Jaga Pilar

Sahardjo dan Keteladanan yang Tak Pernah Mati

3 Mins read

Sahardjo lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 Juni 1909. Ia merupakan anak ketiga dari R. Ngabei Sastroprayitno. Ia mengawali pendidikan dasarnya di Europesche Lagere School (ELS) pada usia 6 (enam) tahun di Solo. ELS merupakan sekolah elit di zamannya yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu seperti keturunan Belanda, Eropa, dan anak-anak pribumi dengan kriteria tertentu. Sahardjo dapat bersekolah di sini karena ayahnya yang seorang abdi dalem di keraton. Pendidikan pada tingkat dasar ditempuh selama 7 (tujuh) tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Ia lalu melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burger School (HBS).

Pada 1922 Ia pergi ke Batavia untuk melanjutkan sekolah kedokteran School tot Opleiding voor Inlandse Artsen (Stovia) demi melanjutkan cita-citanya. Namun, Ia tidak menyelesaikan studi dan melanjutkan ke AMS bagian B dalam bidang ilmu pasti. Setelah tamat, Sahardjo terpanggil untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di Perguruan Rakyat. Hal ini disebabkan karena jiwa nasionalisme Sahardjo yang melihat ketimpangan terhadap akses pendidikan.

Berkarir di Birokrasi

Pada 1941 Sahardjo lulus dari Sekolah Tinggi Hukum dan memulai karirnya dalam bidang hukum dan bekerja pada Departemen van Justitie. Ia juga pernah menjadi seorang hakim di Purwokerto. Kepintaran dan keuletan Sahardjo membawanya dikenal oleh Kepala Kantor Kehakiman saat itu, yaitu Supomo. Ketika Supomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman, Sahardjo diangkat menjadi staf menteri. Atas kegigihan, keuletan, kesabaran, dan kesungguhan hati, Sahardjo kemudian mencapai puncak karir tertinggi sebagai Menteri Muda Kehakiman pada 9 Juli 1959 (Panyarikan, 1983).

Sahardjo nyaris tidak dikenal sebelum 60-an karena jarang terlibat perebutan kursi di dalam mimbar pemerintahan pada tahun 50-an. Ketika banyak pihak memperebutkan jabatan, Sahardjo justru menjauh dan fokus dengan pekerjaan yang diamanatkan. Pada tahun 1963, Universitas Indonesia memberikan gelar Honoris Causa dalam bidang Hukum. Pada saat yang sama pula, Sahardjo membacakan pidato pengukuhan yang berjudul “Pohon Beringin Pengayoman” yang menyebabkan revolusi pada sistem hukum dan kepenjaraan di Indonesia dengan berlandaskan pada kepribadian pancasila.

“Hakim Indonesia adalah petugas yang aktif menyelesaikan suatu perkara dan hakim Indonesia sudah biasa menjalankan hukum yang tidak tertulis dan yang selalu dalam perkembangan. Dalam rumusan itu dilandaskan bahwa peraturan apapun dijalankan, hakim harus menuju kemasyarakatan adil dan makmur yang berkepribadian pancasila dan menurut garis-garis besar haluan negara. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhi pidana bukanlah tindakan balas dendam dari Negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara berat berarti bahwa derita dirasakan berat karena bimbingan dan didikan memerlukan waktu yang lama (Sahardjo, 1963).”

Tidak lama setelah pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan, Sahardjo meninggalkan bangsa yang dicintainya. Sahardjo meninggalkan kita semua di rumah sederhana setelah pulang dari kantornya. Sahardjo kembali pada Sang Pencipta pada 13 November 1963. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kebesaran (Panyarikan, 1983). Jasadnya telah terbujur, dan kembali ke asalnya, namun jiwa dan perjuangannya tetap dikenang dan abadi mewarnai perjuangan bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kisah Keteladanan

Pemimpin publik yang berwibawa merupakan pemimpin domestik yang bijaksana. Artinya kepemimpinan seorang tokoh tidak dinilai sebatas pada peran publiknya saja melainkan juga peran domestik. Bagaimana keberhasilan pemimpin juga dinilai dari kebijaksanaan dalam bersikap di dalam rumah tangga, baik melalui contoh maupun pengajaran dalam mendidik anak.

