UUD 45

Santet: Menelaah Eksistensi Magis dalam KUHP di Indonesia

2 Mins read

Kata santet seringkali ditautkan dengan sesuatu berbau klenik dan magis. Masalah yang berkaitan dengan hal-hal berbau gaib, di mana pada tiap-tiap daerah sangat berbeda penyebutan istilahnya. Misalnya di daerah Jawa Barat terkenal dengan istilah “Teluh”, di Jawa Tengah terkenal dengan istilah “Tenung”, dan di Jawa Timur terkenal dengan istilah “Santet”.

Namun bagaimana jika kata santet muncul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hanya saja dalam  KUHP sendiri penyebutan istilah “Santet” lebih diperluas lagi dengan istilah “Kekuatan Gaib”. Sifat santet yang tak kasat seolah mustahil memiliki sebuah aturan hukum yang merupakan suatu aturan yang mengatur terkait hal hal yang kasat mata dan konkret adanya.

Akan tetapi, muncul kontroversi jika santet yang ditautkan dengan hal-hal yang tak kasat mata kemudian menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya dengan cara yang tidak wajar. Dari sini muncul kebimbangan dalam masyarakat, disatu sisi masyarakat meyakini bahwa kematian atau hal hal yang terjadi diluar nalar manusia demikian disebabkan oleh santet.

Di satu sisi, masyarakat merasa bahwa mereka tidak bisa melaporkan kejadian ini kepada apparat penegak hukum karena tidak  adanya bukti yang dapat diajukan secara kasat mata di meja hijau nantinya. Dari kebingungan dan tidak adanya payung hukum dalam menjawab kontroversi dari adanya tindakan santet ini, pemerintah telah mengatur dalam Pasal 252 KUHP.

Pasal 252  KUHP merupakan bentuk baru reformasi hukum pidana Indonesia terkait tindak santet di Indonesia. Pasal 252 KUHP yang berbunyi “ Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. “

Pengaturan santet kedalam  KUHP merupakan sebuah bukti nyata bahwa pemerintah menjalankan  tugasnya untuk menyediakan payung hukum hingga menjamin kepastian hukum bagi warganya. Pengaturan pasal 293  KUHP terkait santet  merupakan bentuk nyata Kriminalisasi Tindakan Menawarkan Jasa Santet.

Sebelum diundangkannya pasal 252 KUHP, seseorang yang menawarkan jasa santet tidak dapat dipidana. Hal demikian karena hukum pidana yang berlandaskan asas legalitas yang berbunyi “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang berarti tidak ada seseorang yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang melarang perbuata tersebut yang diadopsi dalam pasal 1 KUHP.

Demikian juga merupakan norma hukum yang terkandung dalam pasal 252 KUHP yang menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan delik formil dimana yang menjadi fokus utama ialah pelaku dari perbuatan pidana santet itu sendiri.

Terkait pengaturan santet dalam  pasal 252 KUHP, berangkat untuk memenuhi berbagai tujuan mulai dari segi perlindungan masyarakat, pencegahan praktik main hakim sendiri, kriminalisasi tindakan menawarkan jasa santet, hingga Kesadaran Hukum masyararakat.

Dari segi perlindungan masyarakat, Abdul Fickar Hadjar, seorang pengamat hukum pidana, menjelaskan bahwa pasal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental dan fisik akibat praktik santet. Ia menekankan bahwa fokus pasal ini adalah pada tindakan menawarkan jasa yang tidak dapat dipastikan keabsahannya.

Selanjutnya terkait dugaan pelaku santet acap kali mendapatkan ancaman dan upaya praktik main hakim sendiri dengan dalih hanya pada prasaan atau praduga tak beralasan.

Dalam jurnal Pembangunan Hukum Indonesia yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa Pasal 252 dalam KUHP bertujuan untuk mencegah praktik main hakim sendiri di masyarakat. Dengan adanya pengaturan ini, diharapkan masyarakat tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap individu yang diduga melakukan santet, sehingga menciptakan stabilitas sosial.

Telah diaturnya aturan hukum terkait tindak santet memiliki arti bahwa masyarakat telah memiliki payung hukum dan kepastian hukum. Pasal 252  KUHP yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2026 ini kemudian menjadi jawaban dari kebingungan dari masyarakat. Dengan demikian masyarakat telah memiliki senjata dalam melawan keresahan yang ada ata tindak supranatural yang merugikan tersebut sehingga terciptalah keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Nurul Abidah

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga
1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
UUD 45

Menguatkan UUD 1945 di Tengah Amburadulnya Moral Para Politisi

5 Mins read
Indonesia, sebagai negara demokrasi berdasarkan konstitusi, menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai pondasi fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi ini tidak hanya…
UUD 45

Pendidikan Indonesia Hari Ini: Sudah Sesuaikah dengan Amanat Konstitusi?

3 Mins read
Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, sebagaimana dijamin oleh Pasal 31 UUD 1945. Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara…
UUD 45

Amandemen UUD 1945 Kadang Digunakan untuk Merusak NKRI, Kok Bisa?

3 Mins read
Wacana untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mengemuka. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan perubahan dengan alasan penyempurnaan konstitusi, demi menyesuaikan sistem…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.