Enam puluh delapan tahun yang lalu, terjadi peristiwa yang monumental bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ketika Inggris mendaratkan pasukan militernya ke bumi nusantara, maka bangsa ini meresponnya dengan semangat berani mati mengusir penjajah. Di kalangan santri, Nahdhotul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan mengeluarkan sebuah “titah sakti” untuk menanamkan semangat jihad yang disebut dengan resolusi jihad.
Resolusi jihad merupakan maklumat yang disampakan NU kepada warganya untuk berjihad, berperang mengusir kedatangan Inggris di bumi Indonesia yang nota bene sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Secara umum, isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad. Pertama, fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 km dari episentrum pendudukan penjajah. Dalam Islam, fatwa “fardlu ain” mengimp;ikasikan kewajiban yang harus dijalankan pagi setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh). Kedua, fardlu kifayah bagi warga yang di luar radius tersebut. Namun dalam kondisi tertentu dan darurut, maka bisa dinaikkan statusnya menjadi fardhu ain. Fardlu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah dilakukan oleh salah satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.
Resolusi jihad mempunyai dampak yang besar bagi gerakan perlawanan terhadap Inggris (NICA) di Surabaya. Puncaknya adalah tanggal 10 November 1945, yakni terjadi pertempuran super dasyat antara santri dan arek Surabaya melawan militer Inggris. Momentum besar tersebut sampai saat ini kemudian diabadikan sebagai hari pahlawan. Sehingga jika mau sedikit “narsis”, kepada santri dan syuhada’ NU lah sebenarnya peringatan hari pahlawan tersebut diperingati.
Santri, NU dan Nasionalisme
Istilah santri, mungkin banyak orang yang memahami sebagai para penuntut ilmu di pondok pesntren. Dalam tulisan ini, istilah santri lebih memiliki makna luas, yakni ummat Islam yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat. Sebagaimana Clifford Geertz, antopolog Amerika yang pernah meneliti tentang Islam Jawa, juga menggunakan istilah santri ini untuk mnenyebut orang Islam yang mengamalkan ajaran agamanya secara konsisten.
Kaum santri, memiliki karakter ketaatan yang sangat kuat terhadap kiayi. Ketaatan ini merupakan wujud sikap beragama, di mana kiayi dipandang sebagai orang yang memiliki pemahaman akan kitab suci secara baik. Selain itu, penghargaan terhadap ahli ilmu, orang yang memiliki banyak ilmu juga merupakan inti ajaran Islam, yang juga menjadi sumber ketaatan . Dalam hal ini, Sayyidina Ali pernah berkata “Aku merupakan budak (hamba) bagi orang yang mengajariku satu huruf dari Al-Qur’an”. Ketertundukan pada kiayi atau guru inilah yang menyebabkan para santri akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang kiayi tersebut, karena menganggap adanya kadar kebenaran yang tersirat dari perintah tersebut. Dalam konteks resolusi jihad, aplikasi jihad sebagai sebuah “titah” para kiayi yang dimotori oleh KH Hasyim Asyari selaku Rais ‘Am NU, merupakan manifestasi ketaatan dan pelaksanaan ajaran suci agama. Sehingga direspon dengan semangat jihad yang menyala dan berkobar, walaupun harus merelakan jiwa dan raga.
Pada derajat ini, nasionalisme santri tidak bisa diragukan lagi. Perintah agama yang menganggap hubb al wathan, cinta tanah air merupakan sebagaian dari iman semakin menegaskan integrasi antara berjuang mempertahankan tanah air dan berjihad membela agama dan kebenaran. Ketika semangat jihad sudah membara, maka dunia dan seisinya ini terasa kecil dibanding keridlaan dari dzat pencipta alam semesta ini.
Secara institusional, nasionalisme NU juga dibuktikan dalam berbagai peristiwa sejarah pergerakan bangsa. Pertama, NU dalam sebuah muktamarnya pernah mengeluarkan sebuah fatwa tentang dar islam, di mana Indonesia merupakan negara Islami yang wajib dibela dan dipertahankan. Kedua, tentang posisi presiden Sukarno yang dimaknai NU sebagai waliy al amri al dlaruri bi la-syaukah. Yakni penerimaan Presiden Sukarno sebagai orang yang berhak mengurusi persoalan ummat, di tengah perdebatan ormas Islam lainnya tentang boleh tidaknya posisi Presiden dalam system syariat Islam.
