Tepat sepekan sudah, yakni Selasa 22 Oktober kemarin, para santri memperingati Hari Santri 2024. Euforia perayaan tersebut sudah mulai terasa sejak beberapa hari terakhir. Sejumlah pesantren, institusi, hingga media sosial mulai memeriahkan hari santri dengan cara masing-masing.
Puncak perayaan Hari Santri di tingkat Nasioal telah digelar di Tugu Proklamasi Jakarta dipimpin langsung oleh Menteri Agama baru Prof Nasaruddin Umar. Penetapan Hari Santri berawal dari usulan ratusan santri di Pondok Pesantren Babussalam Malang pada 2014 kemudian menjadi agenda Nasional usai ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Peringatan Hari Santri menjadi simbol penghargaan dan refleksi atas perjuangan santri dalam mempertahankan kemerdekan dan membangun masa depan. Tahun ini, Kementerian Agama mengusung tema Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan. Kiranya tema ini menjadi refleksi bersama, di tengah semangat perayaan ini, kita tidak bisa menutup mata atas kekerasan seksual yang dialami sebagian santri saat mereka tengah belajar di asrama. Beberapa santri, yang seharusnya menempuh pendidikan dan membangun mimpi-mimpi besar, justru mendapatkan perlakuan bengis.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2015 hingga 2020 pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual setelah universitas. Kasus yang masuk di data komnas merupakan puncak gunung es karena umumnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak diadukan/dilaporkan. Baru-baru ini, kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menjadi sorotan.
Puluhan santri laki-laki menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dua pengajar di pondok pesantren. Kasus ini hanya satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi. Kekerasan seksual tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga merenggut harga diri, kepercayaan diri bahkan keyakinan terhadap sistem nilai yang selama ini dipegang mereka.
Seperti luka fisik, trauma psikologis akibat kekerasan tak pernah benar-benar hilang meski waktu mungkin mengurangi rasa sakit, bayang-bayang kejadian itu akan menghantui korban sepanjang hidup. Film Siksa Kubur karya Joko Anwar memotret kekerasan seksual yang dialami santri laki-laki maupun perempuan di sebuah pesantren besar serta bagaimana trauma korban berlanjut hingga dewasa.
Film ini tak hanya mengkritik perilaku orang-orang yang tampak agamis tapi ternyata menindas. Film ini juga menyorot kehidupan yang dialami korban setelahnya. Fakta kekerasan seksual juga diungkap Project Multatuli dalam liputan panjang. Jurnalis menulis bagaimana puluhan santri mengalami kekerasan sistemik yang dilakukan Subchi Azal Tsani (Bechi) di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah.
Putra kiai itu diduga memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual. Ia memiliki sejumlah ajudan untuk membungkam aksi kekerasan seksual agar korban diam bahkan keluarga dan jemaatnya membela Bechi yang jelas-jelas ditetapkan sebagai pelaku. Keluarga korban bahkan mendapatkan intimidasi. Tak cukup disitu bahkan jurnalis yang menulis kasus tersebut turut diserang.
Kasus ini menjadi representasi dari banyak korban kekerasan seksual di bawah kedok agama. Institusi yang semestinya menjadi tempat mereka merasa aman, nyaman, dan terlindungi justru sebaliknya suram. Bisakah kita melihat kekerasan bukan lagi persoalan moralitas individu, melainkan sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius?
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida dalam wawancara beberapa hari lalu mengatakan pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri. Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris pendakwah, tetapi juga calon tokoh, dan pemuka agama.
Terjadinya kekerasan seolah kontraproduktif dengan pendekatan yang dicontohkan Nabi Muhammad dalam membangun karakter. Sebab itu, perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai cross cutting affiliation. Dengan demikian keberagaman dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.
“Yang tak kalah penting, perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi sebab aparat negara dan masyarakat yang segan dan enggan pada figur kiai atau tokoh agama,” jelasnya.
Selama ini baik Kemenag maupun Kementerian PPPA telah membuat banyak terobosan dalam menangani kekerasan terhadap anak di pesantren. Namun, tantangan di lapangan masih cukup besar. Apalagi tampaknya isu ini belum menjadi concern Prabowo Subianto baik saat debat Pilpres 2024 maupun setelah terpilih dan dilantik menjadi Presiden RI.
Apakah kasus ini akan menjadi prioritas pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo lima tahun mendatang? Kita berharap Menteri Agama dan Menteri PPA yang baru dapat menjadikan isu ini sebagai prioritas di masa kerjanya sebab beberapa pesantren masih mengadopsi budaya ketaatan hierarkis yang sangat kuat.
Dengan begitu, kasus kekerasan atau pelecehan sering tidak dilaporkan karena dianggap “wajar” atau ditutupi atas dasar menjaga citra pesantren. Diperlukan pula integrasi kurikulum yang mencakup pendidikan terkait pencegahan kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak, sehingga santri dan pengurus pesantren memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perilaku yang dapat membahayakan anak.
Mungkin, menciptakan generasi “Indonesia Emas 2045” bisa dimulai dengan menuntaskan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan khususnya pesantren.