadi negara inklusif yang melindungi hak setiap warganya, tanpa terkecuali.
Suriah pernah menjadi pusat peradaban yang kaya akan budaya, agama, dan sejarah. Namun, ketegangan politik, ekonomi, serta perpecahan antar kelompok agama dan etnis menjadi pemicu konflik yang menghancurkan tatanan sosial dan politiknya. Perang saudara yang dimulai sejak 2011 telah menyebabkan jutaan orang kehilangan nyawa, rumah, dan harapan.
Ketegangan ini diperparah oleh eksklusivisme ideologis, baik dari kelompok mayoritas maupun minoritas, yang gagal hidup berdampingan dalam keragaman. Ketika ruang dialog tertutup, kekerasan menjadi jalan keluar yang dipilih oleh berbagai kelompok. Keadaan ini diperburuk oleh intervensi asing yang memanfaatkan konflik internal demi kepentingan geopolitik.
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku, dan enam agama yang diakui, memiliki potensi besar untuk mengalami perpecahan seperti Suriah jika keberagaman tidak dirawat. Keberhasilan Indonesia mempertahankan persatuan selama hampir 79 tahun bukan tanpa tantangan. Konflik horizontal di Poso, Ambon, dan Papua adalah peringatan bahwa inklusivitas harus terus diperjuangkan.
Berbeda dengan Suriah, Indonesia memiliki Pancasila sebagai landasan ideologis yang menjamin hak setiap individu untuk hidup bebas tanpa diskriminasi. Namun, ancaman eksklusivisme masih membayangi melalui narasi-narasi intoleran yang disebarkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Narasi ini kerap menjadikan agama sebagai alat politik, membelah masyarakat menjadi “kami” dan “mereka.”
Agar NKRI terhindar dari konflik seperti Suriah, langkah-langkah berikut perlu diperkuat:
- Menguatkan Pendidikan Toleransi: Kurikulum pendidikan harus memprioritaskan pembelajaran tentang keberagaman, toleransi, dan hak asasi manusia. Generasi muda harus dibekali pemahaman bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan ancaman.
- Menegakkan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku intoleransi dan diskriminasi adalah kunci untuk menjaga harmoni sosial. Negara harus hadir sebagai pelindung semua kelompok tanpa keberpihakan.
- Mengelola Narasi di Ruang Publik: Pemerintah dan masyarakat sipil harus bersinergi dalam melawan narasi intoleran di media sosial dan ruang publik lainnya. Narasi positif tentang persatuan dan inklusivitas harus menjadi arus utama.
- Membangun Ekonomi yang Berkeadilan: Ketimpangan ekonomi sering menjadi akar dari ketidakpuasan sosial. Pemerataan pembangunan yang menjangkau daerah terpencil dapat mencegah potensi konflik.
- Mendorong Dialog Antar-Kelompok: Ruang dialog antara kelompok agama, etnis, dan budaya harus selalu dibuka. Dialog adalah cara paling efektif untuk menghilangkan prasangka dan membangun rasa saling percaya.
Suriah adalah pengingat tragis bahwa tanpa inklusivitas, keberagaman dapat menjadi sumber perpecahan. NKRI memiliki segala potensi untuk menjadi contoh keberhasilan negara multikultural di dunia. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika setiap elemen bangsa bekerja sama menjaga nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan keadilan. Jangan biarkan narasi intoleransi merusak fondasi kebangsaan kita. Jadilah bangsa yang tidak hanya bangga akan keberagaman, tetapi juga mampu menjaganya sebagai aset terbesar untuk masa depan.