Bhinneka Tunggal Ika

Reinterpretasi Pernikahan Beda Agama di NKRI yang Ramah Kebhinekaan

4 Mins read

Pernikahan beda agama yang terjadi di Indonesia menimbulkan banyak komentar atau argumen yang mengarah kepada pelaku. Banyak kitab, buku atau artikel yang memaparkan atas kejadian tersebut (khususnya Al-Qur’an). Dalam hal ini juga banyak tafsir-tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur’an, salah satunya tafsir Al-Furqan karya Ahmad Hassan.

Ahmad Hassan atau bisa disebut Hassan Bandung dan Hassan Bangil lahir di Singapura pada tahun 1887 M. Ia cukup disegani karena menginformulasikan argumen-argumen yang rasional dan meyakinkan dalam membela prinsip-prinsip islam modernis. Prof. Dr. Hamka mengatakan bahwa Ahmad Hassan merupakan salah satu ulama’ terkenal yang menyebarkan paham mu’tazilah dari Syekh Muhammad Abduh.

Ia dikenal sebagai seorang tokoh pendiri organisasi Persis (Persatuan Islam) yang berhasil menyusun Tafsir Al-Qur’an yang berjudul Tafsir Al-Furqan dengan metode Ijmali (global). Pemikiran Ahmad Hassan banyak dipengaruhi oleh pandangan Syekh Muhammad Abduh dan tidak terlepas dari radikalisme pemikiran Islam dalam logika berpikirnya.

Pemikiran Ahmad Hassan sangat kontroversial di kala itu. Sebab, pendapatnya berbeda dengan para golongan atau tokoh masyarakat tentang berbagai persoalan dan macam-macam hal. Oleh karena itu, Tafsir Al-Furqan ditulis dan dihadirkan untuk mendebat pemikiran yang telah berkembang dalam masyarakat Islam Indonesia serta kebutuhan anggota Persis akan referensi keaagamaan yang mudah dimengerti.

Sistematika di dalam Tafsir Al-Furqan yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf Al-Qur’an, ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai dari Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an Ahmad Hassan menggunakan unsur bi ar-ra’yi atau dengan ijtihadnya sendiri dalam artian tidak sebebas-bebasnya dalam menggunakan pemikirannya.

Pada Ayat Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang mempunyai makna tentang pernikahan beda agama (dengan wanita atau laki-laki ahli kitab). Ayat yang dimaksud yaitu Q.S. Al-Baqoroh ayat 221, Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10, dan Q.S. Al-Maidah ayat 5. Ketiga surat tersebut menjelaskan bahwa menikah dengan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani) itu diperbolehkan. dengan syarat seseorang tersebut harus beragama islam terlebih dahulu.

Dalam hal ini, Ahmad Hassan juga menafsirkan dalam Tafsir Al-Furqan bahwa seorang beragama islam yang menikahi ahli kitab itu diperbolehkan, Karena metode dari tafsir ini merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ijtihadnya. Hanya saja, dalam referensi lain Tafsir Al-Furqan ini menggunakan nalar ideologis serta menggunakan ideologi puritan.

Dalam buku Ahmad Hassan yang lain, dia pun menerangkan hal yang sama dan mengambil surat Al-Maidah ayat 5. Hassan menjelaskan bahwa seorang Islam menikahi wanita Yahudi atau Kristen itu diperbolehkan walaupun dia tidak beragama Islam. Pada buku itu, Hassan memperkuat argumennya dengan memaparkan hadis Nabi tentang seorang sahabat menikahi perempuan Yahudi dan tidak ada satupun riwayat yang menerangkan bahwa perempuan tersebut sudah muallaf.

Pernikahan beda agama yang kerap kali terjadi ini dapat menimbulkan efek negatif juga positif yang ada diantara kedua pasangan tersebut dan bahkan dari pihak keluarga maupun masyarakat. Dalam agama Islam permasalahan tentang jodoh sudah diatur dan diterangkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yakni salah satunya Q.S. Yasin ayat 36.

Intinya, sebagai manusia yang beriman wajib bagi kita mengetahui apa yang diperintah agama dan yang dilarang. Untuk itu, sebelum melakukan atau mengambil keputusan yang penting yang berkaitan dengan kehidupan kita, semestinya seseorang itu berpikir dengan jernih juga hati-hati dan memikirkan apa akibat setelahnya.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa, baik dari segi agama, budaya, maupun adat istiadat. Dalam konteks ini, kehidupan bermasyarakat menuntut setiap individu untuk saling menghormati perbedaan. Salah satu isu yang sering menjadi perdebatan adalah pernikahan beda agama. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara implisit tidak memberikan tempat yang jelas bagi pernikahan lintas keyakinan, kenyataannya fenomena ini terus terjadi, menjadi cerminan nyata dari dinamika kebhinekaan yang hidup dalam masyarakat.

