Umat Islam merasakan kehadiran Idulfitri sebagai bulan kembali ke kesucian (fitrah) dan realisasi yang dilakukan selama Idulfitri beragam jenis dalam bentuk kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh para endatu (orang tua dahulu) dan sekarang masih dilestarikan dalam bentuk tradisi.
Negeri kita ini merupakan sebuah negara kepulauan dan mayoritas penduduknya muslim beragam jenis tradisi dan adat istiadat. Salah satu tradisi saat lebaran tiba yang dilakoni masyarakat Aceh termasuk wilayah lainnya di Nusantara ini adalah âBri Peng Urou Rayaâ atau lebih dikenal denganâsalam tempelâ. Tradisi salam tempel adalah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini ketika Lebaran. Salam tempel diberikan dalam bentuk uang oleh orangtua kepada anak-anaknya. Biasanya, ini dilakukan para orang tua untuk mengapresiasi keberhasilan anak-anaknya karena sudah menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, dengan harapan anak-anaknya akan kuat berpuasa lagi di Ramadhan berikutnya.
Fenomena tradisi Salam Tempel yang dilakukan masyarakat Aceh perlu dilestarikan ini juga terlihat ketika ada saudara berkunjung dan membawa anak-anak kecil, biasanya anak-anak itu akan diberi hadiah berupa uang meskipun sedikit. Tradisi ini haruslah kita pertahankan. Karena pahalanya sangat agung. Lantas Bidâahkah praktek semacam itu?
Biasanya saat lebaran yang pasti datang bertamu itu umumnya lebih banyak keluarga dekat. Bukan dalam artian non keluarga tidak di berikan sedekah, namun esensi pahala lebih kepada keluarga dekat. Bersedekah dalam pandangan Islam kepada keluarga dekat lebih baik di bandingkan yang lain. Fenomena ini sebagaimana terpahami dai perkataaan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmuâ Syarah Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi beberapa hadits: âUlama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal tersebut sangat banyak dan terkenal.
Pernyatan tersebut juga di dukung oleh Hadist Nabi Saw yang mengatakan kepada Abu Thalhah yang ingin menyedekahkan kebun Bairaha, kebun kurma terbaik miliknya, âSaya berpandangan bahwa yang terbaik adalah engkau berikan sedekahmu itu kepada kerabatmu.â
Memperkuat penjelasan tersebut, Rasulullah saat lebaran juga menyuruh masyarakat saat itu untuk bersedekah. Ini sebgaimana ahadits yang diriwayatkan dari Abu Saâid al-Khudri.
âSuatu ketika Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan ibadah shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau menghadap warga sekitar, memberikan petuah-petuah kepada masyarakat dan menyuruh mereka untuk bersedekah. âWahai para manusia. Bersedekahlah!â Pesan NabiâŚ. â
Tradisi Salam Tempel juga pernah terjadi dalam masyarakat Arab juga mempunyai tradisi dan disebut Eidiyah. Setelah melaksanakan salat Idul Fitri, masyarakat Arab biasanya berkumpul di masjid, bersalam-salaman, dan memberi hadiah. Tradisi inilah yang kemudian juga dilakukan oleh masyarakat di Indonesia saat Lebaran yang lebih dikenal dengan sebutan salam tempel.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), salam tempel berarti salam yang disertai uang (atau amplop berisi uang) dan sebagainya yang diselipkan dalam tangan orang yang disalami. Tradisi memberikan uang saat setelah Shalat Ied ini pun terus dilakukan oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Ternyata, tradisi ini berasal dari awal abad pertengahan. Saat itu, kekhalifahan Fatimiyah membagikan uang, permen, ataupun pakaian pada anak-anak dan orang tua di hari pertama Idul Fitri. Namun, di akhir periode Ottoman, eidiyah berubah menjadi memberikan sejumlah uang tunai dalam pecahan-pecahan yang lebih kecil. Uang ini biasanya diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka.
Kebiasaan tradisi Salam Tempel di Aceh sejak dulu diberikan oleh orang tua atau sahib tempat kepada anak-anak umumnya, biasanya yang berumur jelang remaja atau setingkat. Uang atau sedekah tersebut biasanya diberikan tanpa amplop meskipun di era millenial seperti saat ini banyak ditemukan angpao-angpao atau amplop bergambar yang dijual di toko-toko disisipkan uang diberikan kepada penerima.
Di Aceh Salam Tempel walaupun sudah berumur remaja atau lebih dari itu kaum sarungan atau santri (Aneuk Beut) menjadi prioritas saat mereka bertamu untuk mendapatkannya. Masa salam tempel itu biasanya pasca shalat Idul Fitri atau Idul Adha hingga sebulan lamanya.
Teumeutuek
Salam Tempel saat lebaran di wilayah Aceh itu realisasinya beragam, kebiasaannya penerima Salam Tempel itu anak-anak dan beberapa elemen lainnya namun mereka yang telah dewasa atau berkeluarga juga mendapat Salam Tempel âwajibâ.
Biasanya Salam Tempel jenis ini diberikan kepada dara baro atau linto baro (pasangan suami istri yang baru menikah) diberikan oleh pihak orang tua istri (dara baro) maupun suami (linto baro) yang dikenal dengan sebutanâTeumeutuekâ. Pengalaman penulis sendiri saat tahun perdana lebaran disuruh sang istri atas perintah ibu untuk duduk bersahaja dengan tikar yang istimewa.
Penulis berpikir hanya salaman sungkeman seperti biasanya saat lebaran tiba dan ini sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh sejak dulu. Namun sangat terkejut ternyata ayah dan ibu pihak istri (mertua/besan) bersalaman dengan Salam Tempel dalam jumlah yang lumayan besar. Dalam adat istiadat Aceh pihak linto baro atau dara baro harus memberikan informasi tersebut kepada orang tua sendiri Salam Tempel yang dikenal dengan âTeumeutuekâ tersebut jumlah yang diterimanya.
Selanjutnya, saat bertamu ke rumah linto baro umpamanya, dara baro akan diberikan orang tua linto baro dan membalasnya dalam jumlah biasanya lebih dari yang diterima sebelumnya. Masih dalam lebaran, saat bertamu dara baro ke keluarga linto baro, dara baro juga akan diberikan âTeumeutuekâ atau salam tempel oleh keluarga dan ini tergantung ekonomi dan kebiasaan tradisi masyarakat setempat. Juga sebaliknya saat linto baro bertamu ke keluarga dara baro.
Beranjak dari itu, tradisi Salam Tempel dan Teumeutuek dalam masyarakat Aceh saat lebaran merupakan kebiasaan yang telah lama dilakoni endatu (orang terdahulu) dan kearifan lokal seperti ini bukanlah perkara bidâah namun ada dasar pijakan bahkan dibalik tradisi tersebut melahirkan beragam nilai positif dan memperkuat ukhuwah dalam hablum minannas (hubungan horizontal) sesama kita. Mari kita merawat tradisi dan kearifan lokal berbasis religi, sosial kemasyarakatan warisan endatu memperkokoh ukhuwah dan Kebersamaan. Sudahkah kita melakukannya? Wallahu aâlam.