Penundaan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tahun ini menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Pasalnya penundaan ini terjadi karena dianggap sulit dalam pembahasannya. Hal tersebut menuai tuduhan-tuduhan dari berbagai sudut pandang. Namun berita dan kabar tentang kekerasan seksual terhadap perempuan tetap terus saja meningkat. Kekerasan seksual adalah kesalahan pelaku. Namun, yang seringkali disalahkan adalah korban. Seperti alasan karena korban mengenakan pakaian terbuka atau korban keluar larut malam. Padahal banyak juga korban yang memakai pakaian tertutup, atau bahkan kejadian kekerasan seksual terjadi di rumah dan dilakukan oleh keluarga atau orang dekat korban.
Berbicara soal RUU PKS, hal ini masih mendapatkan kecaman dan kontroversial dari kalangan masyarakat maupun pejabat pemerintah. Kekeliruan atas tafsiran RUU PKS dikalangan masyarakat membuat kesan negatif atas isi dan pasal-pasal dalam RUU tersebut. Masih ada anggapan bahwa RUU PKS ini bersifat liberal, mengesahkan hubungan seksual dengan persetujuan di luar pernikahan, dan kegagalan pemahaman dari marital rape. Padahal dalam Pasal 5 huruf c RUU PKS sudah dijelaskan apa maksud dari kekerasan seksual. Tidak ada pelegalan hubungan badan di luar pernikahan. Penjelasan kekerasan seksual dalam pasal tersebut sudah sangat jelas, yaitu berupaya untuk melindungi anggota yang termasuk dalam ruang lingkup keluarga.
RUU PKS juga dianggap tidak relevan dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat dan dianggap sulit dalam pembahasannya. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual (Nasional.kompas.com, 5 Juli 2020). Permasalahannya, korban kekerasan seksual semakin meningkat dan minimnya perlindungan terhadap korban, namun pelaku tidak berhenti atau menunda melakukan kekerasan seksual hingga RUU PKS disahkan. Pertanyaannya, kenapa RUU lainnya cepat disahkan? Harusnya pemerintah mengedepankan hal yang penting dan mendesak, bukan malah mengedepankan hal yang penting tapi tidak mendesak. Peningkatan korban kekerasan tidak menunggu pengesahan RUU PKS.
Pemerintah dan DPR diminta untuk memprioritaskan RUU PKS, karena RUU PKS memiliki semangat untuk melindungi korban kekerasan seksual yang selama ini sulit mendapatkan perlindungan baik dari aspek penanganan kasus dan pemulihan psikis maupun fisik. Ada banyak contoh yang dapat dilihat bagaimana dampak gangguan psikis dari korban kekerasan seksual. Baru-baru ini, Rifka Annisa meluncurkan film pendek dengan judul āASAā yang mengangkat kisah nyata remaja korban kekerasan seksual dan bagaimana dampaknya bagi anak tersebut (film ASA bisa disaksikan di kanal youtube Rifka Annisa). Film tersebut menggambarkan betapa korban kekerasan seksual sangat perlu bantuan dan perlindungan yang pasti dan tegas dari pemerintah dan negara.
Berdasarkan catatan tahunan (CATAHU) 2019 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan),Ā kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat drastis dari tahun ke tahun. Di tahun 2016 terdapat 259.15 kasus, tahun 2017 mencapai 348.466 kasus, tahun 2018 mencapai 406.178 kasus, dan bertambah meningkat lagi pada tahun 2019 mencapai 431.471 kasus. Angka kekerasan terhadapĀ perempuan tersebut sangat memprihatinkan. Harusnya hasil dari catatan KOMNAS Perempuan tersebut dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan perhatiannya terhadap perlindungan perempuan korban kekerasan, untuk mengurangi, mencegah, dan melindungi perempuan korban kekerasan. Namun yang terjadi malah menunda pembahasannya. Semakin lama proses pembahasannya, maka akan semakin lama korban tidak mendapatkan hak kepastian hukum dan semakin meningkat juga jumlah korban kekerasan.
Sebenarnya perlindungan tentang hak-hak perempuan saat ini sudah tercantum dalam berbagai aturan hukum. Seperti Hukum Keluarga, KUHP, UUPKDRT, UU HAM dan lainnya. Namun aturan khusus mengenai perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan ini belum nampak jelas dan pasti. RUU PKS muncul karena adanya telaah dari implementasi aturan-aturan yang telah disebutkan tadi, namun belum begitu baik dalam mencakup perlindungan terhadap korban kekerasan. Misalnya kasus perkosaan, sebenarnya perkosaan sudah diatur dalam KUHP namun defenisi dan ketentuan perkosaan masih sangat sempit. Dalam KUHP, definisi perkosaan hanya dalam batasan memasukkan penis laki-laki ke dalam vagina perempuan dan mengeluarkan air mani. Artinya diluar dari defenisi tersebut tidak dianggap sebagai perkosaaan, contohnya ketika laki-laki memaksa memasukkan jari atau benda lainnya ke dalam vagina perempuan hal tersebut tidak dimasukkan sebagai perkosaan.
Bagaimana kelanjutan RUU PKS ini? Kita tunggu keseriusan wakil rakyat untuk memberikan perlindungan bagi warganya.
selengkapnya baca di I