Kalau kita browsing di google dengan kata “terorisme”, ada banyak pemberitaan utama yang muncul, utamanya tentang Ponpes Al Zaytun yang diduga terlibat dalam persoalan terorisme. Berita terbaru datang dari Arab Saudi yang menghukum lima orang terkait kasus terorisme. Headline berita tersebut menunjukkan bahwa, masalah terorisme adalah masalah global, yang dihadapi oleh berbagai negara di belahan dunia. Tidak terkecuali Arab Saudi, yang dikenal sebagai negara dengan basis pemahaman Islam cukup kuat.
Jika merujuk pada stigma bahwa, terorisme berasal dari ajaran Islam, sudah semestinya Arab Saudi tidak akan berhadapan dengan terorisme. Namun nyatanya, tidak demikian. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa, terorisme bukanlah berasal dari Islam seperti yang ditujukan selama ini. Terorisme adalah ideologi yang tidak punya agama. Sebab tidak ada agama yang mengajarkan pembunuhan kepada orang yang tidak bersalah.
Secara umum, terorisme memiliki kriteria sebagai berikut: penggunaan kekerasan ilegal (melawan hukum): terencana, terukur terhadap kalangan sipil, serta dilakukan oleh sekelompok masyarakat/kombatan. Mereka juga menjadi bagian dari negara yang sah sebagai warga negara, namun memiliki tujuan untuk melakukan perubahan terhadap politik, ideologi ataupun agama. Korban yang disasar dalam aksi lapangan para teroris adalah random. Sehingga korban terorisme bisa terjadi pada siapa saja, tanpa melihat latar belakang korban.
Kejahatan terorisme menuai banyak perdebatan karena faktor seseorang terlibat dalam kelompok terorisme yang cukup beragam. Namun, faktor yang paling berperan adalah faktor internal individu itu sendiri. Bisa jadi, ia adalah seseorang yang mengalami ketidakadilan terhadap ekonomi, pendidikan ataupun merasa tertindas dengan sebuah keadaan sehingga mengalami kekecewaan terhadap aparat pemerintah. Ideologi terorisme menjadi jalan utama untuknya melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan sekelompok teroris dalam satu lingkarannnya.
Menilik Sila Kedua
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan merupakan penegakkan hak asasi manusia dari setiap narapidana yang ada. Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman yang merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui rehabilitasi dan integrasi. 5 Rehabilitasi dilakukan melalui pembinaan narapidana terorisme meliputi fasilitas olahraga, fasilitas pembinaan mental dilakukan melalui siraman rohani oleh petugas lembaga pemasyarakatan setiap 2-3 kali seminggu.
Sila ke-2 dalam Pancasila yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pemaknaan terntang sila ini dalam konteks narapidana sebagai subjek oembinaan menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi manusia. Pembinaan tersebut perlu dilakukan di lembaga pemasyarakatan setidak-tidaknya harus memenuhi fasilitas yang dibutuhkan oleh narapidana sebagai manusia.
Fasilitas tersebut meliputi fasilitas pembinaan fisik dan non fisik atau mental, fasilitas fisik berupa penyediaan fasilitas olahraga, keseninan, ketrempilan, perpustakaan dengan buku-buku yang memadai dan menunjang terhadap paradigma berpikirnya, fasilitas ibadah hingga fasilitas kesehatan, disertai dengan penyediaan psikolog. Pembinaan terhadap narapidana terorisme perlu diupayakan dengan berbagai metode pendekatan yang cocok dengan narapidana itu sendiri, utamanya yang sudah berikrar dengan NRKI.
Tidak hanya itu, pemidanaan teroris bukan sesuatu yang hal negatif sehingga menyebabkan narapidana teroris itu sendiri merasakan pengasingan dari masyarakat. Selama ini, salah satu konsekuensi logis yang diterima oleh narapidana teroris, beserta keluarganya adalah bentuk pengasingan dari masyarakat. Sehingga pasca dipidana, ia perlu menyesuaikan untuk bertahan hidup. Selain bertahan hidup dengan masalah ekonomi, ia perlu untuk membangun kembali jalan yang terjal amtara hubungannya dengan masyarakat. Bahkan meskipun bertahun-tahun lamanya, menjadi mantan narapidana teroris, terus dibaca oleh masyarakat sehingga anak-anak yang tidak berdosa atas kasus yang dilakukan oleh orang tuanya, juga terlibat. Tidak jarang, anak-anak mantan napiter mengalami perundungan dari masyarakat.
Pemidanaan dan Sikap Empati
Pemidanaan teroris setidaknya memiliki tiga tujuan, di antaranya:
Pertama, memperbaiki pribadi dari tindakan kejahatannya itu sendiri. Kedua, membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan. Ketiga, membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan yang lain. Dengan tujuan tersebut, setidaknya pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakat perlu melihat napiter sebagai manusia yang utuh, sebagaimana melihat manusia pada umumnya, sehingga bisa memenuhi kebutuhan terhadap fisik dan jiwanya. Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu memiliki sikap empati kepada mantan napiter agar perundungan dan pengasingan tidak lagi diterima oleh mantan napiter. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang layak bagi napiter atas asas kemanusiaan. Wallahu A’lam.