Pernikahan beda agama di Indonesia sering kali dihadapkan pada benturan antara hukum agama dan hukum negara. Sebagian kalangan memandang bahwa pernikahan semacam ini tidak sejalan dengan norma agama tertentu, yang mengharuskan pasangan memiliki kesamaan keyakinan sebagai fondasi keluarga sakinah. Namun, di sisi lain, terdapat argumen bahwa hak untuk menikah adalah bagian dari hak asasi manusia, yang seharusnya dilindungi oleh negara tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, diperlukan reinterpretasi yang lebih bijaksana dan ramah terhadap nilai-nilai kebhinekaan tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip keagamaan.

Prinsip dasar NKRI adalah Pancasila, yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama sekaligus landasan spiritual bangsa. Namun, sila ini tidak hanya bicara tentang ketundukan pada satu agama, melainkan juga menegaskan pentingnya penghormatan terhadap keragaman keyakinan. Semangat kebhinekaan inilah yang menjadi dasar untuk melihat pernikahan beda agama sebagai salah satu bentuk manifestasi toleransi yang nyata. Negara, dalam hal ini, tidak boleh abai terhadap fakta bahwa keberagaman adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Dari perspektif hukum, beberapa pengadilan di Indonesia telah memberikan jalan keluar bagi pasangan beda agama dengan mengesahkan pernikahan mereka melalui mekanisme permohonan ke pengadilan negeri. Meski solusi ini bersifat parsial, langkah tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan dinamika sosial. Namun, mekanisme ini masih jauh dari ideal, karena tidak menawarkan kepastian hukum yang merata di seluruh wilayah dan sering kali menimbulkan stigma sosial bagi pasangan yang memilih jalur ini.

Reinterpretasi pernikahan beda agama juga dapat dilihat dari sudut pandang budaya. Sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah mengenal konsep akulturasi yang memungkinkan dua tradisi atau keyakinan untuk hidup berdampingan. Dalam banyak masyarakat adat, pernikahan lintas agama bukanlah hal yang tabu, melainkan bagian dari cara menjaga harmoni sosial. Oleh karena itu, isu pernikahan beda agama sebenarnya bukan sekadar persoalan agama atau hukum, melainkan juga refleksi dari keberagaman budaya yang menjadi kekayaan bangsa.

Penting pula untuk menyoroti aspek kemanusiaan dalam pernikahan beda agama. Cinta, sebagai dasar dari pernikahan, tidak mengenal sekat agama atau keyakinan. Pasangan beda agama yang memilih untuk menikah sering kali telah melewati pergulatan emosional dan intelektual yang mendalam, dengan harapan membangun keluarga yang saling menghormati perbedaan. Dalam konteks ini, negara seharusnya hadir bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai fasilitator yang memberikan ruang bagi warganya untuk menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun, reinterpretasi pernikahan beda agama bukan berarti menegasikan prinsip-prinsip agama. Sebaliknya, pendekatan ini justru membuka ruang untuk dialog lintas agama yang lebih inklusif. Para pemuka agama dapat memainkan peran penting dengan memberikan bimbingan yang tidak hanya berdasarkan teks keagamaan, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, pasangan beda agama dapat menjalani pernikahan mereka tanpa harus merasa teralienasi dari komunitas agama masing-masing.

Sebagai bangsa yang berkomitmen pada kebhinekaan, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menciptakan regulasi yang adil, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Regulasi yang memungkinkan pernikahan beda agama tanpa menimbulkan benturan dengan hukum agama atau norma sosial adalah langkah maju yang diperlukan untuk menjaga harmoni dan kesatuan bangsa. Reinterpretasi ini bukanlah bentuk sekularisasi, melainkan upaya untuk menjembatani perbedaan dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.

Pada akhirnya, pernikahan beda agama adalah ujian bagi komitmen kita terhadap kebhinekaan. Jika Indonesia ingin terus menjadi contoh bagi dunia sebagai negara yang berhasil mengelola keberagaman, maka langkah-langkah progresif dalam isu ini harus segera diambil. Dengan semangat Pancasila dan jiwa kebangsaan yang kuat, Indonesia dapat menjadi rumah yang ramah bagi semua warganya, apa pun keyakinan mereka.

Nuryaman Adhi Syahputra

Mahasiswa UB Malang

1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Suara Guru dari Timur Indonesia untuk Pak Abdul Mu’ti

3 Mins read
Dari belahan kepulauan timur Indonesia, inilah bagaimana saya sebagai seorang guru melukiskan perasaan ini? Tentang sebuah harapan baru yang terbit di mata…
Bhinneka Tunggal Ika

Ramayana ke BrahMos: Merajut Hubungan Indonesia-India

3 Mins read
Diplomasi tidak selalu tentang negosiasi politik yang rumit atau perjanjian ekonomi yang kompleks. Terkadang, diplomasi menemukan bentuknya dalam ikatan budaya yang mendalam,…
Bhinneka Tunggal Ika

100 Tahun Pram: Membaca Ulang Narasi Indonesia dalam Konteks Global

4 Mins read
Ketika kita memperingati seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer pada 2025, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan penting: bagaimana kita memahami warisan intelektual…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.