Ketiga, tentang pembasmian PKI 1965. Dalam hal ini NU melaui Banser melakukan “pemusnahan” terhadap ideologi komunisme beserta para anteknya. Meskipun hal ini menjadi kontroversi, ketika NU dianggap terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, pembantaian orang yang diduga terlibat PKI. Terlepas dari hal tersebut, NU sebenarnya mencoba untuk melindungi bangsa ini dari rongrongan pemberontakan. Meskipun hal ini kemudian “dimanfaatkan” oleh bara penguasa untuk memuluskan misi kepentingannya tersebut.
Keempat, tentang penerimaan pancasila sebagai asas tunggal. Dalam muktamar tahun 1984, NU menyatakan penerimaannya terhadap asas Pancasila. NU menganggap Pancasila merupakan simbol pemersatu bangsa, dari berbagai keaneka-ragaman dan perbedaan bangsa ini. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, Orde baru demi untuk menguatkan dominasinya, dan melemahkan organisasi berbasis Islam, menetapkan asas tunggal Pancasila. Semua organisasi sosial, politik, keagamaan harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dan dasar organisasi, padahal banyak organisasi Islam pada waktu itu menggunakan Islam sebagai dasar organisasinya.
Kelima, tentang upaya memecahan problematika kebangsaan. Dalam Munas Alim Ulama tahun 2012 kemarin, NU merekomendasikan agar pemerintah mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi. Selain itu persoalan korupsi pajak, pemilukada langsung, pembangun karakter bangsa juga menjadi rekomendasi dalam Munas tersebut. Hak ini menurut penulis adalah wujud kepedulian NU terhadap pesoalan kebangsaan. Bahkan dalam Munas tersebut sempat beredar wacana menghukum mati koruptor, ngemplang pajak yang banyak dikorupsi dan pengembalian pemilukada agar tidak lagi dilaksanakan secara lamgsung.
Kejahatan korupsi dianggap sebagai extra ordinary crime yang juga harus direspon dengan hukuman yang extra ordinary pula, yakni hukum mati. Korupsi telah meusak tatanan ekonomi, hukum, sosial dan politik bangsa ini. Mengenai, pemilukada langsung, NU menganggap bahwa pilkada langsung telah melahirkan banyak madharat dan kerusakan bagi masyarakat, serta birokrasi pemerintahan. Sehingga dengan mengembalikan pemilihan pada DPRD, berarti semakin memperkecil madharat tersebut. Tentang wacana ngemplang (boikot) pajak, hal ini berangkat dari penyalah gunaan pajak yang semakin massif dilakukan.
Reaktualisasi Resolusi Jihad
Konsepsi jihad selama ini lebih banyak dipahami secara klasik, yakni perang di jalan Allah. Hal ini tidaklah keliru, namun pemahamaman ini sangatlah sempit. Jihad secara bahasa bermakna sungguh-sungguh. Dalam pemahaman yang lebih luas, jihad berarti segenap kesungguhan dalam menjalankan ajaran agama. Jika ini kita sepakati, maka jihad bisa dilakukan oleh semua orang, dalam ruang waktu tertentu dan profesi masing-masing. Sehingga, setiap profesi, mulai dari petani sampai presiden, mahasiswa sampai profesor berpeluang untuk melaksanakan jihad sesuai keahlian dan profesinya.
Pada konteks resolusi jihad, maka kesungguhan kita pada bangsa dan tanah air ini adalah manifestasi resolusi jihad secara modern. Setiap warga negara bisa memberikan sesuatu yang bermakna dengan kesungguhan dan niat yang mulia untuk negeri dan bangsa ini. Fernomena korupsi, tawuran, konflik sosial, kejahatan adalah sederet prilaku yang tercermin dari hilangnya kesungguhan kita kepada bangsa dan negara. Nasionalisme sejati dalam hal ini adalah ketika kita mampu menjadi warga negara yang baik, good citizen.
Perjuangan kita saat ini boleh jadi tidak sehebat para pahlawan yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk bangsa ini. Namun bisa jadi lebih berat, mengingat tantangan dan godaan yang mengitari kita. Di tengah meredupnya jiwa nasionalisme para warga negara ini, sudah saatnya resolusi jihad yang sudah terkubur lama ini kita jadikan momentum untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Jihad kita saat ini adalah membangun diri kita masing-masing, untuk menjadi manusia dan warga yang baik. Sebagaimana yang pernah disampaikan Rasulullah ketika selesai perang badar, “Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar”. Perang Badar yang merupakan perang terbesar dalam sejarah Islam dianggap oleh Rasul sebagai jihad kecil. Karena jihad yang sebenarnya (jihad besar) menurut Rasulullah adalah jihad al-nafs, jihad memerangi nafsu dalam kiri kita. Mari membangun bangsa ini, mulai dari jihad membangun diri kita masing-masing.
Selengkapnya baca di sini I