Kedekatannya dengan semua anaknya menjadikan Sahardjo sebagai sosok ayah yang berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kepedulian, dan nilai sosial. Sahardjo menunjukkan sikap pemimpin yang peduli terhadap lingkungan sosial dan mengajarkan kecintaan untuk berbagi melalui peran pengasuhannya. Kisah-kisah keteladanannya abadi.

Suka Menolong

Suatu hari Sahardjo pernah menolong pernah menolong tukang becak yang datang dan menceritakan tentang nasibnya. Tukang becak itu sebenarnya ingin meminjam uang. Sahardjo menasihati, tidak usah meminjam, karena kalau meminjam harus mengembalikan. Ia kemudian memberikannya secara cuma-cuma.

Menteri yang Sederhana

Ketika diangkat menjadi Menteri Muda Kehakiman pada 9 Juli 1959, Ia masih tinggal di daerah Salemba Gang Tengah (rumah mertuanya). Sebagai Menteri Ia ditawari rumah dinas di daerah Menteng. Anak-anaknya sangat gembira mendengar berita itu. Namun Sahardjo mengatakan sebaliknya, “Kita tidak akan tinggal di daerah mewah itu, lebih baik kita cari rumah yang lebih sederhana.”

Biola yang Rusak

Sebagai orang yang menyukai alat musik, Ia terbiasa menggunakan waktu luangnya untuk bermain biola. Suatu kali teman dekatnya lama tidak melihat Sahardjo menggesek biola. Ternyata biolanya rusak dan Ia tidak mempunyai biaya untuk membeli alat musik yang digemarinya itu. Sebab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, istrinya tetap harus bekerja dengan berdagang kain kecil-kecilan. Sahardjo baru membeli lagi alat-alat kegemarannya itu ketika Ia berdinas ke Republik Rakyat Cina dengan harga murah dan sejak pulang dari RRC Ia mulai berlatih. Ia juga mengakui tanpa perjalanan dinas, Ia takkan sanggup memiliki untuk kedua kalinya.

Bekerja bukan Pencitraan

Pada 1951, Ia diberikan amanah sebagai Kepala Bagian Hukum Tatanegara Kementerian Kehakiman. Jabatan ini dipercayakan kepada Sahardjo karena Ia dikenal sebagai pribadi yang tekun, pintar, ulet, dan mempunyai kejujuran yang tinggi. Bahkan Sahardjo juga diberikan jabatan yang lebih tinggi lagi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.

Tidak heran jika rekannya menjadi saksi dan mengatakan bahwa: Sahardjo adalah seorang abdi negara yang tekun dan konsekuen antara tutur dan langkahnya. Ia akhirnya ditetapkan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal pada 1957. Lalu, setahun setelahnya Ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman.

Keteladanan selalu harum jika diceritakan, sedangkan keculasan penuh dengan kebusukan. Jika sebagai manusia, harusnya memilih untuk mewariskan keteladanan, bukan?

Wahyu Saefudin

Penulis merupakan Mahasiswa Master of Education di Universitas Sultan Zainal Abidin, Malaysia
2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Jaga Pilar

Sel JAD Masih Ancam NKRI, Bagaimana Cara Menjaga Pilar Kebangsaan Kita?

2 Mins read
Penangkapan tiga terduga teroris berinisial BI, ST, dan SQ oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Jawa Tengah menunjukkan bahwa ancaman kelompok…
Jaga Pilar

Pilkada 2024: Gunakan Filsafat dalam Memilih Pemimpin yang Tepat

3 Mins read
Tahun 2024 merupakan kala lima tahunan pemilihan umum (pemilu) dilakukan. 14 Februari kemarin, pemilihan presiden (pilpres) telah dilaksanakan. Selain pilpres, mesti ada…
Jaga Pilar

Memperkenalkan Kembali Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah

4 Mins read
Kejaksaan Agung RI menetapkan Thomas Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula pada tanggal 29 Oktober 2024 lalu. Mantan Menteri Perdagangan…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *