Pilarkebangsaan.com. Pemerintah Indonesia dan DPR mulai serius dalam menanggapi permasalahan kekerasan seksual. Hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), perlu kiranya tetap melaksanakan kajian skeptis perihal norma-norma yang ada. Lintasan sejarah cukup membuktikan akan problematika mendasar yang kerap kali terjadi. Dalam kasus ini seakan terjadi pertentangan antara syariah dan hak asasi manusia (ham).
Beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) dan partai politik (parpol) berbasis Islam melakukan penolakan terhadap regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual . Mereka berpendapat bahwa cara dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual selama ini terlalu liberal. Selain itu regulasi yang ada juga terkesan mendukung pergaulan bebas, dan cenderung mengarah pada legalisasi zina.
Seperti misalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang mendahului RUU TPKS dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS).
Pada peraturan yang pertama, dahulu Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menganjurkan agar seluruh parpol di DPR menolak RUU tersebut. Menurut Wido Supraha, Anggota Komisi Ukhuwah MUI, RUU PKS patut ditolak lantaran memiliki kelemahan yang didominasi paham feminisme. Selain itu juga menegasikan landasan filosofis ketuhanan Yang Maha Esa pada Sila pertama Pancasila di sisi yang lainnya (Bunga 2019).
Adapun pada peraturan yang kedua, fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR, Muhammadiyah, Ikatan Dakwah Indonesia, serta 12 ormas Islam lainnya yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI), serentak menyatakan penolakannya. Hal ini berlandaskan bahwa peraturan tersebut memberikan legalitas seks bebas berbasis persetujuan (Saputra 2021). Dengan kata lain, lagi-lagi beberapa kelompok berbasis Islam membenturkan antara aturan penanggulangan kekerasan seksual dengan aturan Islam (syariah).
Berdasarkan realitas di atas, ada kemungkinan kembali tertolaknya RUU TPKS oleh kalangan Islam. Maka perlu perumusan langkah preventif yang mampu mengakomodir seluruh kepentingan yang konstruktif bagi penanganan kekerasan seksual. Hal ini lazim mengingat agenda penanganan kekerasan seksual berbasis undang-undang yang aspiratif dan akomodatif terhadap seluruh elemen masyarakat akan mempercepat proses penyelesaian kasus kekerasan seksual yang sudah lama ‘menggunung’.
Penyusunan Norma yang Kontekstual
Suatu peraturan perundang-undangan sudah sepatutnya berdasarkan suatu ketentuan yang kontekstual. Arti kontekstual di sini adalah berkesesuaian dengan asas pembentukan dan asas muatan materi perundang-undangan yang baik. Contohnya pada isi Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jika berkaca pada Permendikbudristek PPKS, Muhammadiyah sebagai ormas terbesar kedua di Indonesia menentang aturan tersebut karena ketidaksesuaian dengan syarat formil dan syarat materiil peraturan perundang-undangan yang baik. Melalui siniar resminya, Muhammadiyah menyikapi bahwa Permendikbudristek PPKS cacat formil lantaran tidak memenuhi asas keterbukaan. Tidak setiap dari elemen masyarakat dapat urun rembuk dalam penyusunannya.
Pada aspek materiil, Muhammadiyah juga menguraikan bahwa Permendikbudristek PPKS bertentangan dengan ajaran Islam dan Kemuhammadiyahan yang selama ini telah berlangsung. Asal muasal penentuan peraturan ini adalah kasus terdahulu yang pernah menimpa Baiq Nuril, seorang tenaga kependidikan yang mendapat pelecehan secara verbal melalui saluran telepon. Pelaku menganggap bahwa tutup mulutnya Baiq Nuril atas pelecehan tersebut adalah bentuk persetujuan kekerasan seksual. Konteks pendekatan permasalahan ini adalah konteks hukum tatkala sang korban hendak melaporkan ke pihak yang berwenang (Wibawa 2021).
Berbeda sekali dengan interaksi edukatif yang pada dasarnya melingkupi proses belajar mengajar. Pola interaksi edukatif hanya menyoroti perbuatan secara kasat mata, artinya gerak-gerik perbuatan pada proses pembelajaran. Beberapa ketentuan menyebutkan hal-hal tercela yang tidak boleh dilakukan apabila tidak mendapat persetujuan akan memberikan penafsiran secara terbalik bahwa selama terjadi persetujuan antara dua belah pihak, perbuatan yang dilarang – seperti memperlihatkan alat kelamin, mendokumentasikan melalui audio atau visual seseorang yang bernuansa seksual, mengunggah foto pribadi yang bernuansa seksual, serta penyebaran informasi terkait tubuh seseorang yang bernuansa seksual – tersebut menjadi tidak dilarang.
Kondisi tidak sesuainya suatu peraturan dengan konteks yang diatur pada isu penanganan kekerasan seksual sering kali dikait-kaitkan dengan ketidakberpihakan penanganan kekerasan seksual. Sebagai contoh, tanpa adanya suatu analisis yang mendalam Muhammadiyah mendapat cemooh di media sosial, lantaran menolak Permendikbudristek PPKS. Tentu tanggapan seperti ini akan membuat ruang diskusi publik menjadi destruktif.
Penguatan Partisipasi dan Aspirasi Publik
Layaknya bangunan yang didirikan secara kokoh oleh seluruh elemen masyarakat secara bahu-membahu, maka hasilnya akan cukup akomodatif dan representatif terhadap kepentingan masyarakat. Walhasil, akan semakin banyak pihak yang menjaga dan merawat kehadiran bangunan tersebut, sebab adanya rasa kepemilikan yang tinggi.
Sama halnya dengan undang-undang, apabila semakin banyak elemen masyarakat yang turut serta berkontribusi menyusun suatu norma pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, maka sudah sewajarnya rasa kepemilikan masyarakat melalui efektivitas hukum juga akan tercermin. Undang-Undang ini di kemudian hari akan menjadi peraturan yang tahan lama, tidak mudah berubah melalui suatu revisi. Tanda akan kesuksesan suatu peraturan yang akomodatif terhadap kepentingan bangsa dan negara.
Berdasarkan pada satu keyakinan bahwa setiap masyarakat di Indonesia adalah beragama, serta setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, maka pertentangan yang seolah-olah terjadi antara syariah dan ham akan dapat selesai. Namun demikian, mendiskusikan suatu perkara dengan komponen masyarakat yang beragam, tentu akan memakan waktu yang tidak relatif singkat, maka konsekuensi logis dari keberagaman adalah toleransi. Toleransi terhadap perbedaan sikap, toleransi terhadap panjangnya pembahasan, dan toleransi terhadap kekhususan masing-masing budaya.