Pendekatan purifikasi atau pemurnian Islam sering kali memicu perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam kasus ini, kampanye pemurnian Islam yang muncul di platform TikTok menjadi kontroversial karena menggaungkan ideologi Wahabi yang secara ketat berpegang pada teks Al-Qur’an dan hadis.
Pendekatan ini berusaha mengembalikan Islam pada bentuk “aslinya,” sesuai pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun, pemikiran ini justru sering kali menimbulkan kerisihan karena dianggap kaku dan tidak relevan dengan tantangan zaman. Tafsir Al-Qur’an memberikan perspektif yang lebih luas, mengajak kita untuk memahami Islam secara kontekstual dan bijaksana.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Janganlah kamu memeluk agama kecuali dengan penuh kepatuhan kepada Allah,” (QS. Al-Baqarah: 112). Ayat ini memberikan pengertian bahwa kepatuhan pada agama adalah esensial, namun bagaimana cara memaknainya harus disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya yang berkembang. Wahabi cenderung memahami teks ini secara literal tanpa memperhatikan konteks historis, sehingga menimbulkan interpretasi yang ketat. Pendekatan purifikasi ini tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat modern yang lebih kompleks dan penuh dinamika.
Pemilik akun ABS TV di TikTok yang menjadi sorotan dalam tulisan ini, tampaknya menganut pemahaman Wahabi yang kaku. Video-videonya kerap menyampaikan ajaran Islam yang “murni” tanpa mempertimbangkan keanekaragaman pandangan dalam Islam. Pada beberapa kesempatan, ia bahkan melakukan debat dengan TikToker lain yang mempertanyakan status kewahabiannya. Sikapnya yang menghindar dari pertanyaan ini justru memperkuat dugaan bahwa ia menganut ideologi Wahabi yang tegas dalam pendirian, namun tertutup dalam dialog dan diskusi terbuka.
Perdebatan tentang kemurnian Islam bukanlah hal baru, bahkan sudah ada sejak awal perkembangan Islam. Namun, pada masa sekarang, relevansi perdebatan tersebut dipertanyakan mengingat banyak tantangan yang lebih mendesak. Al-Qur’an, misalnya, mengingatkan kita untuk selalu menjaga persatuan dan saling menghargai dalam perbedaan, seperti dalam QS. Al-Hujurat ayat 10, yang menyatakan bahwa umat Islam itu bersaudara. Tafsir ayat ini mengajak kita untuk lebih menghargai keragaman dalam berislam tanpa saling memaksakan ideologi.
Lebih lanjut, pendekatan purifikasi sering kali merugikan Islam kultural yang telah lama menjadi identitas umat Muslim di Nusantara, khususnya NU dan Muhammadiyah. Islam kultural memberikan ruang bagi adat-istiadat setempat untuk hidup berdampingan dengan nilai-nilai Islam, tanpa harus membenturkan antara yang lokal dan yang universal. Hal ini justru memperkaya Islam dan menjadikannya relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Pendekatan seperti Wahabi mengabaikan aspek ini, yang berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat.
Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin mengajarkan untuk tidak memaksakan satu tafsir sebagai yang paling benar. QS. Al-Mumtahanah ayat 8 menegaskan bahwa Allah tidak melarang kita berbuat baik kepada orang lain yang tidak memusuhi kita. Dengan demikian, seharusnya Islam bisa lebih lentur dan terbuka terhadap berbagai pandangan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam Nusantara sebagai contoh konkret, telah membuktikan kemampuannya beradaptasi dengan budaya lokal dan tetap memegang nilai-nilai Islam.
Kemajuan teknologi dan globalisasi menuntut umat Islam untuk lebih bijak dalam menyikapi perbedaan. Pemurnian Islam dalam bentuk yang kaku justru mempersempit ruang dialog dan membuat Islam seolah-olah eksklusif. Padahal, tafsir Al-Qur’an mengajarkan kita untuk bersikap inklusif dan terbuka dalam berdialog, sehingga kita dapat menjembatani perbedaan dan memperkaya pemahaman Islam dalam perspektif yang lebih luas dan bijaksana.
Di era digital ini, platform media sosial seharusnya digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam yang damai dan menghargai perbedaan. Kampanye pemurnian Islam yang membatasi pada satu ideologi tertentu berpotensi memecah-belah umat Islam, bukan hanya di dunia nyata tapi juga di ranah maya. Tafsir dari QS. An-Nahl ayat 125 mengajarkan kita untuk berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bukan dengan cara yang menimbulkan perselisihan dan perpecahan.
Pemurnian Islam yang dikampanyekan melalui TikTok juga memperlihatkan kurangnya pemahaman tentang tantangan kontemporer yang dihadapi umat. Tantangan seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial adalah isu-isu yang memerlukan perhatian dari perspektif Islam. Tafsir Al-Qur’an yang kontekstual dapat menjawab isu-isu ini dengan menunjukkan bagaimana ajaran Islam bisa diterapkan dalam menyelesaikan masalah sosial secara bijaksana dan relevan.
Penting bagi kita untuk mengingat bahwa Islam tidak hanya berfokus pada aspek ritual, tetapi juga aspek sosial yang membawa manfaat bagi kemaslahatan umat. Dalam QS. Al-Ma’un, misalnya, Al-Qur’an menekankan pentingnya membantu mereka yang kurang mampu sebagai bagian dari ibadah. Pemurnian Islam yang kaku dan tidak relevan justru berpotensi mengaburkan pesan utama Islam sebagai agama yang peduli dan memperhatikan sesama.
Kritik terhadap gerakan purifikasi Islam bukanlah tanpa alasan, terutama di tengah keanekaragaman pandangan yang telah menjadi identitas Islam di Indonesia. Jika kita memahami Al-Qur’an dengan pendekatan tafsir kontekstual, maka kita akan melihat bahwa Islam mendorong umatnya untuk hidup harmonis dalam perbedaan, menghargai kearifan lokal, dan menerapkan ajaran Islam dengan cara yang relevan dan sesuai dengan tantangan zaman.
Sebagai generasi yang hidup di era globalisasi, pemahaman kita terhadap Islam perlu dikembangkan lebih luas, tidak hanya terpaku pada satu ideologi tertentu. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk terus mencari ilmu dan memperdalam pemahaman, sebagaimana dalam QS. Al-Alaq ayat 1-5, yang menginspirasi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan diri. Islam yang relevan adalah Islam yang mampu menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang bijak dan inklusif.
Secara keseluruhan, pendekatan purifikasi Islam yang kaku dan rigid kurang tepat diterapkan di era sekarang. Umat Islam perlu mempertimbangkan tafsir yang kontekstual agar mampu menjawab persoalan sosial yang dihadapi. Pendekatan ini tidak hanya menjaga keutuhan umat, tetapi juga membuat Islam lebih relevan dan dapat diterima oleh masyarakat luas.